TEROPONGNEWS.COM, SORONG – Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo telah menyematkan pangkat Bintang Empat, Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Penganugerahan pangkat istimewa untuk Prabowo tersebut diberikan dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri 2024 di Mabes TNI, Cilangkap, Rabu (28/2/224).
Kenaikan pangkat Prabowo sesuai dengan Keppres Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tanggal 21 Februari 2024 Tentang Penganugerahan Pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan.
Pemberian Pangkat Bintang Empat Jenderal Kehormatan oleh Presiden Joko Widodo kepada saudara Prabowo Subianto dipandang oleh pejuang Hak Asasi Manusia di seluruh Indonesia sebagai sebuah “tamparan keras” terhadap Citra Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia yang sudah diperjuangkan serta diwujudkan melalui keringat, air mata bahkan darah.
Rasa sedih dan prihatin turut pula disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy.
“Saya sangat sedih dan prihatin melihat “praktek perwayangan” yang dalangnya adalah Joko Widodo sebagai Kepala Negara,” ungkap Yan Warinussy melalui telephone selulernya, Kamis (29/2/2024).
Pemberian Pangkat Jenderal Kehormatan bagi pribadi diri seorang Prabowo Subianto, kata Warinussy, jelas sangat menyakiti hati rakyat Indonesia, apalagi hati keluarga para korban orang hilang 1998.
Dimana Prabowo Subianto sempat disidangkan oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) TNI Angkatan Darat yang diketuai Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo kala itu.
Lalu keluarlah keputusan nomor : KEP/03/VIII/1998/DKP, tanggal 21 Agustus 1998.
Dimana dalam keputusan DKP keluarlah rekomendasi utama agar Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas kemiliteran nasional.
Warinussy sampaikan nama Prabowo Subianto diduga terkait erat dengan peristiwa pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.
Salah satunya dalam peristiwa penyelamatan seorang sandera peneliti dari Proyek Ekspedisi Lorentz yang hingga saat ini tidak jelas.
“Siapa yang telah melakukan penembakan dan menewaskan salah satu sandera Ekspedisi Lorentz di Mapenduma tahun 1996 tersebut, ” kata Yan Warinussy.
Seharusnya Presiden Joko Widodo harus mempertimbangkan Putusan DKP tanggal 21 Agustus 1998 bagi Negara terhadap sosok Prabowo.
“Seyogyanya pemberian Pangkat Jenderal Kehormatan sedari awal dipertimbangkan secara lebih arif dan bijaksana oleh Presiden, ” tandas Yan Warinussy.
Sebagai sosok yang getol memperjuangkan penuntasan HAM berat di Tanah Papua, Yan Warinussy mengaku kejelasan penuntasan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua menjadi suram.
Sesuai catatan Komnas HAM, ada terdapat enam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Papua yakni pertama, kasus Biak Berdarah Juli 1998.
Dalam peristiwa Biak Berdarah itu, sejumlah korban diketahui tewas, luka, dan cacat seumur hidup dalam tragedi berdarah tersebut. Kasus ini masih dalam penyelidikan.
Yang kedua, kasus Wasior Berdarah di Desa Wondiboi, Distrik Wasior pada 13 Juni 2001. Dimana empat orang tewas dan 39 orang disiksa. Kasus ini belum mendapat kepastian hukum.
Yang ketiga, kasus Wamena Berdarah pada April 2003 dimana dikabarkan Komnas HAM, bahwa dalam peristiwa itu, ada 9 orang meninggal dunia, dan 38 luka berat. Yang keempat, tragedi Universitas Cenderawasih Jayapura berdarah pada Maret 2006.
Yang kelima Kasus Paniai Berdarah Desember 2014. Dimana KontraS mencatat peristiwa penembakan pada warga di Paniai itu menewaskan empat orang di TKP dan satu orang meninggal dunia saat menjalani perawatan.
Yang terakhir, kasus dugaan penembakan oleh pihak kepolisian terhadap warga Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua, pada Agustus 2017.