TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyebut pembangunan Depo Pertamina Plumpang itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 1965-1985.
Lalu ia mengungkapkan bahwah kilang minyak itu telah berdiri sebelum permukiman penduduk memadati wilayah itu. Dulu hanya ada tanah kosong dan rawa, sekarang dikenal sebagai kawasan Rawa Badak, di sekeliling Depo Pertamina Plumpang tempo dulu.
“Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 pun keberadaan Depo Plumpang masih dipertahankan dan dilindungi sebagai fasilitas penting nasional,” kata Nirwono dalam keterangan tertulis, dikutip TeropongNews di Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Dengan keberadaan depo yang bersekala besar itu, justru memancing kedatangan para pekerja dan pendukung kebutuhan kerja pada kala itu.
Seperti warung makan, tempat tinggal sementara (kos-kosan) dan pasar atau warung yang kian menjamur.
“Perlahan tapi pasti membentuk permukiman ilegal (dan legal) yang memadati ke arah depo dan sekitar, terutama pada periode 1985-1998 dan 2000 sampai sekarang,” ucapnya.
Menurutnya, pelanggaran mulai terjadi saat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberi ruang terkait pengendalian dan penertiban pemanfaatan di sekitar Kawasan Depo Plumpang tersebut.
Bahkan, Pemprov DKI melegalkan hunian ilegal dengan memasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RT dan RW DKI Jakarta 2000 sampai 2010 dan 2010 sampai 2030.
“Kini saatnya untuk menata ulang kawasan Depo Plumpang sebagai objek penting nasional yang harus dilindungi oleh negara,” tuturnya.
Dengan demikian, Nirwono menyampaikan, permukiman padat yang nota benenya telah melanggar tata ruang harus ditertibkan dan ditata ulang kembali.
“Ditetapkan jarak aman ideal obyek penting tersebut dan membenahi permukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu,” ujarnya.
Lantas Nirwono menyebut, jika pertimbangan utamanya adalah depo itu sangat penting untuk distribusi BBM nasional dan demi keamanan dan keselamatan warga. Harusnya tidak ada alasan penolakan untuk penataan ulang kawasan depo dan sekitar yang sebenarnya telah direncanakan sejak awal dulu yang sudah benar.
“Pemerintah perlu segera memastikan rencana penataan ulang kawasan depo dan sekitar, misal menetapkan jarak aman atau daerah penyangga atau buffer zone minimal 500 m (bukan 50 m) atau bahkan lebih sesuai kajian keamanan dan keselamatan jika terjadi ledakan atau kebakaran di kemudian hari,” ujar Nirwono.