TEROPONGNEWS.COM, BANDUNG – Pungutan liar atau pungli merupakan fenomena yang masih berpotensi terjadi. Bukan hanya di lingkungan pemerintah, tapi juga di tataran masyarakat.
Untuk mencegah maraknya pungli, Saber Pungli Kota Bandung mensosialisasikan pencegahan pungutan liar kepada seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna mengatakan, regulasi yang ada dalam sistem pemerintahan pun akan berubah mengikuti kebutuhan yang harus bisa terakomodasi.
“Perubahan dari konvensional jadi sistem berbasis teknologi. Dulu kita memulai dengan sistem Hayu Bandung, sehingga semua perizinan berbasis dengan sistem teknologi. Jadi sudah tidak ada interaksi dari pengunjung dan pelaku pelaksana pelayanan,” ungkap Ema kepada wartawan, di Balai Kota Bandung, Rabu (15/11/2023).
Dengan meminimalisasi pertemuan tatap muka masyarakat dan pelaksana layanan, diharapkan mampu mencegah pungli terjadi.
Ema berharap, sistem seperti ini tak hanya diaplikasikan pada tataran ASN, tapi edukasi tersebut juga bisa sampai hingga ke lapisan masyarakat.
“Salah satu PR besar kita dalam hal pungli itu adalah permasalahan parkir liar. Padahal potensi pendapatan Kota Bandung dari parkir itu bisa luar biasa. Tapi yang kita terima sampai saat ini masih sangat minim. Hanya 20 persen saja dari seharusnya,” akuinya.
Oleh karena itu, Ema menilai, masyarakat juga harus tahu apakah yang mereka lakukan itu berpotensi pungli atau tidak. Sebab tindakan seperti parkir liar, mengamen dengan paksaan, dan lainnya merupakan potensi pungli.
“Mudah-mudahan dengan adanya tim saber pungli bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga masyarakat di Kota Bandung bisa merasakan kehidupan yang jauh lebih baik dan nyaman. Sebab nyaman itu bukan hanya saat kita istirahat, tapi juga dalam beraktivitas,” harap Ema.
Sementara itu, Ketua Pokja Pencegahan Saber Pungli Kota Bandung, Riki Fahdiar mengaku, melalui sosialisasi ini, Saber Pungli dapat memberikan informasi tentang upaya pencegahan dan tata cara pemberantasan pungutan liar, yang melibatkan semua instansi baik pemerintah maupun swasta.
“Tujuannya, mewujudkan komitmen kita bersama untuk terus berupaya memberantas pemungutan liar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di Kota Bandung,” terang Riki.
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan sebagai pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintah daerah dalam hal ini pelayanan, yang memiliki risiko terjadinya pungutan liar.
Sosialisasi pencegahan pungli terbagi menjadi 2 sesi yang diikuti oleh beragam peserta. Sesi 1 dimulai pukul 09.00 WIB khusus untuk kepala perangkat daerah, Kapolsek, dan Pokja Unit Saber Pungli Kota Bandung. Sesi 2 pukul 13.00 WIB khusus sekretaris perangkat daerah Kota Bandung di Auditorium Balai Kota Bandung.
“Kepala perangkat daerah 60 orang, sekretaris perangkat daerah 58 orang, kepala Polsek se-Kota Bandung 27 orang, Pokja unit Saber Pungli 4 orang, kepala bidang 28 orang, dan sekretariat UPP Kota Bandung 13 orang,” sebutnya.
Selain itu, ia menambahkan Pokja Pencegahan Pungli dari 2022-2023 juga telah melakukan sosialisasi kepada anak-anak SMA dan pesantren di Kota Bandung.
Sementara itu, Sekretaris Kelompok Ahli Saber Pungli Jabar, Rusman memaparkan, sebuah tindakan dikatakan pungli jika masuk dalam 3 kriteria.
Pertama, memungut biaya tanpa ada dasar hukumnya. Kedua, memungut tapi melampaui apa yang telah ditentukan. Ketiga, memungut bukan pada tempatnya.
“Contoh, harusnya tiket di pintu masuk, tapi ada orang yang lewat belakang. Dia bayar juga dengan biaya yang beda, itu termasuk pungli. Maka, jika memenuhi 3 poin ini, berarti itu termasuk tindakan pungli. Bukan hanya terjadi di pemerintahan, tapi juga bisa di lingkup masyarakat,” papar Rusman.
Ia menyebutkan, salah satu praktik pungli yang kerap terjadi adalah biaya proses pernikahan. Harusnya biaya menikah itu hanya Rp600.000. Namun, di beberapa daerah bahkan bisa ditarik biaya sampai Rp 2 juta.
Selain itu, ia juga menyebutkan contoh lain, seperti jika ada rekan-rekan ormas atau wartawan yang kerap menggunakan posisinya untuk mengancam orang-orang, lalu meminta ‘uang damai’. Ini juga termasuk tindakan pungli.
“Itu juga sudah termasuk pungli. Meski sudah digital, masyarakat kita masih banyak yang tidak mengerti cara menggunakannya. Jadi hadirlah petugas yang nakal. Sehingga potensi pungli bisa tetap terjadi,” tuturnya.
Ia menambahkan, kebiasaan yang masih melekat di masyarakat umum. Misalnya, rasa sungkan jika tidak memberikan sesuatu, padahal sudah dibantu dalam pelaksanaan.
“Masih ada di masyarakat kita yang sudah dilayani, tapi merasa tidak enak kalau tidak memberikan sesuatu. Namun, karena status kita pegawai negeri, jika menerima hadiah seperti ini masuknya gratifikasi. Gratifikasi itu harus dilaporkan, sehingga jelas sumbernya,” jelas Rusman.