Scroll untuk baca artikel
Example 525x600
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita

Pro Kontra Status OAP dan Non OAP, Praktisi Hukum : Masih ada Kekosongan Hukum Dalam UU Otsus

×

Pro Kontra Status OAP dan Non OAP, Praktisi Hukum : Masih ada Kekosongan Hukum Dalam UU Otsus

Sebarkan artikel ini
Praktisi Hukum Kota Sorong, Benyamin Warikar, SH
Example 468x60

TEROPONGNEWS.COM, SORONG – Pro kontra status Orang Asli Papua (OAP) dan non OAP sebagai syarat calon pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya dalam Pemilihan Gubernur 2024 dinilai praktisi hukum masih terdapat kekosongan hukum dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) yang di ciptakan pejabat OAP.

Benyamin B Warikar, S.H, dalam rilisnya yang diterima media, Jumat (6/9/2024) memberikan tanggapan terkait syarat bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya yang mengharuskan bakal calon wajib Orang Asli Papua.

Example 300x600

“Saya sebagai anak asli Papua sekaligus praktisi hukum sangat sepakat dan mendukung penuh dengan adanya syarat seperti itu untuk di berlakukan oleh MRPBD sesuai pasal 12 huruf (a) UU no 21 tahun 2001 yang berbunyi “Yang dapat di pilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warga negara republik indonesia” dengan salah satu syarat di poin (a) yaitu “Orang asli Papua,” kata Benyamin.

Menurut Benyamin pasal 12 poin (a) tidak hanya terdiri pada satu syarat saja melainkan ada beberapa syarat lainnya yang harus di penuhi oleh masing-masing bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur.

“Jadi tidak berarti hanya memenuhi satu syarat saja sudah cukup, tetapi harus memenuhi syarat yang lain dalam poin b, c, d, e, f, g, h sehingga proporsional dalam pemenuhan syarat tersebut,” katanya.

Menurut pandangan Benyamin 8 syarat itu hanya 7 syarat yang di lengkap oleh bakal calon yang bukan OAP sudah sangat cukup, sebab itu sesuai pasal 1 huruf (t) UU Nomor 21 Tahun 2001 dan pasal 1 angka 22 UU Otsus berbunyi “Orang asli papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di provinsi papua dan/atau orang yang di terima dan di akui sebagai orang asli papua oleh masyarakat adat Papua”, maka secara hukum pasangan bakal calon di anggap lolos karena telah memenuhi syarat yang dimaksud.

Bewa mengatakan walaupun lembaga kulture MRPBD memiliki kewenangan yang yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 1 UU Otsus, tetap tidak mungkin bisa menggunakan kewenangannya di poin (a), yang berbunyi “Majelis Rakyat Papua berwenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang di usulkan oleh Partai Politik.

“Mengapa demikian, sebab di dalam pasal 20 ayat 2 telah berbunyi “ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana di maksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus”. Sedangkan provinsi Papua barat daya belum memiliki peraturan pelaksana seperti Perdasi – Perdasus, karena PBD baru saja lahir dan MRPBD baru di bentuk,” katanya.

Lebih lanjut, Benyamin Warikar mempertanyakan dasar hukum MRPBD menjalankan tugas kewenangannya untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan bagi bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur. “Ini kan di luar logika hukum dan menurut saya ketika MRPBD memaksakan kehendaknya untuk menggunakan kewenangan tersebut untuk tidak menyetujui salah satu syarat Bacalon, maka potensial akan terjadi inkonstitusional sebab di anggap bertentangan dengan UUD 1945, Hak asasi Manusia bahkan PUTUSAN MK Nomor 29/PUU-IX/2011.

“Jadi saran saya selaku praktisi hukum dan juga bagian dari anak asli Papua kepada Semua pihak, agar jangan ikut-ikutan atau mudah terprovokasi oleh oknum elit politik guna mendesak MRPBD ke arah yang tendensius bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” beber pengacara muda Papua ini.

“Saya berharap kepada seluruh OAP di provinsi ini untuk bisa lebih teliti dan saksama dalam hal memahami isu-isu yang sengaja di bangun dan di giring oleh elit-elit politik yang memiliki kepentingan segelintir,” sambungnya.

Benyamin Warikar menegaskan bahwa pemberitaan dan penggiringan isu diberbagai media merupakan bentuk sakit hati untuk memutar balikan fakta, padahal di saat menjabat dari periode ke periode sejak awal UU Otsus lahir, mereka tidak ada keseriusan untuk mengambil kebijakan membuat peraturan pelaksana sebagaimana amanat UU guna memproteksi Hak-hak orang asli Papua secara terperinci.

“Malahan sebaliknya pejabat-pejabat Papua itu justru melakukan pembiaran-pembiaran untuk tidak merumuskan dan mendorong Raperdasi-Raperdasus sebagaimana amanat dari UU Otsus itu sendiri di saat mereka menjabat, Ini kan konyol lempar batu sembunyi tangan!,” ungkapnya.

Kesengajaan itu kata Benyamin lakukan agar Dana Otsus di luncurkan dari pusat, kemudian uangnya di nikmati oleh. Setelah uangnya habis baru mulai melempar bola panas, yang sensitif dapat berdampak pada kesalah pahaman dan perpecahan antara masyarakat, baik OAP maupun Non OAP.. Itu tidak boleh sampai terjadi sebab damai itu indah di tanah Papua tercinta ini.

Example 300250
Example 120x600