TEROPONGNEWS.COM,SORONG – Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK menjadi salah satu target prioritas bagi perkembangan kemajuan Provinsi Papua Barat Daya. Sebagai pintu gerbang tanah Papua, Sorong menjadi daerah yang potensial sebagai kota jasa dan kabupaten pemilik Sumber Daya Alam (SDA) yang besar.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menetapkan Kabupaten Sorong sebagai salah satu lokasi KEK di Indonesia. Mengapa Sorong bisa menjadi sasaran Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)? Tentu saja karena wilayahnya strategis dengan berbagai potensi yang belum tergali.
Targetnya KEK akan menjadi tempat industri skala besar yang berdiri di atas lahan seluas 523,7 Ha. Secara administratif berada pada jalur lintasan perdagangan internasional Asia Pasifik dan Australia.
Proyek KEK sudah dicanangkan sejak 2016 silam, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2016. Adapun peluang investasi dan pengembangan usaha di KEK Sorong meliputi industri pengolahan nikel, pengolahan kelapa sawit, hasil perikanan, hasil hutan dan perkebunan (sagu), pengolahan batu bara, stasiun pengisian bahan bakar, refinery, galangan kapal, instalasi pengolahan air, pabrik perakitan, packing plant, serta pembangunan pergudangan logistik.
Kawasan Ekonomi Khusus Sorong diketahui sudah menjadi bagian dari Program Strategis Nasional (PSN). Namun pemerintah setempat masih mengharapkan dukungan kebijakan dan anggaran dari kementerian/lembaga terkait bagi percepatan pembangunan infrastruktur penunjang yang ada di kawasan ini.
Apalagi, KEK yang ada di wilayah tersebut menjadi mimpi besar bagi semua masyarakat yang ada di Tanah Papua. Keberadaan KEK yang akan men-trigger pertumbuhan ekonomi serta kemajuan daerah Sorong Raya pada khususnya, dan Tanah Papua pada umumnya. Harapan besar KEK Sorong menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah timur Indonesia. Sejalan dengan salah satu prinsip Nawacita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran.
Area KEK Sorong terletak di Selat Sele memberikan keunggulan geoekonomi, yaitu potensi di sektor perikanan dan perhubungan laut. Lokasi tersebut juga sangat strategis untuk pengembangan industri logistik, agro industri serta pertambangan. Berdasarkan potensi yang dimiliki, KEK Sorong dikembangkan dengan basis kegiatan industri galangan kapal, agro industri, industri pertambangan dan logistik. Kawasan ini diperkirakan akan menarik investasi sebesar Rp 32,2 triliun hingga tahun 2025.
Menurut Bahlil Lahadalia yang saat itu menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koodinasi Penanaman Modal (BKPM), Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya harus serius dalam mengelola KEK Sorong agar dapat dikembangkan untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Papua.
“KEK di Sorong solusinya satu, selesaikan urusan lahan. Kedua, inventaris izin-izin usaha pertambangan yang tidak dioptimalkan. Ketiga, bangun hilirisasi di KEK. Buat aturan pembatasan nikel agar tidak keluar dari Sorong tapi diolah di KEK. Asalkan persoalan lahan beres, investor pasti tertarik. Jangan dicabut dulu status KEK-nya. Jaminannya, saya,” tegas Bahlil kala saat berkunjung ke Kota Sorong, Papua Barat Daya pada 4 Agustus 2023 lalu.
Di akhir tahun 2024, KEK Sorong masih minim pembangunan infrastruktur. Saat memasuki kawasan ini, terlihat gapura dengan jalan dua jalur. Di bagian tengah atas gapura, terdapat tulisan “Selamat Anda Memasuki Kawasan Ekonomi Khusus Sorong,” sedangkan sisi kiri dan kanan gapura dihiasi ornamen burung kasuari.
Dua sisi gapura dilengkapi portal dan pos penjagaan, namun tidak tampak adanya petugas keamanan di lokasi tersebut. Vandalisme dari tangan-tangan nakal turut terlihat menghiasi gapura tersebut.
Setelah melewati gapura, sepanjang jalan hanya terlihat hutan. Sesekali, terdapat rumah-rumah, penjual jagung, dan kios-kios kecil yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer, terlihat sebuah dermaga besar. Di sisi kiri dermaga terdapat pabrik semen Tonasa dengan slogan “Kokoh, Kuat, dan Terpercaya.” Sementara di sisi kanan, terdapat Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas I Sorong yang berada di wilayah kerja Pelabuhan Arar.
