EkonomiTeknologi

Aturan Surya Atap PLN Hambat Pengembangan Energi Terbarukan

×

Aturan Surya Atap PLN Hambat Pengembangan Energi Terbarukan

Sebarkan artikel ini
Tenaga surya untuk pertanian masyarakat di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. (Foyo Humas UNS)

TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia berkomitmen untuk melakukan transisi energi sebagai salah satu upaya pemerintah dalam menurunkan emisi negara dari sektor energi. Sayangnya, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan bertolak belakang dengan komitmen tersebut. 

Salah satunya revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26/ 2021 yang mengatur tentang pemasangan surya atap. Revisi tersebut mengakomodir memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15% dari kapasitas terpasang. Aturan ini dianggap menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan khususnya energi surya. 

“Jika pemerintah berkomitmen untuk melakukan transisi energi, seharusnya PLN menjalankan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, tetapi apa yang kita lihat hari ini, PLN jadi lebih berkuasa dan tidak patuh pada kebijakan yang lebih tinggi,” ucap Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia di Jakarta, Selasa (17/10/2023).

“Transisi energi tidak akan bisa berjalan, energi surya akan tidak kompetitif harganya, jika dari tiap lembaga negara tidak memiliki kemauan yang serius untuk bertransisi melalui payung hukum yang mereka ciptakan,” terangnya.

Padahal, Indonesia sebagai negara dengan skala geografis yang cukup besar memiliki berbagai macam potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi 3.295 GW energi surya yang bisa mencukupi kebutuhan energi seluruh negeri. Koalisi mendesak keseriusan pemerintah dalam implementasi transisi energi, gelombang investasi yang besar juga harus dibarengi dengan payung hukum dan kemauan politik untuk melepas ketergantungan pada jebakan energi fosil batubara.

Greenpeace pernah melakukan survey pada tahun 2020 bahwa lebih dari 80% warga Jakarta ingin memasang panel surya di rumahnya. Dengan tingginya keinginan masyarakat yang ingin memasang panel surya, harusnya bisa menjadi landasan bagi pemerintah agar membuat payung hukum yang lebih serius untuk mendukung penerapan energi terbarukan di masyarakat.

Yohanes Sumaryo dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan salah satu daya tarik dalam memasang PLTS atap adalah adanya ketentuan net metering. Namun pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Permen ESDM 26/2021 tersebut.  

“Net metering itu bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibanding biaya langganan listrik PLN. Dengan net metering koefisien perbandingan ekspor-impor menjadi 1:1 maka tingkat pengembalian modal atau payback period pemasangan PLTS atap bisa berkisar antara 4-5 tahun,” jelasnya.

Yohanes menjelaskan ketidakberadaan net metering akan menyulitkan calon pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Dengan revisi Permen ESDM No. 26/2021  di mana ekspor tidak diberlakukan, maka orang yang mau memasang PLTS atap terpaksa harus membeli baterai penyimpan energi yang cukup mahal dan membuat tingkat pengembalian modal lebih lama, menjadi 9-10 tahun. Ini menyebabkan banyak orang yang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” ungkapnya.

Kebijakan yang berubah-ubah bahkan cenderung membatasi partisipasi masyarakat dalam transisi energi ini berbanding terbalik dengan fasilitas kebijakan yang didapat oleh para oligarki. 

Menurut Suriadi Darmoko, Pengkampanye 350 Indonesia, PLTS atap ini selain dapat menggalang partisipasi publik juga merupakan jalan pintas mengejar target bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan. 

“Kita membayangkan bagaimana publik bisa berpartisipasi dalam transisi energi, sehingga ke depan independent power producer (IPP) itu bukan lagi terbatas pada perusahaan skala besar tapi juga bisa melibatkan rumah tangga sampai BUMDES atau pemerintah daerah melalui PLTS Atap. Semua orang mengkontribusikan atapnya untuk memanen listrik dari energi surya, tanpa perlu pengadaan lahan. Pemerintah harus ambil peran serius melalui kebijakan yang konsisten dan publik bisa dapat kepastian kebijakan dan kemudahan untuk berpartisipasi,” paparnya. 

Sementarat Reka Maharwati dari Enter Nusantara, menyatakan transisi energi selain memastikan sumber energinya beralih dari fosil ke energi terbarukan juga penting memastikan ada diversifikasi kepemilikan. Ketersediaan komitmen pendanaan transisi energi saat ini seharusnya digunakan oleh negara melalui BUMN untuk membangun sistem ketenagalistrikan di mana masyarakat bisa beramai-ramai terlibat dalam transisi energi.

“Selama ini orang muda selalu diberikan motivasi untuk menjadi agent of change, namun kebijakan yang dihadirkan oleh pemerintah belum juga mendengar aspirasi orang muda yang ingin mendorong perubahan ke arah yang lebih baik untuk generasi mendatang. Transisi energi yang bersih dan berkeadilan bisa mulai diwujudkan dengan segera melaksanakan Permen ESDM No 26/ 2021 tanpa revisi,” ujarnya.Negara-negara di seluruh dunia dimandatkan untuk meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil sebelum 2030, jika ingin menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5oC dan menjaga dari bencana iklim permanen. Sementara pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional hingga akhir 2022 masih berkisar di angka 12%. Koalisi energi demokrasi mendesak pemerintah untuk membatalkan revisi peraturan menteri tersebut,mempertahankan ketentuan yang sudah mengakomodir aspirasi pelanggan pada Permen ESDM 26/2021, segera menerbitkan Permen ESDM 26/2021, serta meminta PLN untuk serius menjalankan mandat transisi energi dengan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada akses keadilan energi untuk rakyat.