Oleh Marlin Dinamikanto
TEROPONGNEWS.COM, Kami generasi yang sangat beruntung. Bagaimana tidak? Kami anak-anak muda akhir dekade 1980-an dibesarkan dalam situasi Pancaroba, ketika Mikhail Gorbachev memaklumatkan Glasnost (keterbukaan) dan Perestroika (reformasi) yang pada akhirnya mengakhiri 45 tahun periode perang dingin. Konsekuensinya, Amerika Serikat tidak lagi semena-mena mempertahankan rezim korup dan menindas hanya untuk kepentingan geo-politiknya : membendung komunisme !!!
Tindak lanjut runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989 adalah menguatnya angin perubahan, “Wind of Change”, begitu kata Scorpion dalam albumnya yang ngetop di akhir 1980-an. Isu demokratisasi dan hak-hak azasi manusia berembus kuat seiring hancur berkepingnya Uni Sovyet. Para diktator korup tunggang langgang diburu rakyatnya. Eropa Timur, Semenanjung Balkan dan Amerika Latin menjadi kawasan paling berkobar dalam angin perubahan
Vaclav Havel, seorang dramawan sekaligus penyair, tampil sebagai pahlawan Rakyat Chekoslovakia setelah sukses mengakhiri 40 tahun pemerintahan Komunis di negerinya lewat Revolusi Beldru pada 1 Januari 1990. Satu minggu sebelumnya, 22 Desember 1989, Presiden Rumania Nicolae Ceauşescu dan istrinya Ellena, tewas di tiang gantungan setelah berkuasa secara sadis dan kejam sejak 1965.
Kala itu, kami anak-anak muda terdidik Indonesia yang dibesarkan oleh musik Iwan Fals, Slank, Vina Panduwinata, Chrisye, Chris Kayhatu, dan lainnya, sebagian masih mengingat kejadian di belahan dunia yang disiarkan oleh tayangan “Dunia dalam Berita” TVRI itu. Sedangkan TV swasta yang ada ketika itu hanya RCTI, televisi hiburan yang sering diplesetkan ramai ceritanya tiba-tiba iklan.
Tapi sesungguhnya pula, sebelum Perang Dingin berakhir yang ditandai oleh buku Fukuyama “The End of History and The Last Man” kami telah berjuang di luar kampus menentang penggusuran warga Kedungombo, mengadvokasi kasus Badega, Kacapiring, Jatiwangi, Cimacan Cijayanti, dan sebagainya. Tidak seperti sebagian besar mahasiswa lainnya yang sibuk berburu SKS, penampilan kami benar-benar gembel dan kumal.
Komunikasi belum semudah sekarang. Boro-boro telepon seluler. Pager pun belum ada. Rata-rata kantor LSM yang kami singgahi digembok teleponnya. Tapi kami tidak kurang akal. Dengan mengetuk-ngetuk katup telepon, misal untuk angka tiga perlu tiga ketukan, kami tetap bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Paling-paling Pak Bos LSM marah-marah di akhir bulan karena tagihan teleponnya membengkak.
Saya yang ngesub Om Jopie Lasut sebagai kontributor radio Belanda kadang harus naik angkot ke kota Kabupaten untuk sekedar bisa mengirimkan faksimil. Mesin ketiknya, biasanya merk Brother atau IBM, kami pinjam dari kantor LSM. Kadang dipergunakan pula untuk Press Release yang beritanya tidak pernah kami baca karena desa di tempat kami Live In belum dijangkau oleh agen pemasaran surat kabar.
Padahal ketika itu media cetak lagi hot-hotnya. Pos Kota dan Kompas Gramedia memiliki anak-anak penerbitan yang jumlahnya puluhan. Koran-koran lokal belum jatuh ke tangan konglomerasi media nasional. Rupa-rupa jenis majalah masih eksis. Untuk gaya hidup ada Jakarta-Jakarta, Matra dan Vista. Untuk perempuan ada Kartini dan Femina, sedang remajanya ada Gadis dan Nona. Tapi kami terlalu tua untuk membaca majalah Hai terbitan Gramedia. Apa lagi majalah Bobo atau Kuncung yang menjadi bacaan masa kecil saya.
