Opini

Otonomi Khusus Harus Bernilai Bagi Orang Asli Papua

×

Otonomi Khusus Harus Bernilai Bagi Orang Asli Papua

Sebarkan artikel ini
Arnold Fredo Binter, S.Si.Teol., M.Si (Staff Ahli bidang Pendidikan dari Anggota DPD-RI Perwakilan Papua Barat Daya Paul Finsen Mayor), Foto IST/TN

TEROPONGNEWS.COM, SORONG – Semangat dari otonomi khusus bagi Papua adalah mengembalikan hak-hak orang asli Papua atas seluruh aspek kehidupan di atas tanah leluhurnya. Oleh karena itu maka setiap aspek kehidupan orang asli Papua harus mendapatkan affirmasi oleh negara. Perlakuan khusus tersebut seharusnya dapat mencakup kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya orang asli Papua.

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menyetujui untuk memberikan perlakuan khusus tersebut dalam 2 tahap dalam paket kebijakan yaitu Otsus Jilid 1 dan Otsus Jilid 2. Maka seharusnya seluruh aktifitas hidup semua orang dalam setiap aspek di atas tanah Papua, harus sesuai dengan semangat Otonomi Khusus. Pertanyaannya kini, apakah semangat otonomi khusus tersebut telah benar-benar dilakukan di tanah Papua dalam kurun waktu 2 dekade ini?

Mari kita melihat salah satu aspek yaitu ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi jumlah penduduk dalam wilayah tersebut. Dan persoalan kependudukan itu terletak pada sumberdaya manusia, lapangan pekerjaan dan kesehatan (tingkat mortalitas). Bagaimana dengan kondisi penduduk di tanah Papua dalam 2 dekade pelaksanaan otonomi khusus? Yang tampak adalah peningkatan jumlah penduduk bukan karena tingginya angka kelahiran melainkan migrasi penduduk.

Bertambahnya jumlah penduduk (migrasi) yang datang dari luar Papua yang sangat signifikan kini menciptakan persoalan yang baru. Migrasi penduduk yang datang mencari pekerjaan di tanah Papua justru membuat hilangnya proteksi negara melalui undang-undang otonomi khusus bagi orang asli Papua.

Persoalan tersebut dapat dibedah dengan pendekatan fenomenologi. Dimana sebuah fenomena dibedah dengan mendalam untuk mengungkapkan sebuah fakta. Mari kita ambil sebuah fenomena. Di seputaran medio 2006-2011, jika kita pergi ke pasar-pasar tradisional atau pun pedagang kecil (dalam kluster pedagang kaki lima), kita akan melihat bahwa para pedagang orang asli Papua memiliki ciri khas dari jenis komoditi yang dijual jika dibandingkan dengan kaum pendatang.

5400
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Pedagang OAP menjual komoditi berupa buah pinang, buah sirih (basah maupun kering), sagu mentah, kasbi (singkong), dan daun gatal. Sedangkan pedagang non-OAP menjual komoditi sayur-mayur, rempah-rempah, dan kebutuhan sekunder lainnya. Diferensiasi antara pedagang OAP dan non-OAP saat itu sangat jelas sekali. Komoditi yang dijual OAP adalah hasil bumi khas tanah Papua yang sadar ataukah tidak sangat melekat sekali dengan kebudayaan orang Papua.

Namun kini bagaimana kondisi pasar sekarang? Apakah diferensiasi tersebut masih tampak? Tidak! Komoditi khas tanah Papua itu, kini tidak hanya dijual oleh pedagang OAP namun dijual juga oleh pedagang non-OAP. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah migrasi penduduk yang datang ke tanah Papua untuk mencari pekerjaan/usaha.

Ketika sesampainya di tanah Papua (yang memang tidak banyak lapangan pekerjaan), membuat para migran ini mencari segala bentuk usaha termasuk menjual komoditi khas asli tanah Papua. Lalu akhirnya apa yang terjadi? Terjadi pergeseran diferensiasi yang diawal telah saya sampaikan, pedagang OAP terpaksa harus dipaksa tersingkir (atau dapat dikatakan bersaing) dari pedagang non-OAP.

Memang jika ditinjau secara teori, begitulah mekanisme pasar terjadi. Pada titik inilah undang-undang Otonomi Khusus harus mendapatkan tempat atau “memainkan nilainya” untuk membela kepentingan OAP yaitu melindungi Hal Ekonomi OAP.

Lalu bagaimana caranya? Segera melakukan pembatasan migrasi penduduk dari luar tanah Papua untuk masuk menetap menjadi penduduk di tanah Papua. Terlebih khusus adalah bagi migrasi dengan mencari pekerjaan. Hal ini perlu dilakukan oleh karena kondisi di tanah Papua sendiri masih tersisa sangat banyak pengangguran yang didominasi oleh pengangguran OAP.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, diantara Agustus 2022 – Agustus 2023 terdapat jumlah pengangguran sebanyak 10.580 orang. Dan data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat menerangkan sampai Februari 2023 terdapat jumlah pengangguran sebanyak 34.461 orang. Dengan data ini, maka sangat kuat sekali untuk segera mendorong setiap pemerintah daerah di tanah Papua memproteksi wilayahnya dari migrasi penduduk dari luar tanah Papua. Hal ini juga baik dalam rangka menekan dampak-dampak lainnya dari tingginya angka pengangguran salah satu contohnya adalah meningkatnya angka kriminalitas.

Apakah ini bermaksud untuk menutup tanah Papua dari migrasi penduduk luar tanah Papua secara total? Tentu tidak! Penduduk yang harus dikirimkan adalah mereka yang memiliki kompetensi/skill khusus atau tenaga ahli dan tenaga profesional dalam berbagai bidang. Hal itu baik dalam bidang teknologi, industri, pendidikan dan pengetahuan, pertanian, pembangunan infrastruktur, teknologi informasi, enterpreneurship, kelautan dan kemaritiman, dan juga pertambangan. Sehingga dalam aktifitas profesional terdapat transfer-knowledge bagi OAP.

Kini saatnya memberdayakan Orang Asli Papua dengan semangat yang sudah diberikan lewat otonomi khusus. Dan ini saatnya otonomi khusus harus bernilai bagi Orang Asli Papua.

Arnold Fredo Binter, S.Si.Teol., M.Si
(Staff Ahli bidang Pendidikan dari Anggota DPD-RI Perwakilan Papua Barat Daya Paul Finsen Mayor)