Menurut Data BRI Research Institute, pada tahun 2022 terdapat 64,2 juta pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dimana sebanyak 45 juta adalah pelaku usaha Ultra Mikro (UMi). Sektor usaha mikro berkontribusi cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja yang menyerap 109,84 juta tenaga kerja atau 89,04% dari total tenaga kerja dan menyumbang 37,35% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019. Namun, baru 15 juta pelaku usaha UMi yang terlayani lembaga keuangan formal seperti perbankan, pegadaian, BPR, pinjaman kelompok, dan fintech. Sisanya, sebanyak 18 juta pelaku usaha UMi yang belum terlayani lembaga keuangan formal, 7 juta pelaku usaha memperoleh pembiayaan dari keluarga dan sebanyak 5 juta pelaku usaha justru mendapatkan pembiayaan dari rentenir (Gambar 1.1).
Pelaku usaha UMi mayoritas dilakukan oleh ibu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, para wirausahawan baru (start up) dan pelaku usaha perorangan yang belum mampu mengakses kredit perbankan (lembaga keuangan formal). Mereka kerap ditolak perbankan karena tidak memiliki aset tetap untuk dijadikan agunan/jaminan kredit meskipun usahanya feasible. Keberpihakan Pemerintah hadir dengan memberikan pembiayaan Ultra Mikro (UMi) dengan persyaratan yang mudah dan tingkat suku bunga yang terjangkau.
Pembiayaan UMi dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dengan skema program dana bergulir. PIP mendapatkan mandat dari Pemerintah c.q Kementerian Keuangan RI untuk menjadi coordinated fund dengan menerima alokasi dana dari APBN (sebagai pengelola dana) yang tidak secara langsung menyalurkan pembiayaan kepada para pelaku usaha. Dana dari PIP disalurkan melalui Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), baik sebagai penyalur langsung maupun linkage. Sebelumnya PIP menggunakan database credit scroring untuk menganalisis kelayakan calon mitra penyalur dan pemberian pembiayaan kepada mitra penyalur. Dalam rangka memonitor dan mengevaluasi penyaluran/pengguliran dana pembiayaan oleh mitra penyalur digunakan Sistem Informasi Kredit Program (SIKP)-UMi yang terkoneksi langsung dengan SIKP- KUR.
Penyaluran pembiayaan UMi secara kumulatif sejak tahun 2017 hingga Februari 2023 telah mencapai Rp26,69 triliun kepada 7,52 juta debitur. Penerima pembiayaan UMi didominasi oleh perempuan sebesar 95,52% dan laki-laki sebesar 4,48%. Regional Jawa mendominasi penyaluran UMi yang mencapai Rp17,55 triliun kepada 5,04 juta debitur (mencapai 65,75% dari total penyaluran), selanjutnya regional Sumatera yang mencapai Rp5,53 triliun kepada 1,5 juta debitur dan disusul oleh regional Sulawesi yang mencapai Rp1,52 triliun kepada 411,8 ribu debitur. Regional Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat merupakan regional penerima penyaluran UMi terkecil dengan realisasi Rp104,74 miliar kepada 26,1 ribu debitur (0,39% dari total penyaluran UMi).
Gambar 1.2 Realisasi Kumulatif Pembiayaan UMi (2017 s.d 2023)
Plafond pembiayaan UMi diberikan maksimal Rp20 juta per debitur/kelompok, bisa menggunakan akad konvensional atau syariah sesuai dengan profil dan produk pembiayaan masing-masing penyalur/Linkage dengan tenor pembiayaan yang disesuaikan dengan karakteristik usaha debitur. Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, terlihat porsi akad pembiayaan konvensional dan syariah hampir seimbang, sebesar 52% dan 48%. Persyaratan pembiayaan UMi juga relatif mudah yaitu memiliki usaha (perorangan/kelompok), kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan tidak sedang menerima program pembiayaan pemerintah lain atau Kredit Usaha Rakyat/KUR.
Penyaluran UMi di Provinsi Papua
Penyaluran pembiayaan UMi di Provinsi Papua terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2017 hingga 27 April 2023, penyaluran pembiayaan UMi telah mencapai Rp22,75 miliar kepada 5.054 debitur yang disalurkan melalui PT. Pegadaian dan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM). Kota Jayapura dan Kab. Jayapura mencatatkan realisasi penyaluran pembiayaan tertinggi dengan nilai masing-masing sebesar Rp6,25 miliar kepada 1896 debitur dan Rp5,91 miliar kepada 1207 debitur. Realisasi penyaluran pembiayaan UMi di Papua dapat dilihat pada gambar 1.3.
