Opini

Menuju Agama yang Semakin Ramah Lingkungan

×

Menuju Agama yang Semakin Ramah Lingkungan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi agama di Indonesia

Oleh Denny JA, PhD

TEROPONGNEWS.COM, The greening of religions, agama yang semakin hijau, yang semakin pro dan ramah lingkungan hidup.  

Demikianlah terminologi yang ditulis oleh Lynn White, di tahun 2016, di jurnal akademik. Ia menggambarkan kecenderungan banyak agama kian  lama kian ditafsir untuk lebih ramah kepada lingkungan hidup.

 Ia melihat gejala lingkungan hidup saat  itu semakin lama semakin rusak, semakin dihancurkan. Itu tak lagi bisa diatasi semata-mata secara teknis belaka.

Kita harus menyelam lebih jauh lagi ke akar dari sebab-musabab itu. Dan sampailah kita tidak hanya pada filosofi lingkungan hidup. Tapi kita  juga tiba pada teologi lingkungan hidup.

5138
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Ini awal Lynn White membuat istilah the greening of religion’s hypothesis. 

Mari kita mulai dengan berita. Di tahun 1992, Deklarasi Rio yang diinisiasi  PBB sampai pada kesimpulan penting.

Bahwa pembangunan ekonomi hanya akan berkelanjutan jika disatukan dengan proteksi kepada lingkungan hidup. Latar belakangnya, saat itu di tahun 80an dan 90an, kita melihat hutan-hutan terbakar, polusi di air, polusi di udara. Penyakit lahir dari rusaknya aneka lingkungan hidup.

Akibat kampanye PBB, menyebarlah berbagai cara untuk menafsir ulang berbagai ajaran agama. Maka kemudian dibedakan antara teologi lama dan teologi tafsir baru.

Dalam teologi lama, konsepnya: manusia mendapat mandat dari Tuhan untuk menguasai bumi, beserta isinya. Akibat  mandat ini, manusia seolah-olah menjadi satu makhluk di atas bumi. 

Manusia pun kemudian tidak hanya menikmati bumi,  bahkan juga merusak bumi.

Sedangkan teologi baru berbeda. Ia meyakini bahwa hewan, sungai, pohon, udara adalah saudara-saudara kita. Mereka  bagian dari keluarga kita.

Dalam perspektif teologi baru, manusia bukan penguasa Alam, bukan penguasa lingkungan. Tapi semua lingkungan itu bagian dari keluarga kita.

Satu tokoh agama yang sangat populer soal ini adalah Fransiskus dari Asisi. Ia hidup sejak lama, di tahun 1181 hingga 1226. Kini Fransiskus dari Asisi dijuluki Santo lingkungan hidup.

Hari 4 Oktober, Hari Fransiskus Asisi, diperingati tidak hanya untuk mengapresiasi hidupnya  yang sederhana. Tapi juga untuk teologinya memandang alam semesta. 

Ia menganggap lingkungan hidup, hewan, pohon, sungai, menjadi bagian dirinya.

Jika kita ingin menggairahkan agama yang pro lingkungan hidup, tiga prinsip utamanya.

Pertama: prinsip kesatuan. Bahwa manusia, lingkungan sekitar, hewan, pohon, dan sungai-sungai itu adalah satu kesatuan.

Mereka keluarga kita. Pohon itu anggota badan kita. Sungai itu bagian dari kaki kita. Bumi itu ibu kita. Dengan perspektif seperti ini akan lahir passion untuk merawat lingkungan hidup.

Kedua: prinsip keseimbangan. Ada  yang kita tebang, tapi ada yang kita tumbuhkan. Ada yang kita ambil,  tapi ada yang kita rawat, Ada yang kita rusak karena keperluan kita, tapi kita lakukan juga penghijauan, agar terjadi keseimbangan.

Prinsip ketiga, keberlanjutan. Pembangunan harus berlanjut. Itu hanya mungkin jika alam diproteksi, lingkungan hidup dicintai, dan bumi dihijaukan.

Hari ini kita kumpul teman-teman ESOTERIKA, Forum Spiritualitas. Sekalian  kita memperingati hari Fransiskus Asisi. Kita gairahkan agama yang semakin pro lingkungan hidup. The greening of religions. 

Denny JA, PhD adalah ahli politik pendiri LSI Denny JA