TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dari empat desa di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menggelar uji coba paket ekowisata bagi sejumlah wisatawan pada 18-21 September 2024 kemarin.
Adapun Pokdarwis yang melakukan uji coba yaitu pertama kelompok Tee La Ganda dari Desa Balasuna Selatan, Kecamatan Kaledupa. Kedua, kelompok Poassa Nuhada dari Desa Kulati, Kecamatan Tomia Timur. Ketiga, Community Based Tourism (CBT) Tadu Sangia dari Desa Dete, Kecamatan Tomia Timur. Keempat, CBT One Soea dari Desa Kollo Soha, Kecamatan Tomia.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi Muhidin berpendapat, pariwisata merupakan salah satu sektor penting, mampu memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat. Maka itu, perlu ada pengembangan paket wisata inovatif untuk dapat menyedot wisatawan agar berkunjung ke Wakatobi.
Muhidin berujar, selain wisata bahari, Wakatobi memiliki potensi wisata sejarah dan budaya yang kaya. Ia menekankan, potensi-potensi ini perlu ditonjolkan guna mendatangkan wisatawan yang berminat pada wisata yang erat kaitannya dengan masyarakat.
“Dengan begitu, sejarah dan budaya di setiap daerah di Wakatobi akan lebih dikenal oleh masyarakat luar,” ujar Muhidin dalam rilis pers Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dikutip di Jakarta, Rabu (26/9/2024).
Eksprolasi jejak sejarah dan budaya menjadi paket wisata inovatif yang ditawarkan oleh keempat Pokdarwis yang melakukan uji coba, seperti mengunjungi situs budaya Puo Nu Futa di Desa Balasuna Selatan.
Kemudian, menjelajahi hutan adat Liang Kuri-Kuri di Desa Kulati, menyaksikan pertunjukan tari Hekulu-Kulu dari Desa Kollo Soha, hingga mengunjungi rumah pembuatan tenun dan kerajinan tangan khas Wakatobi.
“Memperkenalkan jejak sejarah dan budaya melalui pariwisata merupakan salah satu upaya kami sebagai generasi muda untuk melestarikan sejarah dan budaya di daerah masing- masing. Kami juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk berkisah terkait sejarah, budaya, dongeng, mitos, dan kearifan lokal kepada wisatawan,” kata Ketua Kelompok Poassa Nuhada, Nyong Tomia menambahkan.
Selain itu, paket wisata yang diuji coba yakni paket “live in”. Di sini para wisatawan tidak hanya diajak untuk menjelajahi lokasi-lokasi wisata, tetapi juga mendapat pengalaman tinggal bersama masyarakat lokal. Hal ini juga merupakan salah satu upaya dari Pokdarwis untuk memperkenalkan budaya kelokalan di desa-desa mereka.
“Wisatawan akan menginap di rumah masyarakat, makan bersama dengan menu sehari-hari masyarakat, serta bercengkrama dengan para penduduk di desa. Dengan begitu, wisatawan tidak hanya menjelajah lokasi-lokasi wisata, melainkan juga mendapat pengalaman menjadi penduduk di desa setempat,” tutur Ketua CBT Tadu Sangia, Jamarudin.
Pengembangan Ekowisata Melalui Pendekatan SIGAP
Salah satu wilayah yang menawarkan potensi besar dalam sektor pariwisata di Indonesia adalah Kabupaten Wakatobi. Wakatobi dikenal sebagai salah satu destinasi selam terbaik di dunia. Terumbu karangnya yang kaya akan keanekaragaman hayati menjadi daya tarik utama bagi penyelam.
Selain itu, Wakatobi memiliki kekayaan budaya yang beragam, termasuk tarian tradisional, kerajinan tangan, dan festival lokal yang menarik wisatawan.
Yayasan Konservasi Alam Nusantara atau YKAN melalui pendekatan Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan (SIGAP) telah bekerja di Wakatobi bersama mitra Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW) untuk mendampingi komunitas lokal yang bergerak di bidang pariwisata, baik dari penguatan kelembagaan, penyusunan kode etik, pengadaan papan informasi dan sebagian peralatan pemandu, serta pengembangan paket wisata.
“Masyarakat pesisir di wilayah Wakatobi didampingi melalui kegiatan peningkatan kapasitas manajemen organisasi, terutama untuk meningkatkan penghidupan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Salah satunya melalui sektor pariwisata yang berwawasan lingkungan atau ekowisata,” kata Koordinator Program Wakatobi YKAN La Ode Arifudin.
Arifudin mengungkapkan, melalui ekowisata, para kelompok dampingan menekankan konsep pariwisata yang berlandaskan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan.
Oleh sebab itu, paket “live in” yang ditawarkan oleh masing- masing kelompok mencakup unsur sejarah dan budaya, sosial, konservasi, pendidikan, dan pemandangan alam.
“Para kelompok dampingan sudah sadar bahwa kegiatan ekowisata yang mereka tawarkan harus memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya, baik dari sisi kelestarian lingkungan maupun sosial dan budaya masyarakat setempat,” kata Arifudin memungkasi.