Untuk masuk kawasan ini, setiap kendaraan dikenakan tarif Rp5000. Banyak masyarakat datang untuk berwisata di dalamnya. Sejak sebelum kawasan ini berstatus sebagai KEK, tempat ini selalu ramai dikunjungi warga, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Mereka memanfaatkan waktu liburan dengan memancing, menikmati matahari terbenam, atau sekadar berjualan makanan ringan.
Di ujung kanan dermaga tampak Pelabuhan Angkutan Sungai, Danau dan Penyebarangan (ASDP), namun lebih familiar disebut palabuhan Arar, tempat bersandarnya kapal ASDP.
Terumbu Karang Selat Sele Terancam Pembangunan KEK Sorong
Kepala Biro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat Daya, Eksan Musa’ad, mengatakan bahwa terdapat dua pembangunan infrastruktur di KEK Sorong yakni; pertama kawasan yang terdiri dari Pelabuhan Arar, gerbang kawasan, jalan lingkungan, drainase utama, jaringan telekomunikasi, kantor administrator dan fasilitas keamanan.
Kedua pembangunan infrastruktur wilayah yang terdiri dari Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Ferry (RORO), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Katapop, Bandar Udara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong, Jalan nasional menuju Pelabuhan Arar, PLTMG 50 MW, jaringan air bersih dan air baku.
“Kurang lebih 5 perusahaan yang beroperasi di KEK, sebelum KEK itu dibangun. Di mana dulu namanya masih kawasan industri. Setelah dibentuk KEK maka jadilan PSN. Kawasan itu kemudian dikelola oleh Perusahaan daerah yaitu PT MOW,”ucap Eksan yang ditemui di ruang kerjanya,
Kondisi di lapangan menunjukkan hingga memasuki triwulan III, khususnya dari sisi realisasi investasi, belum ada peningkatan yang signifikan. Saat ini, KEK Sorong sedang dievaluasi oleh Kementerian Perekonomian serta Sekretaris Dewan Nasional (Sekdenas), dan telah dilakukan peninjauan langsung ke lapangan untuk mengidentifikasi hambatan atau masalah yang ada di KEK.
Penjabat Gubernur Papua Barat Daya, Muhammad Musa’ad, telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi tantangan proyek KEK. Sebagai Ketua Dewan Kawasan, gubernur membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang dibagi menjadi beberapa Kelompok Kerja (Pokja), seperti pokja lahan, infrastruktur, investasi, dan perizinan, dengan tujuan menyusun rencana aksi serta memperkuat koordinasi lintas sektoral.
Dalam hal ini, penjabat gubernur akan melaporkan hambatan dan permasalahan yang ada kepada presiden melalui Menteri Koordinator Perekonomian dan Sekretaris Dewan Nasional.
Koordinasi melalui rapat-rapat di tingkat pusat sering diikuti untuk melakukan evaluasi, karena pemerintah daerah melapor langsung kepada presiden. Diharapkan, ketika masa kepemimpinan Joko Widodo berakhir, tidak ada PSN yang terbengkalai, melainkan harus menunjukkan perkembangan atau setidaknya capaian tertentu.
“Dari 22 KEK di Indonesia, ada 6 KEK yang dimonitor secara intensif karena progres investasinya masih rendah. Sorong menjadi salah satunya, karena investasi yang belum mengalami peningkatan,” jelas Eksan.
Meskipun luas lahan KEK Sorong mencapai 523,7 hektar, statusnya belum sepenuhnya “clear and clean”. Sekitar 300 hektar lahan telah diselesaikan, sementara 200 hektar sisanya masih dalam proses penyelesaian ganti rugi dan sertifikasi.
“Namun, kami anggap itu sudah cukup baik karena sebagian besar lahan sudah dikuasai. Jadi, dari 523,7 hektar, kurang lebih 60 persen telah dikuasai. Sisanya masih dalam proses karena ada beberapa dokumen yang belum lengkap dan sedang diurus,” imbuhnya.
Selain masalah lahan, persoalan lain yang dihadapi adalah terkait infrastruktur dan energi/gas. Untuk menjalankan industri pengolahan seperti smelter nikel, ketersediaan gas dan material yang dibutuhkan sangat penting karena industri ini memerlukan sumber energi yang besar.