Pada dekade 1990-an Wind of Change kami rasakan semakin menguat di Tanah Air. Anders Ulhin lewat buku yang diterjemahkan oleh Rofik Suhud berjudul “Oposisi Berserak” menuturkan gegap gempitanya gerakan demokratisasi di Indonesia pada 1990-an. Kami mahasiswa yang bergerak sejak 1980-an bermetamoforsa membentuk organisasi-organisasi perlawanan yang menjadi backbone gerakan ketika itu.
Peristiwa politik yang pantas dicatat pada awal 1990-an adalah, pertama, demonstrasi menentang pencalonan kembali Soeharto pada 12 Januari 1993 oleh Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) di Wisma DPR Kopo, Kabupaten Bogor. Peristiwa Kopo adalah gerakan mahasiswa pertama setelah NKK/BKK yang secara terang-terangan menentang pencalonan kembali Soeharto.
Peristiwa berikutnya adalah demonstrasi besar-besaran menentang peredaran kupon SDSB yang diplesetkan anak-anak Pijar menjadi “Soeharto Dalang Segala Bencana”. Kejadian itu berujung penangkapan Nuku Soleiman. Setelah itu ricuhnya Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berlarut-larut hingga terjadinya peristiwa 27 Juli 1996.
Pada periode 1992-1996, sebenarnya banyak peristiwa penting yang saya catat. Pertama, pembredelan majalah Tempo, majalah Editor, dan Tabloid Detik yang berujung penangkapan terhadap wartawan Tempo Ahmad Taufik terkait penerbitan Pers Alternatif yang saya lupa namanya dan Tri Agus Susanto Siswowihardjo terkait judul yang mengutip ucapan (Alm) Adnan Buyung Nasution “Negeri ini Dikacaukan oleh Seorang yang Bernama Soeharto” di Kabar dari Pijar yang dikelolanya.
Tidak kalah menarik adalah penangkapan 21 mahasiswa yang mengusung spanduk “Seret Presiden ke Sidang Istimewa MPR” saat berdemo di pelataran gedung MPR/DPR-RI, 14 Desember 1993. Ke-21 mahasiswa dari berbagai kota yang menamakan diri Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) itu dipidana dengan pasal penghinaan terhadap Presiden.
Tapi ada juga yang bukan mahasiswa. Namanya Farid Rasyad. Anak muda asal dusun Tanjungatap, Ogan Ilir, Sumatera Selatan itu sedang mengikuti suatu pelatihan di Bina Desa. Tapi paginya diajak Agustiana, aktivis asal Garut, pergi ke DPR. Eh, siang menjelang sore hari Farid yang kini sudah almarhum itu ditangkap.
Ada pula pegawai farmasi yang berlatar-belakang aktivis, tinggal di seberang Gedung DPR. Begitu pulang kantor melihat teman-temannya berdemo. Dia pun nimbrung ke sana dan tertangkap. Namanya Teddy Wibisana. Usianya terbilang paling senior setelah Yeni Rosa Damayanti diantara 21 mahasiswa yang tertangkap.
Aktivis yang juga terbilang senior dan tertangkap mungkin Masduki asal Unibraw Malang. Aktivis senior lainnya, seperti Syamsunar asal Jombang, Heru Nongko dan Gatot Indrayana asal Yogya lebih sibuk melakukan advokasi. Pledoi dibuat di kantor Pipham yang dipimpin Agus Edy Santoso di Gang Masjid, Dewi Sartika dan di sekretariat Pijar, Jl Penggalang.
Kami juga tidak lupa dengan peristiwa terbunuhnya Marsinah pada 1993. Peristiwa itu membangkitkan gerakan-gerakan serikat buruh untuk menuntut hak-haknya. Kala itu memang sudah lahir serikat buruh alternatif di samping SPSI yang dianggap sebagai bagian organ kekuasaan Orde Baru. Di Medan buruh bergerak. Mochtar Pakpahan ditangkap dan Maiyasak Djohan terpaksa berlindung di rumahnya Bursah Zarnubi di Jl Poncol, Mampang.
