HukumPress Release

AJI Jayapura Kecam Aksi Pengeroyokan Empat Jurnalis Papua di Nabire saat Meliput Demonstrasi

×

AJI Jayapura Kecam Aksi Pengeroyokan Empat Jurnalis Papua di Nabire saat Meliput Demonstrasi

Sebarkan artikel ini

TEROPONGNEWS.COM, SORONG – Aliansi Jurnalis Independen Jayapura mendapatkan laporan terkait adanya aksi pengeroyokan hingga perampasan alat kerja terhadap empat Jurnalis di Kabupaten Nabire, Papua Tengah, Jumat (5/4/2024).

Dari siaran pers yang dibagikan Wakil Ketua Advokasi AJI Jayapura Safwan Azhari, Sabtu (6/4/2024) berdasarkan informasi yang dihimpun AJI Jayapura, aksi pengeroyokan terhadap empat jurnalis di Nabire yakni Elias Douw (wagadei.id), Kristianus Degey (seputarpapua.com), Yulianus Degei (tribun-papua.com), dan Melkianus Dogopia (tadahnews.com) terjadi sekitar pukul 10.20 WIT.

Keempat jurnalis tersebut awalnya ingin meliput aksi demo yang digelar Front Rakyat Peduli Hal Asasi Manusia Papua di Nabire terkait penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum TNI.

Elias Douw wartawan wagadei.id mengaku tiba di lokasi demontrasi pukul 08.00 WIT, ketika dirinya berada titik kumpul massa aksi di Pasar Karang Tumaritis Nabire untuk meliput aksi demonstrasi, beberapa oknum polisi mendatanginya lalu bertanya terkait asal media.

“Mereka (polisi) tanya ko dari pers ka atau media mana,” katanya.

5400
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Lalu Elias menjawab dirinya sebagai wartawan dari media online wagadei.id, selang 23 menit, aparat menembakkan gas air mata sebanyak lima kali, setelah itu massa aksi dan anggota polisi mulai ribut.

Pukul 08.14 WIT, empat anggota polisi menghampiri Elias dan mereka teriak dengan kata wee anak kecil ko pulang, ko bikin apa di sini.

“Ada satu anggota polisi pakai baju hitam juga bilang wee ko pulang-pulang, wee ko pulang-pulang, ko pulang ke rumah, mereka bawa rotan, mau pukul saya, saya takut jadi saya lari, mereka juga ikut lari kejar saya, tapi dari pertengahan mereka (polisi) kembali,” katanya.

Selain itu, saat dikonfirmasi Kristianus Degey jurnalis seputarpapua.com mengaku, pihaknya turun dan meliput demo mahasiswa dan rakyat Papua.

Setibanya di sana, ia mengeluarkan alat-alat jurnalistik seperti handphone untuk merekam video atau memotret foto, namun beberapa oknum polisi bereaksi lalu mendekati dan bertanya dengan nada yang lantang “anjing ko bikin apa? Video dan foto cepat hapus”.

“Saya kasih tahu kalau saya wartawan sambil saya tunjukkan ID CARD pers di dada. Lalu mereka ambil hp saya dan tahan sekitar 30 menit. ‘Nanti kau datang ambil di Polres ya’,” katanya sambil menirukan ungkapkan mereka.

“Kau mau bikin apa ambil video dan foto otak. Kau pulang sana babi,” ujar polisi itu dengan nada emosi.

Sesampainya di Polres Nabire, polisi kemudian mengambil ID CARD dan lihat. “Kau tidak boleh liput dan kau keluar dari tempat ini. Kau cepat keluar tidak perlu kau liput,” ucap polisi.

Terpisah, saat dikonfirmasi Yulianus Degei jurnalis Tribun-Papua.com mengaku dikeroyok sejumlah oknum polisi saat meliput demo di daerah Wadio, Nabire.

“Saat itu saya sedang liput aksi depan hotel Jepara 2 Wadio. Ada polisi datang tanya, saya bilang saya wartawan sambil tunjukkan ID CARD,” katanya.

Setelah itu, terdapat empat anggota polisi menghampirinya lalu melakukan aksi main hakim atau memukul di kepala Yulianus.

“Ada empat anggota polisi datang sama-sama baru pukul saya di kepala tapi untung pakai helm jadi tidak berat,” katanya.

Sesaat itu alat kerja jurnalistik juga dirampas kebetulan sedang memegang di tangan. “Saya punya juga dirampas paksa, saya lagi siaran langsung di facebook. Saya punya hp ada di tangan polisi,” katanya.

Kondisi itu juga dialami Melkianus Dogopia jurnalis tadahnews.com saat meliput aksi demonstrasi di Kabupaten Nabire.

Sekitar pukul 12.30 WIT, dirinya hendak masuk di titik kumpul Jepara 2 Nabire, namun situasi di situ sudah diblokade oleh kepolisian dan terbagi menjadi dua antara massa aksi dan Polres Nabire.

“Saya bertemu dengan seorang polisi, namanya tertutup jas lantas, menahan saya. Dia bilang balik, sebab di sini sudah tidak bisa lewat. Mau bikin apa, pulang ke rumah,” kata polisi ke Melkianus Dogopia.

Meskipun ia menunjukkan ID CARD pers, dan surat tugas, polisi itu tetap menyuruh Melkianus agar balik.

“Situasi sudah berubah menjadi kriminal jadi, kamu balik saja, tidak ada ambil-ambil berita di sini,” teriakan satu anggota polisi di antar rombongan mereka.

Kepolisian dan pelarangan untuk meliput kegiatan aksi ini, kata dia merupakan bagian dari pembungkaman ruang demokrasi.

Terkait kejadian itu, Ketua AJI Jayapura Lucky Ireeuw menyampaikan AJI Jayapura telah mengeluarkan beberapa poin sikap terkait aksi pengeroyokan hingga perampasan alat kerja jurnalis di Nabire.

Pertama tindakan para petugas keamanan mengusir serta dugaan mengintimidasi secara verbal merupakan tindakan merusak citra demokrasi Indonesia khususnya pada perlindungan dan jaminan ruang aman untuk jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Bahkan tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Pers Pasal 18 ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Poin yang kedua, mendorong semua pihak menghormati dan memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas profesinya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Jurnalis memiliki hak dan mendapatkan perlindungan hukum dalam hal sedang menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya yang dijamin Pasal 8 UU Pers. Perlindungan hukum itu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat;

Poin yang ketiga mendesak semua pihak termasuk aparat keamanan berhenti menghalang-halangi dan membatasi kerja jurnalis yang berujung menghambat hak publik untuk mendapat informasi.