Pertumbuhan ekonomi Papua dan provinsi-provinsi barunya Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, kembali menjadi sorotan di triwulan II 2024.
Perekonomian Papua memang mengalami pertumbuhan sebesar 4,37% (year-on-year/yoy), namun angka ini sebenarnya menunjukkan perlambatan yang signifikan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 17,49% (yoy).
Fenomena ini bukan hanya soal fluktuasi biasa, tetapi juga mencerminkan rapuhnya struktur ekonomi Papua yang selama ini terlalu bergantung pada satu sektor: tambang.
Terlalu bergantung pada satu sektor ekonomi, terutama yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti tambang, adalah kebijakan yang berisiko. Ketergantungan pada tambang telah membuat ekonomi Papua rentan terhadap berbagai dinamika global dan regional, mulai dari bencana alam hingga fluktuasi harga komoditas di pasar internasional. Pertanyaan yang harus diajukan: apakah Papua siap keluar dari ketergantungan ini, atau justru akan terus terjebak dalam siklus ekonomi yang tak stabil?
Ketergantungan Berbahaya pada Sektor Tambang
Sektor tambang telah menjadi andalan perekonomian Papua dengan kontribusi sebesar 42,27% terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada triwulan sebelumnya, pertumbuhan sektor ini terdorong oleh lonjakan produksi setelah masa pemulihan dari bencana banjir dan tanah longsor di awal 2023.
Namun, triwulan II 2024 menunjukkan bahwa sektor ini kembali mengalami penurunan produksi. Ini bukanlah pertama kalinya sektor tambang menunjukkan volatilitas yang tinggi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat bahwa kinerja sektor ini sangat tergantung pada faktor eksternal seperti cuaca dan kondisi geografis yang sulit.
Kondisi ini membawa kita pada permasalahan mendasar. Apakah Papua ingin terus menaruh seluruh telurnya dalam satu keranjang yang rentan jatuh kapan saja? Ketergantungan pada sektor tambang yang besar harus diwaspadai, karena sektor ini tidak hanya rentan terhadap faktor alam, tetapi juga terpengaruh oleh kebijakan internasional dan harga komoditas yang fluktuatif di pasar global.
Pemerintah perlu melihat realitas ini sebagai peluang untuk mulai memikirkan diversifikasi ekonomi Papua yang lebih berkelanjutan. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, yang meskipun hanya menyumbang 9,40% terhadap PDRB, memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
Namun, saat ini sektor-sektor tersebut belum mampu menyerap investasi dan teknologi yang memadai. Tanpa upaya diversifikasi ekonomi, Papua akan terus berada dalam siklus boom-bust—periode pertumbuhan pesat diikuti oleh kemunduran tajam yang disebabkan oleh berbagai ketidakpastian.
Peran Pemerintah dalam Distribusi Fiskal
Selain ketergantungan ekonomi pada tambang, ada masalah serius dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Di sisi keuangan pemerintah, ada ironi yang mencolok.
Meskipun pendapatan Papua tumbuh sebesar 77,17% (yoy) pada triwulan II 2024, tetapi angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 131,96% menunjukkan bahwa kinerja fiskal mulai melemah . Salah satu alasan perlambatan ini adalah penurunan penerimaan dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama yang terkait dengan penurunan ekspor tembaga.
Lebih ironis lagi, belanja pemerintah pusat di Papua mengalami kontraksi sebesar -23,38% pada triwulan II 2024. Artinya, pemerintah pusat mengeluarkan lebih sedikit dana dibandingkan triwulan sebelumnya yang justru tumbuh sebesar 105,76%.
Ada fenomena yang dikenal sebagai “back loaded,” yaitu kecenderungan pemerintah untuk menunda realisasi belanja hingga mendekati akhir tahun anggaran. Akibatnya, banyak proyek dan program pembangunan yang mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya. Ini adalah sinyal bahwa sistem keuangan yang ada di Papua, khususnya dalam hal transfer dana dari pusat ke daerah, masih belum optimal.
Sebagai negara yang menganut otonomi khusus untuk Papua, mekanisme transfer fiskal menjadi krusial. Meskipun transfer keuangan ke daerah dan dana desa (TKDD) tumbuh sebesar 14,04% pada triwulan II 2024, pertumbuhan ini lebih banyak didorong oleh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Desa yang alokasinya naik masing-masing sebesar 22,99% dan 14,04% masih perlu dievaluasi.
