Kriminalitas

Duh! Presiden Jokowi Tahu Ada Oknum di Kejaksaan Permainkan Hukum

×

Duh! Presiden Jokowi Tahu Ada Oknum di Kejaksaan Permainkan Hukum

Sebarkan artikel ini
Presiden Jokowi menjadi inspektur upacara pada Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) Ke-63 atau Hari Ulang Tahun (HUT) Kejaksaan Republik Indonesia di halaman Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Ragunan, Jakarta, Sabtu (22/7/2023).

TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo mengaku tahu bahwa ada oknum aparat Kejaksaan Agung yang mempermainkan hukum. 

Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi saat menjadi inspektur upacara pada Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) Ke-63 atau Hari Ulang Tahun (HUT) Kejaksaan Republik Indonesia di halaman Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Ragunan, Jakarta, Sabtu (22/7/2023).

“Jangan ada lagi aparat kejaksaan, meskipun saya tahu ini oknum, yang mempermainkan hukum, yang menitip rekanan proyek, yang menitip barang impor dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya meskipun sekali lagi saya tahu ini oknum,” kata Presiden.

Presiden menegaskan aparat yang bersih dan akuntabel itu wajib. “Perbaiki terus akuntabilitas aparat dan perbaiki terus pelayanan kepada masyarakat,” tambah Presiden.

Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa pesan tersebut tidak hanya berlaku untuk para jaksa di Kejaksaan Agung.

“Pesan saya ini juga tidak hanya berlaku untuk aparat kejaksaan, tetapi untuk semua aparat penegak hukum kita, termasuk Polri, KPK, termasuk pula pengawas dan auditor di tingkat pusat maupun di daerah,” tegas Presiden.

Apalagi kewenangan Kejaksaan Agung itu sangat besar. “Sekali lagi kewenangan kejaksaan itu sangat besar. Kewenangan penyidikan, kewenangan penuntutan, kewenangan perampasan dan pengembalian aset, dan masih ada kewenangan-kewenangan lainnya,” ungkap Presiden.

Dikatakan pula bahwa kewenangan besar itu harus dimanfaatkan secara benar, harus dimanfaatkan secara profesional secara bertanggung jawab.

“Peran jaksa sebagai pengacara negara juga sangat penting untuk melindungi kepentingan negara, mencegah penyalahgunaan keuangan negara, mempertahankan dan mengembalikan aset negara, termasuk menyelesaikan sengketa tanah negara dan sengketa perdagangan internasional,” tegas Presiden.

Keadilan Restoratif

Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-63, Kejaksaan Agung merilis sejumlah capaian kinerja salah satunya di bidang pidana umum (Pidum), di mana selama periode 22 Juli 2020 sampai dengan 11 Juli 2023, penuntutan sebanyak 3.121 perkara dihentikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Fadil Zumhana menyebut pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu terobosan hukum yang bertujuan memberikan penerapan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan dengan memberikan ruang serta kesempatan terhadap pelaku untuk memulihkan hubungan dan memperbaiki kesalahan terhadap korban di luar pengadilan (non-judicial settlement) sehingga permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana dapat terselesaikan dengan baik demi tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak sekaligus memulihkan kondisi sosial di masyarakat.

“Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global,” kata Fadil.

Fadil mengatakan ada hal yang perlu dicermati dalam penerapan keadilan restoratif, yakni menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum.

Menurut dia, hal itu menjadi penting dicermati untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum.

Sebab dalam proses penegakan hukum, lanjut dia, terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asas Dominus Litis.
“Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara,” ujarnya.

Oleh karena itu, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat.

Ia menekankan aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena di sanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.

Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara.

“Kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan,” kata Fadil memaparkan.

Ia melanjutkan ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.

Kejaksaan RI menerapkan keadilan restoratif sejak dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020.

“Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif,” ujarnya.

Konsep keadilan restoratif mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana peruntukannya hanya untuk pelaku Anak; dan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif, yang mana peruntukannya untuk pelaku dewasa. Kedua peraturan tersebut menjadi rujukan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam penyelesaian perkara tindak pidana.

Melalui Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini, akhirnya penerapan keadilan restoratif dapat menjangkau seluruh lapisan usia dan secara nyata telah menjadikan hukum untuk manusia.

Kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah hati nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum.

“Kejaksaan akan menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi hati nurani,” kata Fadil.
Dalam mengoptimalkan penerapan keadilan restoratif, Kejaksaan RI sudah memiliki 3.535 Rumah Restorative Justice (RJ) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Capaian kinerja di bidang pidana umum lainnya, adalah Kejaksaan RI menyelesaikan 387.935 perkara di tahap pra penuntutan, 341.213 perkara diselesaikan di tahap penuntutan, dan sebanyak 320.853 orang terpidana telah dilakukan eksekusi yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Jampidum Kejaksaan Agung RI juga sedang membangun keadilan restoratif melalui hukum pidana 4.0 (digital transformation).

Tema Hari Bhakti Adhyaksa 2023 adalah Penegakan Hukum yang Tegas dan Humanis Mengawal Pembangunan Nasional. 

Kejaksaan RI berdiri menjadi lembaga mandiri sejak 22 Juli 1960 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.204/1960. Untuk memperingati hal tersebut, setiap 22 Juli ditetapkan sebagai Hari Bhakti Adhyaksa.

Pemisahan kejaksaan dari Departemen Kehakiman itu merupakan hasil rapat kabinet yang tertuang dalam Surat Keputusan Presiden RI pada tanggal 1 Agustus 1960 No. 204/1960, kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI.

Sejak 1960, posisi Jaksa Agung RI pun berubah menjadi setingkat menteri dalam kabinet.

Peraturan yang mengatur kerja Kejaksaan Agung juga sudah beberapa kali berubah, yaitu UU No. 15/1961 menjadi UU No. 5/1991, kemudian diperbarui lagi dengan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan sehingga kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain.

358_PENGUMUMAN-HASIL-PENELITIAN-ADMINISTRASI_PPD