Mengantisipasi terjadinya pemanasan global, sebagian besar perusahaan yang ada di Indonesia mulai beralih ke energi hijau yang ramah lingkungan. Energi hijau diperoleh dengan memanfaatkan gas, sehingga penggunaan batu bara sebagai bahan bakar mulai ditinggalkan. Sebagai contoh, kelapa sawit dapat diolah menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT), yang mengubah paradigma dalam industri dengan menerapkan prinsip manajemen lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik dalam pengelolaan sumber daya alam.
Berkaitan dengan hal tersebut, tiga perusahaan besar yakni PT Malamoi Olom Wobok (PT MOW), PT Huahe Management Indonesia (PT HMI) dan PT Sino Consultant Investment Indonesia (PT SCII) telah menandatangani perjanjian kerja sama konsorsium terbentuknya PT Sinagi Olom Fagu pada 28 Mei 2024.
Pembentukan konsorsium tiga perusahaan ini dilakukan guna membangun smelter nikel dan pabrik pembuatan baja di KEK Sorong.
“Sebelum melakukan investasi, harus ada konsorsium terlebih dahulu, karena konsorsium adalah salah satu cara agar pengelolaan KEK ini dilakukan dengan lebih kuat, termasuk dalam aspek pendanaan, pengelolaan, dan manajemennya,”ucap Eksan.
Menurutnya, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan semua persyaratan lingkungan sudah diselesaikan. Namun, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah terkait Pelabuhan Arar. Pelabuhan tersebut awalnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan yang terbatas pada saat itu, bukan untuk kawasan KEK.
“Melihat kondisi saat ini, pelabuhan tersebut perlu dikembangkan, namun ada banyak terumbu karang di sekitarnya yang menjadi tantangan dalam pengembangannya. Oleh karena itu, salah satu fokus dalam pengembangan Pelabuhan Arar adalah penanganan terumbu karang, dan kami berencana untuk melakukan kajian mendalam terkait hal ini,”tambahnya.
Setelah kajian terhadap terumbu karang selesai, sambung Eksan, rencana pengembangan pelabuhan bisa dilanjutkan. Sebab dalam memindahkan terumbu karang, kata dia, memerlukan penelitian yang matang dan tidak bisa dilakukan sembarangan, hal ini terkait dengan isu lingkungan dan konservasi, yang saat ini menjadi perhatian utama.
Perusahaan asing asal China yang berencana melakukan investasi tersebut juga telah menandatangani MoU dan membentuk konsorsium, serta sudah memiliki rencana bisnis dan tahapan-tahapan untuk pembangunan. Mereka berencana membangun smelter pengolahan nikel di kawasan tersebut.
“Oleh karena itu, kami akan melakukan kajian terkait dengan terumbu karang, apakah karang tersebut harus dihancurkan atau dipindahkan,”jelasnya.
Sementara itu, terkait kawasan hutan, area yang dimaksud tidak terkena dampak langsung, sehingga tidak ada masalah di sisi tersebut. Meski untuk saat ini perusahaan masih menggunakan batu bara, mereka berencana untuk beralih menggunakan gas di masa mendatang, sejalan dengan upaya transisi energi yang sedang berlangsung.
Eksan menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan ini adalah masalah infrastruktur pelabuhan, gas, material, bahan baku, dan air bersih. Investor asal China tersebut hanya meminta dua hal, yakni pasokan gas dan material bahan baku nikel dalam jumlah besar, mengingat perusahaan yang akan didirikan berskala besar.
“Terkait lahan, meskipun disiapkan 523,7 hektar, perusahaan itu hanya membutuhkan 200 hektar, sehingga masih ada lahan cadangan. Saat ini, fokusnya adalah pengembangan aspal, CPO, semen, serta perahu katamaran/fiberglass untuk wisata di masa depan,”pungkasnya.
Dampak Bagi Masyarakat Sekitar KEK
Ditemui secara terpisah, Ruben Kammi, salah satu pemilik ulayat di KEK Sorong, menyadari dampak yang akan timbul akibat pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut. Misalnya, masyarakat pesisir berpotensi kehilangan pekerjaan karena sumber daya laut berkurang akibat penimbunan. Selain itu, ancaman abrasi yang nyata, terutama di Pulau Yerusel, yang merupakan destinasi wisata masyarakat Sorong, harus menjadi perhatian serius.
“Mengenai dampak lingkungan, itu sudah pasti ada. Seperti abrasi di daerah pesisir yang memiliki risiko akibat peningkatan volume air, yang paling terdampak adalah di sekitar pulau. Debit air meningkat akibat penimbunan, sehingga volumenya bergeser ke pulau lainnya,” ungkap Ruben.
