TEROPONGNEWS.COM – Salus Populi Sepreme Lex Esto, hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, demikian berseloroh adagium hukum yang sering didengar. Dari itu menyelenggarakanpemilihan umum (pemilu) serentak tahun 2024 bukanlah hal yang mudah, penuhresiko.
Karena ketiadaan apa atau siapapun yang menjamin akan berakhir pandemi
covid-19, sehingga konsekuensi terburuk yang diterima akibat penyelenggaraan pemilu
dapat berakibat fatal, yakni menambah klaster baru penyebaran covid-19 di Indonesia.
Hal ini tentu menjadi lokus, titik yang memenuhi seperangkat kondisi tertentu
yang membuat elit partai politik berbondong-bondong menyuarakan penundaan
penyelenggaran pemilu tahun 2024. Adapun hal lainnya yakni adalah perkara ekonomi
yang labil akibat pandemi, menambah bumbu narasi penundaan pemilu semakin sedap
untuk disajikan kepermukaan publik.
Anggaran delapan puluh enam triliun rupiah berikut dengan revisinya
dimuntahkan untuk pemilu 2024 di tengah bangsa yang masih dilanda pandemi covid-
19 adalah angka mubazir yang mana hingga kini masyarakat mengalami keterpapaan
disegala lini sebagai ekses dari pandemi tersebut.
Namun simalakanya, penundaan pemilu juga bisa berdampak sistemik,
anomalinya menyasar politik dan hukum, karena memerlukan adanya perubahan
signifikan regulasi yang mengatur pesta demokrasi tersebut. Sehingga dapatmempengaruhi stabilitas politik di Indonesia yang konon lebih mahal ongkosnya.
Dasar Pelaksanaan Pemilu 2024
Indonesia merupakan negara hukum, dimana salah satu ciri utamanya adalahstatutory laws atau statutory legislation yang secarakomprehensif harus konsistendengan hirarki peraturan perundang-undangan yang berpangkal dari UUD 1945sebagai hukum dasar.
Secara fundamental, penyelengaran pemilu merujuk pada pasal 1 ayat 2 Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Elemen penting kedaulatan rakyat dimaksud diatur kembali dalam pasal 22E
UUD 1945 yang mengatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan
berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali.
Berikutnya yang concern dalam hirarki peraturan perundang undangan adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umun. Sebagaimana amanah
Undang-Undang di atas, di mana penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan
Umum (KPU) memiliki kewenangan atribusi dan kewenangan delegatif, serta
berkonsultasi dengan DPR, Pemerintah dan melibatkan pihak-pihak lain dalam
menyusun Peraturan KPU termasuk norma yang mengatur jadwal hari dan tanggal
pemungutan suara.
Singkatnya kemudian DPR melalui Komisi II memutuskan memberikan
persetujuan atas usulan yang diajukan pemerintah dan KPU selaku penyelenggara
pemilu tentang jadwal pelaksanaan pemilihan umum 2024 yang akan diselenggarakan
pada 14 Februari 2024.
Menyibak dari fakta politik dan hukum di atas, agak aneh rasanya jika masih ada
yang menyoalkan pelaksanaan pemilu 2024, apalagi elit parpol rata-rata menduduki
posisi penting, baik di senayan mapun di istana. Tetapi dalam perkara ini tentu tidak
elok menjustifikasi apalagi mencari kembing berok sebagai biang kerok kegaduhan
yang sangat dirasa beberapa pekan ini. Apalagi Presiden Jokowi telah meresponsnya
dengan tegas bahwa dirinya tidak setuju dengan usulan tersebut, bahkan Jokowi pun
mencurigai ada pihak yang ingin menjerumuskannya dengan mengusulkan wacana
tersebut.
Tetapi segala kemungkinan bisa terjadi, karena dunia telah mengetahui
keganasan covid-19, dengan itu penyelenggaraan pemilu 2024 harus tertata kelola
dengan baik dengan memperhatikan dua aspek sekaligus yaitu teknis kepemiluan di
satu sisi dan ketaatan pada protokol covid-19 pada sisi lainnya.
