Pilu Marga Kalami Malasili Memperjuangkan Hak Atas Ulayatnya (Bagian 2)
“Gelek Salamala Kalabili itu hanya menerima hak eges woti atau hak perlindungan. Kami tidak pernah memberikan tanah adat yang status hak eges pumun atau hak milik, kepada pihak manapun,”
KAMPUNG Klatomok Distrik Klayili, dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 53 Tahun 2013, tentang Pembentukan 112 Kampung dalam Wilayah Pemerintah Kabupaten Sorong. Obed Kalami diangkat sebagai Kepala Kampung melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Nomor 141/KEP.370-ADPEM/XII/TAHUN 2015 tertanggal 11 Desember 2015, tentang Penunjukkan/Pengangkatan Kepala Kampung pada 11 Distrik dalam Wilayah Kabupaten Sorong.
Kampung Klatomok yang berbatasan dengan Kampung Asbaken, Distrik Makbon ini, dihuni oleh keluarga besar marga (gelek) Kalami Malasili, seperti gelek Gifelem, Magablo, Ulala, Mambrasar dan Kalasibin. Tapi menurut Silas Ongge Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi Sorong, pemegang Eges Pemun (hak milik) tanah adat itu adalah Gelek Kalami Malasili.
Di sebelah timur, tanah adat Kalami Malasili berbatasan dengan tanah adat gelek Salamala Warsatun. Sebelah utara berbatasan dengan tanah adat gelek Pa Kami dan gelek Kalami Tiloke, sebelah selatan dengan tanah adat Kalami Malagufuk dan sebelah barat berbatasan dengan tanah adat gelek Kalami Kiningpilik.
“Luasnya berapa kami belum mengukur secara pasti. Tapi kami tahu batas-batas wilayah tanah adat kami,” kata Silas.
Pengakuan hak atas tanah adat Kalami Malasili ini juga dikuat melalui pernyataan bersama yang ditandatangani di atas materai Rp 6000 oleh masing-masing tetua adat pada 10 April 2013.
Diantara nama yang tertulis dalam pengakuan tanah adat itu, adalah Yunus Salamala dan Matius Salamala (perwakilan gelek Salamala Warsatun), Sem Pa dan Wenan Pa (gelek Pa Kami), Niklas Kalami dan Maikel Kalami (gelek Kalami Tiloke), Yorven Kalami dan Amos Kalami (gelek Kalami Malagufuk) serta Evert Kalami dan Metusala Kalami yang mewakili gelek Kalami Kiningpilik.
Leluhur Edyson Salamala yang masuk dalam gelek Salamala Kalabili, kata Silas, memiliki tanah adat di belakang Distrik Della, jauh dari Kampung Klatomok. Keberadaan Edyson di wilayah adat Kalami Malasili, karena peristiwa masa lampau yang dialami leluhur Salamala Kalabili.
Kejadian yang sudah berlalu empat generasi itu, berawal dari pelanggaran adat oleh leluhur gelek Salamala Kalabili. Seorang laki-laki marga Salamala Kalabili yang menikah dengan perempuan gelek Salamala Lagampefek, suatu ketika melakukan hubungan intim di Kofok Kalabili, tempat yang dikeramatkan.
Perbuatan itu terungkap ketika pasangan suami istri ini bertengkar, dan sang istri pulang ke rumah orangtua, lalu bercerita kalau dirinya pernah berhubungan badan di Kofok Kalabili.
Bagi suku Moi, hubungan seks di tempat keramat sangat bertentangan dengan hukum adat.
Keluarga Salamala Lagampefek marah. Hongi (perang marga) dengan keluarga Salamala Kalabili tak terhindarkan. Banyak warga Salamala Kalabili yang tewas. Saat hongi berlangsung, ada warga Salamala Kalabili yang berhasil dilarikan dari peperangan oleh marga Kalami Kiningpilik. Gelek Lagampefek mengejar mereka hingga masuk wilayah Asbaken.
Untuk menyelamatkan pelarian Salamala Kalabili, keluarga Kalami Malasili memberikan perlindungan. Setelah hongi reda, gelek Kalami Malasili menyuruh mereka tinggal di gunung Malaeges Em, yang masuk wilayah tanah adat Kalami Malasili.