Akan tetapi, sebagai masyarakat adat, ia mendukung pengembangan KEK karena dianggap mampu mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua Barat Daya, khususnya di Kabupaten Sorong.
Menurut Ruben, kesempatan kerja di KEK menjadi solusi bagi masyarakat pesisir yang mata pencahariannya terdampak, perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah.
“Untuk mengatasi dampak tersebut, pemerintah kabupaten/provinsi harus membuka peluang kerja seluas-luasnya bagi masyarakat di pulau sekitar KEK. Sebagai akibat dari mata pencaharian masyarakat nelayan sekitar KEK yang terganggu akibat abrasi. Perlu menarik mereka untuk bekerja di perusahaan wilayah KEK, sesuai di sektor yang bisa mereka kerjakan,” jelasnya.
Ruben menyatakan lahan KEK tidak termasuk dalam kawasan konservasi karena telah dialihfungsikan menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Sebagai salah satu pemilik hak ulayat, ia menyambut baik pengembangan ekonomi di tanah Malamoi, terutama karena hal ini berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat adat.
Penjelasan Direktur Bisnis PT Malamoi Olom Wobok (MOW), Abdul Gani Malagapi memperkuat pernyataan Kabiro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat Daya, setiap industri yang masuk dalam KEK harus memerhatikan faktor lingkungan. Di mana KEK Sorong punya aturan tersendiri, berdasar Peratuan Pemerintah nomor 40 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan peraturan Sekdenas nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan-Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Rinci (RKL-RPL Rinci) dan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup di KEK.
Berdasarkan evaluasi secara holistik terhadap seluruh darnpak penting hipotetik, dihasilkan bahwa dampak penting yang bersifat positif dapat dipertahankan dan dampak penting yang bersifat negatif dapat ditanggulangi dengan teknologi.
PT Malamoi Olom Wobok (Perseroda) dalam melaksanakan kegiatannya, wajib memenuhi ketentuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dan bertanggungjawab sepenuhnya atas pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan dari kegiatan yang dilakukan.
“Selain kewajiban sebagaimana dimaksud, kami wajib menyediakan tenaga ahli yang mempunyai kompetensi di bidang lingkungan hidup serta melaksanakan koordinasi dengan administrator Kawasan Ekonomi Khusus dan wajib dipantau setiap 6 bulan,”ujarnya.
Abdul Gani mengungkapkan, rencana kegiatan oleh PT MOW dinyatakan telah sesuai dengan ketentuan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup sepanjang tidak ada perubahan atas usaha dan/atau kegiatan.
Selain itu, apabila dalam pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan, timbul dampak di luar dampak lingkungan, penanggung jawab RKL-RPL Rinci PT MOW wajib melaporkan kepada Direktur Utama PT MOW selaku Badan Usaha KEK Sorong.
Di samping itu, meski 6.000 hektar KEK sudah mempunyai Amdal kawasannya, namun investor besar belum juga masuk. Investor yang rencananya akan masuk ada PT Antam, PT Sheng Whei yang konsorsium dengan PT MOW, juga PT Sino Consultant Investment.
“Semua ini sudah di atas kertas, dan sudah mantap semua, bahkan PT Sino sudah ada konsorsium dan lengkap dengan penandatanganan saham bersama pada 28 Mei 2024 dan rencanya groundbreakingnya itu adalah juni 2024. Namun hasilnya sampai hari ini belum terwujud. Seandainya mereka jadi masuk, lahan yang kami serahkan untuk mereka booking adalah sekitar 300 hektar, itu kami sudah siap,”jelasnya.
Diakui Abdul Gani, kegiatan proyek KEK yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan mencakup penyiapan dan penataan lahan, mobilisasi peralatan dan material, pembangunan serta pengoperasian basecamp, dan pembangunan fasilitas lainnya.
Dampak-dampak yang mungkin timbul dari kegiatan ini meliputi penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan, peningkatan aliran air permukaan, gangguan terhadap vegetasi dan fauna darat, gangguan lalu lintas, peningkatan limbah padat atau sampah, penurunan kualitas air laut, serta gangguan terhadap kehidupan perairan.
Ia juga bersyukur pemukiman masyarakat Sorong jaraknya jauh, sekira 2 km dari KEK Sorong. Selain itu, PT MOW mempunya estate regulation yang menjadi pedoman bagi pelaku usaha untuk setiap kegiatan, baik tentang teknis Pembangunan, maupun teknis pengolahan.
“Saat ini estate regulationnya kami sudah 60 persen disusun. Kami berikan buku itu kepada pelaku usaha untuk berpedoman kepada estate regulation, guna mencegah terjadinya dampak lingkungan kepada masyarakat,”tuturnya.
Selain itu, menurut Abdul Gani, perlu dibangun fasilitas pengolahan limbah kering, basah, dan limbah B3, yang akan menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Semua infrastruktur, termasuk penggunaan lahan, pengkaplingan, dan pembangunan fisik, harus mengikuti pedoman tata kelola yang telah ditetapkan dalam regulasi estate KEK.
“Jika pelaku usaha tidak mematuhi regulasi tersebut, maka akan diberikan teguran keras sebagai bentuk penegakan aturan di dalam KEK, “ sebut Gani, menegaskan adanya regulasi taat hukum bagi pelaku usaha.
Dilema Terhadap Kerusakan Karang
Harapan besar bagi masyarakat di seputaran proyek KEK, pembangunan infrastruktur memerhatikan dampak lingkungan. Mewakili masyarakat Kampung Arar, Muhammad Yassin Rumbrawer menyampaikan bahwa dirinya pernah terlibat sebagai salah satu anggota tim yang meminta agar pengerukan terumbu karang di sekitar dermaga KEK Sorong dihentikan. Sebab, terumbu karang menjadi habitat penting bagi ikan, juga menjadi tempat berlindung, mencari makan, dan berkembang biak. Mayoritas warga Kampung Arar sendiri berprofesi sebagai nelayan dan petani rumput laut, sehingga keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka. Apabila terumbu karang dikeruk atau dimusnahkan, maka biota laut di sekitar dermaga akan semakin menjauh, memaksa nelayan untuk mencari ikan lebih jauh dari kampung mereka.
“Kalau terumbu karang benar-benar dikeruk dan dihancurkan, maka biota laut akan semakin jauh, sehingga masyarakat kami harus mencari lebih jauh lagi. Apalagi alat yang kami miliki hanya perahu ketinting,” ungkap Yassin saat ditemui di Kampung Arar.
Yassin juga mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa semakin jauh nelayan mencari hingga 1-2 mil dari kampung, risiko bahaya akibat angin dan ombak semakin meningkat. Ia berharap pemerintah dapat mencari solusi agar dermaga di sekitar KEK tetap berfungsi tanpa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat pesisir.
Selain menjadi nelayan, masyarakat Kampung Arar juga mengembangkan budidaya rumput laut di sekitar dermaga KEK Sorong. Rumput laut tersebut diolah menjadi berbagai produk seperti chesstik atau sistik rumput laut, campuran bakso, hingga diekspor melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Arar. Budidaya rumput laut ini telah ditekuni masyarakat sejak 2016. Namun, akibat aktivitas pelabuhan yang semakin ramai serta limbah yang dihasilkan, budidaya rumput laut kini harus dipindahkan ke tempat yang lebih jauh karena pencemaran. Demikian pula, ikan-ikan semakin berpencar sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang.
Meski telah merasakan dampak negatif dari pembangunan ini, masyarakat tetap bersyukur atas perhatian pemerintah pusat yang telah mendirikan KEK, satu-satunya di wilayah Tanah Papua. Mereka memandang ini sebagai langkah penting dalam mendukung pengembangan Provinsi Papua Barat Daya di masa mendatang. Pelabuhan Arar yang kini menjadi pelabuhan penyeberangan juga memberikan dampak positif berupa lapangan pekerjaan meski sebatas pekerja kasar.
Namun, persoalan pasang surut air laut juga sangat berdampak pada Kampung Arar. Saat air pasang disertai ombak, air bisa melampaui tembok pembatas yang mengelilingi pulau Arar.
“Kami mendukung pembangunan ini, tetapi kami yang ada di pesisir ini juga harus diperhatikan. Jangan sampai pembangunan berkembang pesat, tetapi masyarakat malah terpinggirkan,” ujar Yassin.
Kampung Arar juga memiliki Pulau Yerusel yang berdekatan dengan dermaga KEK, yang kini menjadi destinasi wisata unggulan dan menjadi aset penting bagi Kampung Arar karena sering dikunjungi wisatawan. Ada pula Pulau Yawya atau Pulau Panjang, pulau tak berpenghuni yang terletak di belakang Pulau Yerusel disekitarnya juga ditanami rumput laut.