Mencari Titik Tengah
Terkait dengan pemilihan umum dimafhumi dengan memperhatikan beberapa
hal, pertama ialah right to vote dan right to be elected/candidate, menyangkut hak
memilih dan hak untuk dipilih yang dijamin konstitusi, concern dalam periode pergantian
kepemimpinan, baik eksekutif ataupun legislative (pusat, provinsi dan kabupaten/kota).
Karenanya konstitusi menjamin periodeisasi kepemimpinan selama lima tahunan,
sebagaimana dijelaskan di muka dan jika melebihi itu artinya sudah menyalahi
konstitusi itu sendiri.
Kedua ialah apabila pemilu ditunda dengan alasan pandemi, maka tidak ada
yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Jika proses pemilu tidak
dilangsungkan, maka hal tersebut juga akan membawa permasalahan konstitusional di
kemudian hari.
Kemudian yang ketiga, jika penundaan pemilu dijadikan alasan momentum baik
untuk recovery ekonomi akibat pandemi. justru sebaliknya dengan menunda pemilu
dapat menyebabkan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia menurun,
sehingga hal tersebut justru tidak menguntungkan di sektor pertumbuhan ekonomi.
stabilitas politik di Indonesia sangat berdampak pada sektor perekonomian, sehingga
adanya pemilu justru dapat meningkatkan kepercayaan internasional dan menstabilkan
ekonomi di tengah masyarakat.
Dari segala kontroversinya, sudut pandang merawat dan menjaga masyarakat
agar tetap sehat dan terjamin kehidupanya ekuivalen dengan merawat dan menjaga
demokrasi. Mempertimbangkan landasan teori dimaksud, maka demi demokrasi, pemilu
tahun 2024 tidak boleh ditunda karena pandemi. Dengan catatan bahwa pelaksanaan
pemilu harus menjaga stabilitas demokrasi dengan mematuhi segala protokol covid-19.
Namun, paling terutamanya pada spare waktu saat ini, pemerintahan Jokowi
harus menuntaskan vaksinasi dan mengenjot reinventing obat covid-19. Dan
selanjutnya ialah menyegerakan pemulihan ekonomi akibat pandemi. dan termasuk
dengan persoalan pendidikan, dll, yang kesemuanya harus dituntaskan pemerintah
yang tinggal berumur lebih kurang 2 tahun ini.
Jokowi harus meninggalkan legacy, maka dari itu masyarakat harus disehatkan
dengan ekonomi, dipintarkan dengan pendidikan, sehingga pada tahun 2024
masyarakat telah dapat berdaulat secara politik.
Penutup
Karena pemilu di Indonesia tidak mengenal daring, melalui internet apalagi
melaui media pos, maka prinsip campaign distancing meski diterapkan secara tegas.
Segala macam yang dapat membawa atau berpindahnya virus, harus dicegah sedini
mungkin.
Tata caranya harus disosialisasikan kepada seluruh peserta dan
penyelenggara pemilu serta masyarakat pemilih Pemilu adalah pestanya demokrasi, pasti mengundang banyak elemen yang memancing berkumpulnya banyak orang, tidak hanya pada hari pemungutan suara tahun 2024 nantinya, tetapi dari sekarang juga, baik dari calon sementara, penetapan calon, sampai pada masa kampanye. Maka menjaga jarak dan mencegah kontaminasi objek oleh orang yang terinfeksi, sanitasi tangan, pemakaian masker, harus menjadi bagian penting dari tata cara selama pemilu berlangsung, dan harus dijadikan materi yang wajib dipedomani stakeholder pemilu. Jika tidak, sudah barang tentu rakyat kembali yang akan menjadi korban.
Memang, penyelenggaraan pemilu di masa covid-19 agak berat ketimbang
dimasa sebelum atau normalnya, namun inilah pilihan terbaik dalam berkonstitusi dan
bernegara. Sehingga pada akhirnya rakyat menuntut pemangku kepentingan harus
berkomitmen untuk mengikuti proses pemilu dengan kompetisi yang sehat, agar
demokrasi kuat dalam menghadapi pandemi global.