Namun, peningkatan transfer fiskal ini belum cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan inklusif. Di banyak daerah, penggunaan dana ini tidak maksimal, dan seringkali tidak tepat sasaran. Sebab, meskipun alokasi sudah dilakukan, pemanfaatan dana ini sering kali tidak tepat sasaran atau tidak terdistribusi dengan baik ke sektor-sektor yang membutuhkan.
Apakah Papua sedang berjalan di tempat? Meski ada peningkatan dalam nominal anggaran, mekanisme distribusi dan penggunaan dana masih perlu perbaikan serius. Pemerintah daerah harus lebih berani dalam menjalankan proyek-proyek yang benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat, bukan hanya sekadar memenuhi target belanja tanpa perencanaan yang matang.
Ketimpangan Inflasi dan Masalah Akses Pangan
Masalah inflasi juga memperlihatkan kesenjangan antar wilayah di Papua. Pada triwulan II 2024, Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan mengalami inflasi masing-masing sebesar 4,39% dan 5,65%, jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 2,51%.
Penyebab utama inflasi ini adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yang harganya melonjak akibat pasokan bahan makanan yang terbatas. Papua, yang selama ini bergantung pada Sulawesi Selatan sebagai pemasok utama bahan makanan, kini terjebak dalam krisis karena daerah tersebut mengalami kekeringan dan gagal panen.
Meski pemerintah melalui Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya pengendalian inflasi melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), seperti program Gerakan Pasar Murah dan pendampingan petani, langkah-langkah ini belum cukup. Krisis pangan di Papua bukan hanya soal kenaikan harga, tetapi tentang aksesibilitas dan ketahanan pangan jangka panjang.
Ketimpangan inflasi di Papua sangat dipengaruhi oleh terbatasnya akses terhadap pasokan bahan makanan dan barang kebutuhan pokok, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Pada 2024, Papua masih sangat bergantung pada pasokan bahan pangan dari luar, khususnya Sulawesi Selatan. Namun, kekeringan dan gagal panen di daerah tersebut selama 2023 dan 2024 menyebabkan prioritas pasokan dialihkan ke Pulau Jawa, mengurangi distribusi ke Papua.
Sulitnya transportasi dan infrastruktur yang terbatas di Papua Tengah dan Papua Pegunungan memperburuk situasi, membuat harga pangan melonjak tajam. Kenaikan harga ini menjadi kontributor utama inflasi di kedua provinsi tersebut. Sebaliknya, Papua dan Papua Selatan yang memiliki akses lebih baik terhadap jalur distribusi dan pasar utama di Jayapura mampu menjaga inflasi lebih rendah.
Hal ini menimbulkan implikasi pada aksesibilitas terhadap bahan pangan dan barang pokok akan terus menjadi tantangan utama dalam pengendalian inflasi di Papua, terutama di provinsi-provinsi yang lebih terpencil. Jika masalah distribusi ini tidak segera ditangani, ketimpangan inflasi antar provinsi akan semakin melebar hingga akhir 2024.
Provinsi Papua dan Papua Selatan memiliki struktur ekonomi yang lebih beragam dibandingkan dengan Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Sektor jasa, perdagangan, dan industri konstruksi di Papua dan Papua Selatan berkembang lebih pesat, yang memungkinkan penyeimbangan harga-harga barang dan jasa melalui kompetisi pasar yang lebih sehat. Sebaliknya, Papua Tengah dan Papua Pegunungan masih sangat bergantung pada sektor pertanian subsisten, di mana produktivitasnya sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim.
Ketergantungan yang tinggi pada sektor primer di Papua Tengah dan Papua Pegunungan menjadikan inflasi di kedua wilayah ini lebih sensitif terhadap fluktuasi harga pangan. Selain itu, minimnya industri pengolahan dan distribusi lokal mengakibatkan peningkatan biaya produksi dan distribusi barang, yang semakin mendorong kenaikan harga.
Diversifikasi ekonomi yang lebih terencana di Papua Tengah dan Papua Pegunungan harus menjadi prioritas. Hingga akhir 2024, tanpa adanya diversifikasi yang signifikan, inflasi di kedua wilayah ini akan tetap tinggi karena ketergantungan pada sektor primer dan tingginya biaya distribusi barang.
