TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Senior Forest Campaigner at Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra menduga, jika ada aktivitas beroperasinya tempat penampungan kayu (TPK) merbau ilegal di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, merupakan praktik lama yang berulang.
Belum lama ini mencuat kabar, ada TPK merbau diduga tidak berizin di Sorong yang tak mencantumkan papan nama. Hal itu disinyalir dilakuan agar segala kegiatan pengolahan-pendistribusian kayu secara ilegal tersebut tidak terendus oleh aparat penegak hukum ataupun masyarakat sekitar.
“Perihal keberadaan TPK yang diduga ilegal di Sorong itu merupakan praktik yang sebenarnya sudah berlangsung cukup lama di Papua dan Papua Barat,” kata Syahrul saat diwawancarai TeropongNews di Depok, Jawa Barat, Rabu (1/3/2023).
Kasus penebangan kayu ilegal atau kerap disebut illegal logging di wilayah Bumi Cenderawasih, menurut dia, sudah berlangsung dari awal tahun 2000. Aktor hingga “cukong” yang berbisnis atau mendanai kegiatan ilegal ini memang sempat ada yang tersandung hukum hingga diseret ke pengadilan.
Namun, menurut dia, putusan hukum bagi pelaku bisnis ilegal ini amat disayangkan belum maksimal. Maka, pelaku dan jaringannya pun tidak kapok sehingga hal ini terus berulang sampai sekarang.
“Bahkan, kalau kita telusuri jauh ke belakang, itu puncak illegal logging di Papua tahun 2000-an awal 2001 dan seterusnya itu sudah melibatkan berbagai pihak di Papua dan Papua Barat dan sudah terungkap sebelumnya,” ujarnya.
Tim TeropongNews sempat memperlihatkan sejumlah video terkait beroperasinya TPK diduga tak berizin milik LO di Sorong. Kata Syahrul, TPK seharusnya tidak dikomersilkan dan tak boleh jadi tempat pengolahan kayu.
Dalam video yang dimiliki TeropongNews, kayu merbau di TPK diduga milik LO sudah berbentuk kubus, sudah siap diperjualbelikan.
“Izin untuk individu menebang kayu hanya dibatasi maksimal 20 meter kubik per tahun dan itu tidak boleh dikomersilkan,” kata Syahrul.
“Dan posisi TPK ini (milik LO) agak sedikit problematik karena kayu yang keluar dan masuk di TPK ini, itu (diduga) tidak tercatat layaknya dokumen yang ada di dalam industri pengolahan kayu,” ujar dia lagi.
Jika berbisnis legal, bagi perseorangan, utamanya perusahaan harus mencatatkan kayu yang masuk dan keluar dalam dokumen Rencana dan Realisasi Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam catatan Greenpeace, di beberapa kasus-kasus yang pernah ada sebelumnya kerap terjadi percampuran antara kayu legal dan ilegal di TPK.
Syahrul memastikan bahwa kejahatan illegal logging ini masuk dalam kategori organized crime atau kejahatan yang terorganisir. Sebab, bisnis ilegal ini melibatkan aktor yang bukan hanya ada di lapangan saja.
“Tetapi juga melibatkan oknum bisa jadi penegak hukum dari pemerintahan terkait kemudian melibatkan cukong, lalu pemodal yang kemudian akan mendanai semua operasi di lapangan,” ucapnya.
Semisal TPK LO bisa mendistribusikan kayu merbau sampai ke Surabaya, maka disinyalir LO terindikasi bukanlah pelaku tunggal yang bisa bekerja secara independen di lapangan.
Maka itu, Syahrul meminta aparat penegak hukum terkait harus berani menelusuri siapa-siapa saja pihak yang terlibat. Sebab, sekelas TPK saja diduga bisa mendistribusikan kayu sampai dijual ke luar dari wilayah Papua Barat Daya.
“Penegak hukum harus menelusuri siapa-siapa saja yang terlibat di sini baik itu oknum di pemerintahan di penegak hukum siapa dan kemudian siapa yang menjadi cukong mendistribusikan kayu ini,” ujar dia.
Di Sorong TPK milik LO juga disebut-sebut membeli kayu jenis Merbau hasil olahan masyarakat (pacakan) kemudian diolah berbentuk sarkelan, dan selanjutnya dikirim ke luar Papua, tepatnya ke Surabaya melalui Pelabuhan Laut Sorong. Padahal, TPK milik LO diduga tidak memiliki izin industri. Modus operasinya, LO disebut memakai jasa atau dokumen PT SKS.