Yassin menuturkan, bahwa kenaikan air laut akibat penimbunan yang terjadi di sekitar dermaga berpotensi menyebabkan penurunan tanah secara signifikan. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena akan mengikis daratan dan pulau-pulau di sekitar KEK, termasuk Kampung Arar yang terancam hilang akibat abrasi.
Sebelumnya, telah direncanakan agar masyarakat Kampung Arar direlokasi ke Desa Rawa Sugi, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong. Namun, adaptasi di sana dianggap sangat sulit. Perpindahan dari pesisir ke daratan tidak hanya mengubah lokasi, tetapi juga mengubah mata pencaharian dari nelayan menjadi petani.
Kekhawatiran itu juga diungkapkan oleh Nurdin Rumaur. Selaku kepala Kampung Arar, ia menyampaikan bahwa dampak lingkungan akibat pembangunan ini sudah mulai terasa, termasuk tercemarnya sumur air bersih akibat debu batu bara yang beterbangan dari pelabuhan ke Kampung Arar.
Harapan Untuk Tetap Menjaga Biota Laut
Menyoroti dampak pembangunan infrastruktur serta industri di wilayah KEK Sorong, Ketua Papua Forest Watch (PFW) di Tanah Papua, Charles Tawaru, mengatakan dampaknya meliputi aspek lingkungan hingga sosial.
Menurut Charles, salah satu dampak lingkungan yang mungkin terjadi adalah abrasi yang disebabkan oleh reklamasi. Selain itu, terumbu karang di sekitar dermaga berisiko mengalami kerusakan. Meskipun secara kasat mata dampaknya belum terlalu terlihat karena aktivitas industri belum berjalan, dampak tersebut pasti akan terasa seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, pemantauan secara intensif terus dilakukan.
“Jika terumbu karang di lokasi itu masih bagus, sebaiknya tidak diganggu, karena jika dipindahkan, kemungkinan besar akan mati. Kalau terumbu karang hilang, biota laut otomatis hilang karena terumbu karang itu adalah rumahnya ikan. Solusinya bisa dengan menanam pionir-pionir terumbu karang, namun prosesnya membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk tumbuh,” jelasnya.
Terumbu karang di sekitar KEK Sorong menjadi salah satu kendala dalam pembangunan infrastruktur Pelabuhan Arar. Hal ini tentu memerlukan kajian dan solusi agar dampaknya tidak terlalu besar. Ancaman terbesar yang bisa terjadi adalah abrasi. Tiga pulau yang dekat dengan KEK Sorong berpotensi hilang jika terjadi reklamasi yang meningkatkan debit air, membuat air mencari area yang lebih rendah.
“Otomatis kampung-kampung atau pulau-pulau di sekitar pasti terkena dampak. Lihat saja contoh reklamasi Tembok Berlin, area terdekatnya adalah Rufei dan Pantai Tanjung Kasuari. Dampaknya mungkin belum terasa sekarang, tapi dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, ketika permukaan laut naik karena pencairan kutub, dampaknya akan terasa. Meski mungkin kita di sini tidak terdampak langsung, beberapa pulau di negara-negara kepulauan Pasifik sudah mulai hilang,” beber Charles.
Charles menjelaskan, jika pelabuhan atau dermaga tersebut tetap menjadi prioritas pembangunan, pemerintah perlu memberi solusi agar pembangunan tetap berjalan, namun pulau-pulau di sekitarnya bisa bertahan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan peremajaan, pembersihan laut, penanaman pionir terumbu karang, serta menghindari penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Belum lagi, debu batubara yang beterbangan ke pulau-pulau sekitar, terutama Kampung Arar. Kampung ini memiliki sumur yang airnya masih layak konsumsi, namun jika tercemar, bisa menimbulkan berbagai penyakit. Debu batubara sendiri mengandung logam berat dan bahan kimia berbahaya yang bisa membunuh ikan, meningkatkan kekeruhan air, serta sangat berbahaya jika sampai terkonsumsi oleh manusia.
Dari sisi dampak sosial, masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan mungkin belum siap menghadapi dunia industri sebagai pengganti pekerjaan mereka. Mereka yang sebelumnya hidup dengan bergantung pada laut dan hutan mungkin akan kesulitan jika hutan hilang dan harus bergantung pada industri, sementara mereka tidak memiliki keterampilan yang sesuai. Hal ini tentu akan memengaruhi kehidupan sosial masyarakat di sekitar.
Wilayah KEK Sorong menjadi harapan besar sekaligus dilema bagi masa depan. Dampak lingkungan mulai dirasakan seiring dengan tahapan pembangunan infrastruktur yang tengah berjalan.