Oleh Denny JA, Ph.D
TEROPONGNEWS.COM – Pemilu presiden 2024 tidak hanya menjadi peristiwa politik. Ia juga menjadi kajian akademik. Itulah yang terjadi pagi hari itu.
Saya memberikan kuliah umum (2 jam) untuk kelas Mini MBA marketing politik. Ini program kerjasama antara tiga lembaga: SBM ITB, Kuncie, dan LSI Denny JA.
Kuliah umum juga sekaligus pertemuan para alumni dan para peserta di angkatan ketiga. Cukup banyak yang hadir, lebih dari 100 orang. Hadir juga awak media di sana. Juga datang para mentor-mentornya.
Yang menarik dalam kelas itu dieksplorasi satu topik mengenai post election ala Jokowi di Pilpres 2019. Akankah pola
itu terulang kembali di Pilpres 2024: capres yang menang mengajak capres yang kalah masuk kabinet?
Ketika Jokowi mengajak Prabowo menjadi menteri setelah Jokowi mengalahkannya di Pilpres 2019, banyak yang terpana. Manuver ini menjadi cukup heboh, sangat jarang terjadi, baru, segar dan cemerlang.
Karena manuver itu, tiba-tiba capres yang kalah menjadi bagian dari pemerintahan capres yang menang. Capres yang menang sekaligus mengambil kubu yang berseberangan berubah menjadi pendukung.
Mungkinkah ke depan pola Post Election ala Jokowi ini menjadi tradisi baru, yang terus diulang? Katakanlah Prabowo yang menang, lalu Prabowo mengajak Ganjar dan Anies masuk dalam kabinet.
Atau misalnya Ganjar yang menang, Ganjar mengajak Prabowo dan Anies masuk dalam pemerintahannya. Hal yang sama terjadi jika Anies yang menang.
Kemungkinan Capres yang menang mengajak Capres yang kalah memang fungsional. Ia menguntungkan capres yang menang dan capres yang kalah sekaligus.
Capres yang menang diuntungkan karena ia mendapatkan dukungan tambahan di DPR, untuk semakin menguasai kursi mayoritas DPR. Partai pendukung Capres yang kalah sekaligus juga menjadi pendukung Capres yang menang.
Sementara bagi capres yang kalah, menjadi bagian pemerintahan yang baru itu panggung politik yang bagus untuk tetap hadir di ruang publik. Menjadi menteri adalah estalase politik.
Pola seperti ini cukup lazim terjadi di dunia bisnis. Terminologi untuk itu adalah COOPETITION. Yaitu cooperation dan competition sekaligus.
Bekerja sama di satu sisi, dan bersaing di sisi lainnya. Dua pola itu dikerjakan secara bersamaan dalam hubungan dua perusahaan yang bersaing.
Misalnya ini terjadi antara Toyota dan Citroen. Itu dua merek mobil yang berebut segmen yang sama. Mereka bersaing di pasar, tapi juga bekerja sama untuk beberapa hal.
Dua merek mobil itu menciptakan mesin bersama. Masing- masing dari mereka memberikan kontribusi dalam soal dana dan keahlian dan teknisi. Biaya penciptaan mesin itu menjadi rendah bagi masing masing perusahaan karena mereka patungan.
Mesin karya bersama ini lalu digunakan baik oleh Toyota ataupun oleh Citroen. Tapi mereka kembali bersaing dengan brand masing – masing, walau sama sama menggunakan mesin karya bersama.
Jika pola ini digunakan dalam politik, itu berwujud seperti post election ala Jokowi. Apa efek Coopetition bagi kita para pemilih?
Para pemilih akan jauh lebih rileks dan realistis bertarung dalam pilpres. Di satu sisi, mereka tetap militan bertarung memenangkan pasangan Capres dan Cawapres masing- masing. Itu karena Capres dan Cawapres yang berbeda jika menang, akan membuat wajah Indonesia yang berbeda pula.
Tapi di sisi lain, para pendukung dan pemilih tidak bertarung yang berlebihan, memecah belah bangsa, hingga tega menyebar fitnah, hoax, video palsu, dengan isu sara, atau isu lain yang merendahkan. Mengapa?
Bukankah pada ujungnya nanti, capres-cawapres yang bersaing itu toh juga akan kerja sama di kabinet pemerintahan mendatang?
Tapi bagaimana dengan fungsi oposisi? Tak ada demokrasi tanpa oposisi?
Ketika Prabowo memutuskan ikut Jokowi paska bertarung di Pilpres 2019, oposisi tetap ada di parlemen. Oposisi juga tetap hadir di civil society. Media juga tetap menjalankan kontrolnya atas pemerintahan.
Coopetition, Post- Election Ala Jokowi, sudah dicoba. Kini pola coopetition tetap menjadi pilihan politik Indonesia. ***
Denny JA adalah pendiri lembaga survei LSI Denny JA