Sebenarnya banyak pula peristiwa lain yang mengawali Reformasi 1998. Di Semarang ada Apel Golput pada 22 Mei 1992 yang berujung penangkapan Lukas Luwarso, mahasiswa UNDIP dan Poltak Ike Wibowo, mahasiswa Universitas Sultan Agung. Di Bogor, Dedi Ekadibrata yang vokal dalam kasus Cijayanti dan Rancamaya dijebloskan ke penjara.
Di Jakarta, Sri Bintang Pamungkas, diadili terkait bukunya yang menghina Soeharto. Yeni Rosa Damayanti yang baru keluar dari penjara terkait kasus 21 mahasiswa tidak bisa pulang ke Indonesia setelah fotonya beredar di media massa saat mendemo Presiden Soeharto yang berkunjung ke Dresden, Jerman, 1997.
Setiap persidangan aktivis yang ditangkap kami gunakan sebagai ajang konsolidasi. Diawali dengan persidangan Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono yang ditangkap dengan tuduhan menyebarluaskan ajaran Marxisme-Leninisme hanya karena mengedarkan buku “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta-Toer pada 1989. Dari ajang konsolidasi bezuk tahanan itu, Mohamad Yamin, mahasiswa UII, memperoleh jodoh Yuni Satia Rahayu yang sempat menjabat Wakil Bupati Sleman.
Tidak kalah heroiknya adalah Beathor Suryadi. Dia ditangkap satpam UI saat dengan Vespa bututnya mengedarkan selebaran gelap yang menghina Soeharto. Beathor dipenjara sejak 1989 dan keluar bersyarat pada 1993, tapi sial baginya, dia harus menjalani sisa hukumannya setelah ditangkap di Monas terkait demonstrasi pembredelan Tempo, Editor dan Detik
Setelah periode 1996 hingga 1998, peristiwa mengerikan banyak terjadi. Antara lain penculikan aktivis PRD yang dituding menunggangi peristiwa 27 Juli 1996. Penyair Wiji Thukul hilang hingga sekarang. Begitu pun dengan puluhan aktivis PRD yang tercatat tinggal nama. Ratusan anak PRD, termasuk Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, Garda Sembiring , Petrus Haryanto, Wilson Obrigados dan lainnya dijebloskan ke penjara dan keluar setelah reformasi. Pius Lustrilanang, Alm. Desmond J Mahesa, Nezar Patria, Alm. Waluya Jati, Faisol Reza, sempat diculik dan disiksa meskipun pada akhirnya dipulangkan.
Sekecil apa pun peran, paling tidak kami pernah menunaikan tugas sejarah sebagai kaum muda terdidik untuk melakukan hal yang semestinya dilakukan. Kami hanya melakukan sesuatu untuk cita-cita Indonesia yang lebih baik, meskipun berhadapan dengan risiko menghadapi represi pendukung status quo sehingga tidak sedikit di antara kami diperkusi, dipenjara, diculik, bahkan dibunuh. Kami harus membayar mahal pencapaian cita-cita itu bahkan tidak sedikit di antara kami mengorbankan harapan orang tua kami untuk masa depan anak-anaknya yang lebih baik.
Sekarang kami menua, otot-otot tidak lagi perkasa, pembuluh darah menyempit, kadang jalan dengan kaki terseret akibat digerogoti asam urat. Sudah banyak pula di antara kami yang sudah dimakamkan. Namun kami memandangnya sebagai risiko perjuangan. Tidak terlintas di benak kami untuk mendapatkan perhatian yang setimpal dari negara yang sungguh kami cintai dengan sepenuh jiwa.
Kami hanya menginginkan negara menjalankan amanat konstitusi pada Alinea II (visi) dan Alenia IV (misi) Pembukaan UUD ’45 sehingga sekecil apa pun yang pernah kami lakukan bukan semacam membangun istana pasir di tepian pantai. Harapan ini kami sampaikan kepada siapa pun penyelenggara negara yang dibentuk oleh Pemilu 14 Februari 2024 nanti.
Terima kasih 🙏
Bogor, 8 Oktober 2023
Marlin Dinamikanto adalah budayawan.