TEROPONGNEWS.COM, MERAUKE – Pemerintah Kabupaten Merauke melalui Badan Penanganan Perbatasan Daerah (BPBD), Dinas Perikanan dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Papua Selatan melakukan pertemuan dengan empat pemilik kapal dan keluarga nelayan yang ditangkap Otoritas Australia karena melakukan ilegal crossing pada Kamis (20/6/2024) lalu di perairan Australia.
Empat kapal itu adalah KMN Kembar Jaya, KMN Latimojang, KMN Nurlela dan KMN Iksan Jaya. Berdasarkan informasi dari pelaksanaan fungsi protokol konsuler KRI Vanimo mendapatkan informasi dari Konsuler KRI Darwin bahwa ada dua kapal yakni KMN Iksan Jaya dan KMN Nurlela yang ditahan bersama ABK sebanyak 15 orang.
Sementara berdasarkan informasi dari ketua Himpun Nelayan Indonesia (HNSI) Papua selatan Taufiq Latarisa bahwa dari empat yang ditahan, satu kapal yaitu KMN Latimojang sudah dibebaskan dan kembali ke Merauke. Sedangkan KMN Kembar Jaya ditenggelamkan oleh Otoritas Darwin namun nelayannya diangkut KMN Latimojang ke perbatasan perairan Torasi. Untuk informasi lebih jelas akan disampaikan secara resmi Kementrian Luar Negeri kepada Pemkab Merauke dan Pemerintah Provinsi Papua Selatan.
“Tujuan dilakukan pertemuan ini untuk kami tegaskan kepada bapak ibu pemilik kapal dan keluarga nelayan agar jangan sampai dimanfaatkan oleh oknum yang memanfaatkan situasi dengan mengatasnamakan instansi tertentu. Jangan sampai disalahgunakan dengan meminta sejumlah uang, sebab proses pemulangan tidak mudah dan harus ada tahapan yang dilalui antar dua negara,” tegas Taufiq, Senin (24/6/2024) di Lantai 3 Kantor Bupati Merauke.
Pertemuan Pemkab Merauke, pemilik kapal dan keluarga nelayan bahas empat kapal yang ditahan Otoritas Darwin
Kepala BPPD Kabupaten Merauke, Rekianus Samkakai mengatakan, Bupati Merauke Romanus Mbaraka sudah perintahkan untuk segera tindaklanjuti dengan laporan tertulis via WhatsApp kepada Kemenlu kepada perwakilan Indonesia di Darwin dan Vanimo bahwa masalah tersebut sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah Kabupaten Merauke.
Atas dasar informasi tersebut, sekitar jam 10.00 waktu Australia, pemerintah RI perwakilan Darwin melakukan verifikasi di rumah tahanan otoritas di Darwin terhadap dokumen kapal dan ABK masing-masing kapal.
“Kami akan lakukan koordinasi terus dengan pihak pemerintah di Darwin agar kapal dan ABK bisa dipulangkan. Namun para ABK menggunakan nama panggil tidak sesuai KTP, sehingga pihak Otoritas Darwin minta agar keluarga memberikan data ABK ke Pemda Merauke dan dikirimkan ke Australia guna mempercepat proses sesuai aturan hukum,” pungkas Reki.
Namun, lanjut Reki, untuk biaya pemulangan atau ada denda terhadap ABK menjadi tanggungjawab pemilik kapal sebab pemerintah daerah tidak punya anggaran karena ini merupakan pelanggaran yang dilakukan nelayan. “Jadi sifatnya lebih pada bantuan ke pak bupati atau pj gubernur atau ada kolaborasi dari pemilik kapal. Berkaca dari masalah tahun sebelumnya pemilik kapal tidak bertanggung jawab. Yang diharapkan ada tanggungjawab para pemilik kapal pada saat ABK dipulangkan,” tegas Rekianus.
Besaran biaya ditentukan Otoritas Darwin dan denda harus dibayar dalam waktu 28 hari. Untuk itu pemilik kapal mulai mempersiapkan lebih awal agar saat proses hukum selesai para ABK segera kembali ke Merauke.
Leunard Rumbekwan Kadis Perikanan Kabupaten Merauke mengatakan, ada lima poin yang perlu diketahui apa bila terjadi ilegal crossing. Pertama, negara siapkan penerjemah dan penasihat hukum. Kedua, memberikan jaminan keselamatan dan keamanan bagi WNI di luar negeri. Ketiga, pemerintah wajib berikan informasi terupdate kepada pihak keluarga terkait keamanan ABK di sana, dan kelima, segala biaya yang timbul akibat terjadinya ilegal crossing dibebankan kepada pemilik kapal.
“Sebab di laut konservasi tidak boleh ada aktivitas penangkapan di sana. Kalau sampai besok ditemukan izin tidak lengkap, kita ambil tindakan hukum lagi di sini dengan denda 80 juta,” tandas Leunard.