Untuk mengatasi masalah ini, Papua memerlukan kebijakan yang lebih progresif dan berjangka panjang dalam hal ketahanan pangan. Pembangunan infrastruktur agrikultur yang lebih memadai, serta peningkatan kapasitas petani lokal, harus menjadi prioritas. Papua memiliki potensi besar di sektor pertanian, namun hingga kini, potensi tersebut belum dioptimalkan.
Menjelang akhir 2024, inflasi di Papua diperkirakan akan tetap berada dalam rentang target nasional sebesar 2,5 ± 1%, terutama di Papua dan Papua Selatan. Namun, Papua Tengah dan Papua Pegunungan kemungkinan akan terus mencatat inflasi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional, kecuali jika ada langkah-langkah kebijakan yang signifikan dalam beberapa bulan ke depan.
Kesenjangan Sosial dan Masalah Ketenagakerjaan
Kesenjangan sosial di Papua terutama tercermin dari perbedaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan layanan dasar lainnya. Ketimpangan ini sering terjadi antara masyarakat asli Papua yang tinggal di daerah pedalaman dengan penduduk non-Papua yang cenderung tinggal di kawasan perkotaan dan pesisir
Salah satu aspek yang paling mencolok dari kondisi Papua adalah tingginya tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial. Pada Februari 2024, angka kemiskinan di Provinsi Papua Pegunungan mencapai 32,97%, jauh di atas angka nasional yang hanya 9,03%. Angka ini menggambarkan betapa masih jauhnya Papua dari cita-cita pemerataan ekonomi.
Masalah kemiskinan ini semakin diperparah oleh dominasi sektor informal di Papua. Sebagian besar tenaga kerja di Papua Pegunungan dan Papua Tengah bekerja di sektor pertanian dengan status informal. Bahkan, di Papua Pegunungan, persentase pekerja informal mencapai 95,66%. Tingginya pekerja informal berarti rendahnya jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja, yang pada akhirnya memperparah kemiskinan.
Masalah ketenagakerjaan di Papua sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi yang masih bergantung pada sektor-sektor tradisional seperti pertanian subsisten dan ekstraktif, serta kurangnya pengembangan sektor formal
Pemerintah daerah perlu melakukan reformasi besar-besaran dalam menciptakan lapangan kerja formal dan memperkuat jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin. Apakah Papua akan terus menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan yang mencolok? Jika tidak ada langkah yang konkret dalam mengatasi ketimpangan sosial, Papua akan terus tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Menjelang akhir 2024, Papua diperkirakan masih akan menghadapi tantangan besar dalam mengatasi kesenjangan sosial dan masalah ketenagakerjaan. Beberapa faktor yang akan mempengaruhi kondisi ini antara lain: peningkatan infrastruktur, pengembangan pendidikan dan keterampilan, dan stabilitas politik dan keamanan.
Mengambil Langkah Progresif untuk Masa Depan Papua dan Provinsi-Provinsinya Hingga Akhir 2024
Memasuki paruh kedua 2024, Papua, yang kini terdiri dari empat provinsi—Papua, Papua Barat, Papua Selatan, dan Papua Tengah—berada di persimpangan krusial dalam perjalanan ekonominya. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kisaran 6,0–6,8%, optimisme terhadap masa depan wilayah ini memang ada. Namun, pertumbuhan ini berpotensi hanya sementara jika pemerintah pusat dan daerah tidak mengambil langkah-langkah yang lebih radikal dan progresif dalam mengatasi permasalahan mendasar di seluruh provinsi Papua.
1. Diversifikasi Ekonomi: Mengurangi Ketergantungan pada Tambang
Ketergantungan Papua pada sektor tambang, terutama Freeport di Mimika, selama ini menjadi sumber utama pendapatan. Namun, ini adalah pilar yang rapuh, rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan tantangan lingkungan. Tanpa diversifikasi, ketergantungan berlebihan ini dapat menjerumuskan Papua ke dalam siklus ketidakstabilan ekonomi. Di provinsi-provinsi baru seperti Papua Selatan dan Papua Tengah, pemerintah harus memanfaatkan potensi pertanian yang besar. Papua memiliki tanah subur dan kekayaan alam yang melimpah, yang jika dikelola dengan baik dapat menghasilkan produk unggulan seperti kopi, kakao, dan rempah-rempah, memperkuat sektor agribisnis.