Gelek Kalami juga sempat menjadi mediator perdamaian Salamala Kalabili dengan Lagampefek, agar Kalabili bisa kembali ke tanah leluhurnya. Namun upaya itu gagal, dan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Penyelamatan oleh gelek Kalami Kiningpilik ketika terjadi hongi, berbuah penyerahan atribut sakral milik Salamala Kalabili ke Kalami Kiningpilik. Dan gelek Kalami Malasili yang memberikan perlindungan, mengangkat pelarian perang hongi Salamala Kalabili ini menjadi Daman (pesuruh).
“Gelek Salamala Kalabili itu hanya menerima hak eges woti atau hak perlindungan. Kami tidak pernah memberikan tanah adat yang status hak eges pumun atau hak milik, kepada pihak manapun,” kata Silas Ongge.
Edyson Salamala, adalah diantara generasi marga Salamala Kalabili yang kini masih ada. Hengki Gifelem berkisah, warga Klatomok sebenarnya sudah lama kesal terhadap keluarga Edyson Salamala. Ini akibat penebangan kayu oleh Edyson di ulayat mereka. Obed Kalami, Kepala Kampung Klatomok sudah mengingatkan keluarga Edyson, agar tidak mengolah kayu di wilayah adat Marga Kalami.
Peringatan yang disampaikan melalui operator pengolah kayu suruhan Edyson ini, ditanggapi Edyson dengan mendatangi rumah Obed. Sekira pukul 14.00 WIT, 14 Februari 2020, di depan rumah Kepala Kampung, Edyson berteriak sambil membawa sebilah parang.
“Mana Bapa Kepala Kampung. Siap-siap masuk penjara dengan ucapannya. Saya adalah pemilik tanah adat di wilayah Kampung Klatomok,” teriak Edyson.
Kutipan ucapan Edyson ini, tertuang dalam surat pengaduan warga Klatomok yang disampaikan Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Papua Optimis (LBH Gerimis), kepada Kapolres Sorong, 27 April 2020. LBH ini yang mendampingi warga untuk mendapatkan perlindungan hukum dari aparat, terkait ancaman Edyson yang meresahkan.
Tindakan keluarga Edyson yang membuat warga merasa terancam, juga terjadi pada 27 Maret 2020 sekira pukul 11.00 WIT. Saat itu, didepan rumah Obed dan Yosepus Kalami (tokoh masyarakat Marga Kalami Malasili), giliran Samuel, Nahum dan Maklon Salamala yang berteriak sambil membawa parang.
“Bapa Kepala Kampung, ko keluar,” Samuel memanggil dengan suara keras, sambil mengayunkan parang panjang yang dipegang. Sabetan parang itu mengenai tiang teras rumah Obed.
“Sepus kepala botak, ko keluar,” teriak Maklon.
Mendengar panggilan itu, Yosepus yang kulitnya mulai keriput, keluar rumah. Ketika masih di depan pintu, sabetan parang Maklon langsung menyambutnya. Beruntung senjata tajam itu bisa ditangkis dengan kayu balok ukuran 5 x 5 cm yang dia pegang. Kakek bertubuh mungil ini lolos dari maut. Warga yang menyaksikan itu, sigap melerai dan mengusir Salamala bersaudara kembali ke Gilulus.
“Agar tidak terjadi perbuatan pidana yang berujung pada jatuhnya korban lain, perlu ada tindakan hukum untuk memproses para pelaku kejahatan di Kampung Klatomok Distrik Klayili,” tulis Yosep Titirlobi, Ketua LBH Gerimis dalam surat pengaduannya ke Polres Sorong.
Tapi peringatan secara lisan kepada keluarga Edyson maupun pengaduan ke polisi, kata Hengki, tidak pernah mendapat respon yang memuaskan. “Akhirnya yang terjadi seperti itu. Kami turun tangan sendiri untuk menghentikan pengrusakan lahan adat itu,” kata Hengki.** bersambung…
Baca juga: https://teropongnews.com/berita/oknum-polisi-di-pusaran-kayu-merbau/