Lingkungan

Pakar Geografi: Alih Fungsi Lahan Berlebihan di Papua Ancam Kelestarian Budaya dan Lingkungan

×

Pakar Geografi: Alih Fungsi Lahan Berlebihan di Papua Ancam Kelestarian Budaya dan Lingkungan

Sebarkan artikel ini
Pakar Geografi Manusia dari Universitas Islam 45 (Unisma), Rasminto. Foto: ist.

TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Geografi Manusia dari Universitas Islam 45 (Unisma), Rasminto mengatakan menggemanya seruan “All eyes on Papua” menjadi sorotan publik dan jadi problem bagi negara berkembang seperti Indonesia.

“Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia sebagai negara berkembang mengalami kemajuan signifikan dalam industrialisasi di Indonesia yang telah mengalami perkembangan pesat,” kata Rasminto dalam keterangannya dikutip di Jakarta, Sabtu (8/6/2024).

Menurut dia, Pemerintah dan investor gencar melakukan alih fungsi lahan dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik narasi kemajuan ekonomi, terdapat cerita pilu dari masyarakat adat yang tanah leluhurnya digusur demi pembangunan industri.

Ia menekankan, alih fungsi lahan berdampak negatif terhadap masyarakat adat.

“Alih fungsi lahan untuk keperluan industri, seperti pembangunan pabrik, perkebunan kelapa sawit, dan tambang, sering kali dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Akibatnya, mereka kehilangan mata pencaharian utama yang bergantung pada lahan pertanian dan hutan”, ujarnya.

Selain itu, bagi Rasminto, hilangnya lahan juga mengancam kelestarian budaya dan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun.

“Di banyak kasus, masyarakat adat tidak diberikan kompensasi yang layak atau bahkan diabaikan dalam proses konsultasi. Inilah yang terjadi pada Suku Awyu di Boven Digoel dan Suku Moi di Merauke”, jelasnya.

Rasminto, alumnus Program Doktoral Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Jakarta menuturkan, kehilangan akses ke lahan tersebut menyebabkan peningkatan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi.

“Banyak dari mereka terpaksa mencari pekerjaan lain yang tidak sepadan dengan keahlian mereka, menambah beban sosial dan ekonomi”, tegasnya.

Ia melanjutkan, selain dampak sosial dan ekonomi, alih fungsi lahan juga membawa konsekuensi lingkungan yang serius.

“Deforestasi, degradasi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah beberapa masalah yang muncul akibat konversi lahan menjadi kawasan industri. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya mengganggu ekosistem lokal, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya”, jelasnya.

Ia menawarkan solusi agar Pemerintah dapat mengakui dan menghormati hak kepemilikan tanah masyarakat adat melalui legislasi yang kuat dan penegakan hukum yang tegas.

“Pengakuan ini harus mencakup peta wilayah adat yang jelas dan upaya untuk mencegah perampasan tanah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab”, tegasnya.

Ia berharap, setiap proyek industrialisasi harus melibatkan masyarakat adat dalam proses konsultasi sejak tahap perencanaan.

“Pelibatan dan partisipasi aktif masyarakat adat penting untuk memastikan bahwa kepentingan mereka diakomodasi dan dampak negatif dapat diminimalkan,” kata Rasminto.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *