Berita

Barbalina Matulessy: Pasal RUU KUHP Perlu Dikaji Secara Mendalam

×

Barbalina Matulessy: Pasal RUU KUHP Perlu Dikaji Secara Mendalam

Sebarkan artikel ini
Advokat dan Konsultan Hukum, Barbalina Matulessy. Foto-Ist/TN

TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP ternyata menimbulkan kontroversi dalam beberapa pasalnya. Pasal itu masih perlu untuk dilakukan pendalaman, soal makna dari tiap pasal dalam RUU KUHP tersebut.

Pasal yang perlu dilihat kembali adalah, pasal 281 dan 282 tentang pasal Contempt Of Court atau menghina peradilan.

Hal ini disampaikan Advokat dan Konsultan Hukum, Barbalina Matulessy, lewat siaran persnya, yang diterima Teropongnews.com, di Ambon, Selasa (15/6/2021).

Menurutnya, dalam pasal 281 RUU KUHP yang berbunyi, “Bahwa setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun perlu dikaji secara mendalam”.

Kategori II, (a) Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; (b) Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau (c) Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan atau dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang.

4975
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

“Khusus untuk huruf a, yang dimaksud tidak mematuhi perintah pengadilan dan penetapan pengadilan, dapat menjadi ruang untuk mengkriminalisasi advokat pada hal profesi advokat mempunyai kewajiban dalam proses pembelaan terhadap kliennya di pengadilan, dan hal itu juga diatur dalam pasal 14 dan pasal 15 UU Advokat,” kata Matulessy.

Ia menjelaskan, advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggungjawabnya didalam sidang pengadilan, dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Advokat.

“Dalam pasal 16 UU Advokat Jo. putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 yang berbunyi, bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Namun itu menuai kontroversi jika melihat lagi Pasal 282 RUU KUHP yang berbunyi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun,” sebutnya.

Matulessy mengatakan, kategori Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang yakni, mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, pada hal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya, dan atau mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

“Terhadap pasal 282 ini pun juga bagi saya dalam formulasi deliknya sangat multitafsir sehingga sangatlah bertentangan dengan asas Lex Certa (rumusan delik pidana harus jelas) dan Lex Stricta (rumusan delik pidana harus tegas tanpa ada analogi). Bagi saya, pasal tersebut diatas sangat tidak jelas, dikatakan demikian karena dalam UU Advokat sudah sangat jelas diatur secara eksplisit mengenai batasan tindakan yang dapat dilakukan oleh profesi Advokat, sehingga tidak perlu lagi diatur di dalam RUU KUHP,” ujarnya.

Terhadap kedua pasal tersebut, Matulessy menyebutnya sebagai pasal karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, bukan hanya untuk Advokat tetapi juga bagi teman-teman pers dalam kebebasan persnya.

“Bukan hanya sampai di situ saja, pasal ini juga akan sangat mudah mengkebiri akademisi hingga kelompok masyarakat sipil yang mungkin saja berusaha menyuarakan penilaian mereka terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial, pada hal menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk hakim atau pengadilan untuk negara penganut sistem demokrasi seperti kita di Indonesia merupakan hal yang biasa,” pungkasnya.