TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra menilai tidaklah rumit apabila individu ataupun perusahaan ingin mengurus izin penebangan pohon merbau di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya sehingga bisnis yang dijalankan ini tidak perlu berbenturan dengan hukum.
Syahrul sempat menyaksikan sejumlah data video yang dimiliki TeropongNews terkait beroperasinya tempat penampungan kayu (TPK) tak memakai plang di Sorong, diduga melakukan pengolahan merbau hingga kayu jenis itu dijadikan balok. Diduga juga, TPK yang tidak memiliki izin industri itu ajaibnya bisa mendistribusikan kayu merbau hingga ke Surabaya, Jawa Timur (Jatim) dengan nilai fantastis.
Mengenai perizinan untuk menebang kayu jenis merbau bagi individu, kata Syahrul, hanya dibatasi maksimal 20 meter kubik per tahun. Namun, izin itu pun bisa terbit dengan syarat kayu merbau-nya tidak dikomersilkan.
“Jadi kalau ada yang bilang kayunya masyarakat di mana datangnya, kelompok masyarakat yang mana dan sebagainya, kalau kita bicara tentang izin dan semestinya itu tidak dikomersilkan,” kata Syahrul saat diwawancarai TeropongNews di Depok, Jawa Barat, diberitakan pada Senin (6/3/2023).
Syahrul menjelaskan, sementara pada tahapan pengelolaan TPK, perseorangan atau perusahaan bisa memiliki izin secara legal asalkan lokasi tempat menampung kayu masih di bawah 6.000 meter kubik. Alur perizinan dan volume kayu yang ditampung tentu saja harus tercatat di dinas perhutanan setempat.
“Kalau di atas itu perlu mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” tutur dia.
Lebih lanjut Syahrul menerangkan, ada beberapa rantai tahapan yang harus perseorangan ataupun perusahaan lalui untuk bisa mendapatkan izin TPK ataupun pengolahan merbau secara legal.
Menurut dia, proses mengurus izin saat ini sudah terbilang mudah, bisa mengurus satu pintu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), KLHK, dan sebagainya.
Akan tetapi jika kembali berbicara soal kejahatan ilegal logging, benang merahnya adalah si para pelaku pembalakan liar ini ingin selalu mencari profit yang lebih besar dari kejahatan tersebut. Jika mengurus izin, tentu saja mereka harus menyetorkan sejumlah uang ke negara, membuat pendapatannya menyusut.
“Kalau mereka memprosesnya secara legal, mereka harus membayarkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa dana reboisasi dan sebagainya ke negara. Kalau mereka lakukan secara ilegal itu tidak perlu mereka bayarkan,” ujar Syahrul.
Jadi, dengan tidak menyetorkan dana ke negara, maka profit dari ilegal logging bisa mereka nikmati seutuhnya. Tidak perlu potong roti. Maka tidak heran, penjahat ilegal logging kian ketagihan melancarkan aksi yang menabrak aturan hukum tersebut.
“Mereka ketagihan melakukan kejahatan dan ke masyarakat pun mereka juga melakukan dengan cara yang begitu, maka keuntungannya semakin menjadi berlipat-lipat,” jelasnya.
Syahrul mencontohkan, semisal ada pemain merbau membeli kayu dari masyarakat masih dengan harga Rp 200.000 per meter kubik, selanjutnya mereka bisa menjual Rp 15 juta di luar Tanah Papua.
“Di Papua di harga Rp 8 juta saja mereka sudah untung berkali-kali lipat dibanding apa yang mereka keluarkan untuk memproses kayu tersebut,” kata dia.
Syahrul menegaskan, untuk permasalahan ilegal logging ini sebetulnya bukan pada konteks proses perizinannya rumit atau tidak, melainkan lebih kepada ruang ilegal itu jauh lebih menggairahkan bagi para pemain.
“Karena biaya yang mereka keluarkan untuk memproses hingga kayu itu keluar itu mungkin tidak akan sebesar yang harus mereka bayarkan kalau mereka proses secara legal. Mungkin seperti itu ya sehingga mereka ketagihan, walaupun pemerintah sudah memberikan banyak sekali kemudahan sebenarnya,” kata Syahrul.
Jadi, kesimpulannya adalah praktik perdagangan berizin sampai ilegal terkait perburuan merbau yang merusak hutan ini disinyalir melibatkan banyak pihak atau bisa dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir (organized crime). Sebab, bisnis ilegal ini melibatkan aktor yang bukan hanya ada di lapangan saja.
“Tetapi juga melibatkan oknum bisa jadi penegak hukum dari pemerintahan terkait kemudian melibatkan cukong, lalu pemodal yang kemudian akan mendanai semua operasi di lapangan,” ucapnya.
Semisal TPK bisa mendistribusikan kayu merbau sampai ke Surabaya, Jatim, maka disinyalir jangan-jangan TPK di Sorong, Papua Barat Daya, terindikasi bukanlah pelaku tunggal yang bisa bekerja secara independen di lapangan. Modus operandinya, diduga turut melibatkan oknum dari pemerintahan sampai keamanan.
Maka itu, Syahrul meminta aparat penegak hukum terkait harus berani menelusuri siapa-siapa saja pihak yang terlibat. Sebab, sekelas TPK saja diduga bisa mendistribusikan kayu sampai dijual ke luar dari wilayah Papua Barat Daya.
“Penegak hukum harus menelusuri siapa-siapa saja yang terlibat di sini baik itu oknum di pemerintahan di penegak hukum siapa dan kemudian siapa yang menjadi cukong mendistribusikan kayu ini,” ujar dia.
DI Sorong, aktivitas pengolahan kayu industri ilegal disebut-sebut menjamur di wilayah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Pebisnis bernisial LO disebut-sebut membeli kayu jenis Merbau hasil olahan masyarakat (pacakan) kemudian diolah berbentuk sarkelan, dan selanjutnya dikirim ke luar Papua, tepatnya ke Surabaya, Jatim melalui Pelabuhan Laut Sorong. Modus operandinya, LO disebut memakai jasa atau dokumen PT SKS.