Selain itu, provinsi-provinsi ini juga harus mengembangkan sektor pariwisata berbasis alam dan budaya yang unik. Pariwisata yang dikelola dengan baik di tempat-tempat seperti Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Taman Nasional Lorentz bisa menjadi magnet global. Dengan potensi yang luar biasa, industri pariwisata berkelanjutan dapat menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi baru yang tidak hanya menguntungkan secara finansial tetapi juga menjaga kekayaan alam dan budaya lokal.
2. Industri Kreatif: Membuka Potensi Lokal
Industri kreatif di Papua masih merupakan potensi yang belum sepenuhnya digali. Provinsi-provinsi di Papua memiliki keragaman budaya yang luar biasa, dari seni ukir hingga tarian tradisional. Dengan dukungan dari pemerintah dan inisiatif lokal, produk-produk budaya ini dapat diolah dan dipasarkan secara nasional dan internasional. Papua harus memanfaatkan kekayaan budayanya untuk mendorong ekonomi kreatif, melibatkan generasi muda untuk menciptakan produk-produk inovatif yang dapat menghidupkan sektor ini. Pendekatan ini juga harus terintegrasi dengan teknologi, memungkinkan generasi muda Papua memanfaatkan platform digital untuk memasarkan karya-karya mereka di pasar global.
3. Reformasi Transfer Fiskal: Membangun Inklusi dan Efisiensi
Di seluruh Papua, masalah yang selalu muncul adalah tata kelola keuangan yang tidak merata dan kerap kali tidak efisien. Pemerintah pusat harus memperbaiki sistem transfer fiskal, memastikan bahwa dana otonomi khusus, yang menjadi instrumen penting untuk pembangunan, dikelola dengan baik dan transparan. Setiap provinsi, termasuk provinsi baru seperti Papua Selatan dan Papua Tengah, membutuhkan alokasi anggaran yang merata dan tepat guna untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Tanpa ini, banyak wilayah yang akan tertinggal, terutama di pedalaman yang masih minim infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih.
4. Pembangunan Infrastruktur yang Adil dan Merata
Papua membutuhkan infrastruktur yang lebih baik dan terencana dengan matang. Pembangunan jalan yang menghubungkan provinsi-provinsi di Papua harus menjadi prioritas untuk mempercepat akses ekonomi dan sosial. Selain itu, pembangunan pelabuhan dan bandara baru, terutama di wilayah yang sulit dijangkau, akan membantu mendorong ekonomi lokal dan membuka akses pasar yang lebih luas bagi hasil pertanian dan produk kreatif Papua. Infrastruktur telekomunikasi juga harus diperkuat, memungkinkan seluruh provinsi Papua terhubung secara digital, membuka akses informasi dan teknologi yang lebih luas.
5. Penguatan Sumber Daya Manusia: Pendidikan dan Pelatihan Vokasional
Selain fokus pada infrastruktur fisik, pembangunan Papua juga harus diarahkan pada penguatan sumber daya manusianya. Pendidikan berkualitas dan pelatihan vokasional harus menjadi prioritas untuk membekali generasi muda Papua dengan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja modern. Program pelatihan yang berfokus pada keterampilan teknologi, pertanian modern, serta kewirausahaan akan membantu mengurangi tingkat pengangguran dan ketergantungan pada sektor informal.
6. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Menuju Kemandirian Ekonomi
Membangun ekonomi Papua yang inklusif berarti melibatkan masyarakat lokal dalam proses pembangunan. Setiap provinsi di Papua harus memiliki program pemberdayaan ekonomi yang melibatkan masyarakat adat, memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi penonton tetapi juga aktor utama dalam pembangunan. Pemerintah harus mendorong inisiatif kewirausahaan lokal dan memberikan akses permodalan yang lebih mudah bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dengan langkah-langkah ini, seluruh provinsi Papua dapat mengembangkan potensi mereka secara maksimal. Tantangan di Papua bukan sekadar soal pertumbuhan ekonomi, tetapi bagaimana membangun ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berdaya saing tinggi. Papua tidak bisa lagi hanya mengandalkan sektor tambang. Perlu ada diversifikasi yang kuat, reformasi keuangan yang serius, dan pemberdayaan masyarakat lokal yang nyata. Jika tidak, harapan Papua untuk bangkit hanya akan menjadi bayang-bayang dari potensi yang tak pernah terwujud.