Gambar 1.3 Realisasi Pembiayaan UMi di Papua (2017 s.d 2023)
Penyaluran pembiayaan UMi di Papuai menemui kendala baik dari sisi calon debitur ataupun kebijakan eksternal. Pada sisi debitur, tingkat pendidikan yang masih rendah berdampak pada literasi keuangan/digital masyarakat yang minim, mindset malas berkembang, dan sedikitnya pengetahuan akses pembiayaan formal sehingga terjebak ke rentenir. Faktor eksternal berasal dari kebijakan lembaga penyalur/linkage yang masih enggan untuk membuka cabang diwilayah lain di Papua, kondisi infrastruktur dan keamanan yang belum memadai, hingga kebijakan KUR dan UMi yang tumpang tindih (overlapping) serta minimnya dukungan pelatihan/asistensi bagi pelaku usaha. Realisasi pencairan pembiayaan UMi di Papua masih kecil, rata-rata Rp3 s.d 5 juta per debitur/kelompok, sedangkan untuk pencairan yang lebih tinggi akan dimintakan jaminan/agunan tambahan. Disisi lain, kebijakan KUR untuk supermikro diberikan tingkat suku bunga yang lebih rendah yaitu 3% di tahun 2023 dan tanpa adanya angunan.
Resesi Global dan Dukungan Kebijakan
Pada tahun 2023, ekonomi dunia diproyeksikan mengalami resesi akibat efek pandemi Covid-19, perang rusia dan ukranina yang masih berlangsung, tingginya tingkat inflasi dan kenaikan suku bunga acuan. Dampak dari kondisi diatas adalah penurunan permintaan global yang secara simultan berpengaruh pada seluruh aktivitas ekonomi mulai dari lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Perlambatan ekonomi mulai dirasakan banyak negara dan akan merembet kepada pelemahan daya beli dan aktivitas investasi. Dampak kondisi tersebut tentunya juga akan dirasakan masyarakat Indonesia terutama masyarakat ekonomi lemah (pra sejahtera).
Sejak pandemi, Pemerintah menghadirkann kebijakan pemberian bantuan sosial dan memberikan dukungan pembiayaan murah bagi pelaku usaha salah satunya. pembiayaan UMi. Akselerasi penyaluran UMi di Papua membutuhkan perhatian dan upaya yang serius oleh pemangku kepentingan. Papua mengalami ketertinggalan dengan wilayah lain sehingga membutuhkan dukungan lebih atau tambahan dari Pemerintah. Agar pelaku usaha UMi berkembang, dukungan kebijakan berupa skema penjaminan atau tambahan subsidi bunga dibutuhkan agar lembaga penyalur/linkage bersedia menerapkan kemudahan persyaratan, menaikkan realisasi pembiayaan dan menyediakan pelatihan/pendampingan.
Sinergi kebijakan/program pemberdayaan UMKM oleh pemerintah pusat dan daerah (K/L, dinas terkait) harus melibatkan berbagai pihak mulai dari BUMN/D, Perbankan/LKBB, Universitas, Koperasi, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kegiatan sosialisasi, dan edukasi dapat dilakukan secara masif dan bersama-sama agar menghasilkan dampak yang signifikan. Demikian pula program pembiayaan seperti Papeda (Program Percepatan Akses Keuangan Daerah) dapat melengkapi program yang ada dan direplikasi. Dukungan pelatihan, dan pendampingan/asistensi sangat diperlukan dalam hal perijinan usaha (NIB), pembukuan, sertifikasi produk (PIRT, Halal), hak kekayaan intelektual (HAKI), inkubasi usaha, hingga pemasaran produk melalui berbagai event, bazar, dan business matching, berguna untuk pengembangan usaha dan SDM para pelaku usaha. Implementasi kami di Kanwil DJPb Papua ialah menginisiasi program kolaborasi pemberdayaan UMKM yang melibatkan Kemenkeu Satu Papua, Perwakilan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Perbankan Himbara, PT. PNM (LKBB), dan Universitas melalui berbagai program kerja ditahun 2023.
Terakhir adalah sinergi pendanaan, dimana PIP dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah atau lembaga lain untuk memperbesar pendanaan yang dapat disalurkan untuk pembiayaan UMi. Kementerian teknis, BUMN/D, Perbankan/LKBB dan Universitas mempunyai pendanaan terkait pemberdayaan UMKM yang diwujudkan dalam bentuk dana pelatihan/pendampingan, belanja K/L, dukungan CSR, dan lain-lain. Dukungan kebijakan yang kuat dan sinergi yang solid oleh semua pihak tentunya dapat menjadi jawaban agar pelaku usaha (UMKM) dapat semakin mandiri dan berdaya saing sehingga diharapkan mampu meredam dampak resesi global yang melanda kita, seperti kata pepatah “sedia payung sebelum hujan”.