TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Dit. KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjenbud) bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta menggelar Festival Budaya Spiritual yang bertema “Rembuk Sedulur Sepuh”.
Kegiatan ini mengemas praktik baik harmoni budaya di masyarakat dengan mengangkat tradisi perayaan Bulan Suro. Rangkaian festival diawali dengan Napak Tilas Spiritual, Umbul Dungo, Sarasehan Kebudayaan, Kirab 1 Suro, Ruwatan Sukerto dan Pagelaran Wayang Kulit.
Kegiatan yang berpusat di Balaikota Surakarta pada 17—19 Juli 2023 ini, dirancang untuk membangun kesamaan pandangan terhadap perwujudan budaya spiritual yang berangkat dari kesadaran nilai budaya, mental, dan spiritual.
Terpilihnya Kota Surakarta sebagai lokasi Festival Budaya Spiritual karena merujuk pada Laporan Indeks Kota Toleran 2022 yang dilakukan oleh SETARA Institute, kota ini telah menunjukkan tingkat toleransi yang baik serta secara aktif dan masif melakukan ragam promosi baik tradisi maupun budaya dengan pendekatan inklusif.
“Saya mengapresiasi upaya Pemerintah Kota Surakarta yang dinilai berhasil menjadi contoh praktik baik dalam mewujudkan toleransi termasuk mengharmonisasikan kehidupan berbangsa dan bernegara bersama para penghayat kepercayaan,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, saat pembukaan Festival Budaya Spiritual di Balai Kota Surakarta, Senin (17/7/2023).
Dirjen Hilmar menilai, Kota Surakarta, Jawa Tengah, mampu membuktikan diri sebagai ujung tombak toleransi di Indonesia. “Semoga capaian baik yang sudah dilakukan bisa menginspirasi daerah lain dalam menjadikan budaya spiritual dari leluhur kita sebagai landasan dan bekal bagi masa depan untuk mawas diri. Terima kasih sudah mengawal tradisi spiritual di negara kita,” terangnya yang pada kesempatan tersebut juga menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan pencantuman kolom agama Kepercayaan secara simbolis kepada penghayat kepercayaan di Solo Raya (Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten).
Di akhir sesi pembukaan festival, digelar Umbul Dungo dan Sajian Ragam Tumpeng. Umbul Dungo adalah memanjatkan doa untuk keselamatan dan kebaikan, sementara sajian ragam tumpeng merupakan hidangan khas Jawa yang melambangkan rasa syukur. Tujuh dari 30 ragam tumpeng yang merujuk pada Serat Chentini disajikan, yaitu Tumpeng Pungkur, Tumpeng Megana, Tumpeng Urab, Tumpeng Duplak, Tumpeng Moncowarno, Tumpeng Robyong, dan Tumpeng Pitu. Serat Centhini atau yang disebut juga Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, supaya tidak punah dan tetap terlestarikan sepanjang waktu
Menandai dimulainya rangkaian festival, pada Senin pagi, para peserta melakukan Napak Tilas Spiritual ke Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar. Para peserta berziarah ke kompleks makam yang berisi 125 makam para leluhur pura Mangkunegaran. Salah satunya adalah Raja Mangkunegaran I (MN I), Raden Mas Said yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Direktur KMA, Sjamsul Hadi menjelaskan ziarah menjadi penting karena Raden Mas Said merupakan pahlawan nasional yang ikut dalam melawan penjajah Belanda. Raden Mas Said juga sekaligus pelestari dan mengangkat budaya spiritual yang ada.
Sjamsul juga menekankan bahwa kegiatan Festival Budaya Spiritual bukan diartikan sebagai kegiatan festivalnya ataupun selebrasi, namun hendak mengangkat nilai luhur dari penghayat kepercayaan. “Kegiatan rutinitas yang beliau lakukan sehingga diteruskan masyarakat dengan melakukan laku spiritual yang ada di masyarakat,” tutur Sjamsul.
Napak Tilas Spiritual diikuti oleh sekitar 100 peserta dari beragam paguyuban/organisasi penghayat kepercayaan yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah. Mengikuti aturan yang ditetapkan, peserta pria mengenakan busana batik/nusantara, sedangkan peserta wanita mengenakan busana berwana hitam dan memakai jarik/tapih.
Selanjutnya, di hari kedua pada Selasa (18/7/2023), berlangsung Sarasehan di Loji Gandrung bersama 147 orang yang terdiri atas pengurus organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Jawa Tengah, Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Dinas Kesbangpol dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta, Satuan Pemerintah Daerah yang membidangi kebudayaan, serta Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X.
Sarasehan Kebudayaan mengangkat tema “Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Acara ini menghadirkan narasumber, yakni Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi; Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat Kemendikbudristek, Muhammad Adlin Sila; Kepala Bagian Pembinaan Religi Staf Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (SSDM) Polri, Ali Syaifudin; Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap, Sadmoko Danardono; Muklis Paeni; serta Febby Lestari.
Berikut beberapa hasil rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti Kemendikbudristek, yaitu 1) perlunya penguatan bimbingan bagi penyuluh maupun guru dengan penyediaan sarana prasarana pendidikan, baik dari kurikulum maupun akses pengembangan sumberdaya manusia; 2) perlu diidentifikasi kebutuhan dan daya dukung bagi penghayat perseorangan dapat difasilitasi untuk memberikan dukungan bagi upaya pelestarian fasilitas publik, seperti sumber-sumber nilai tradisi yang ada disekitar lingkungan (sungai, punden, tradisi) agar menjadi sumber pengembangan dan pelestarian; 3) perlunya penguatan promosi kegiatan guna memberi pemahaman terhadap regulasi yang disediakan untuk melindungi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Lalu, 4) diperlukan sosialisasi dan advokasi masih harus dilakukan dengan skema keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) yang lebih luas, seperti organisasi, satuan tugas, dinas terkait, maupun direktorat terkait; 5) peningkatan partisipasi perempuan dan generasi muda untuk berperan aktif sebagai subyek dalam mempromosikan keyakinan dan mengadvokasi persoalan terhadap upaya pemenuhan layanan setara bagi penghayat; serta 6) perlunya penguatan kapasitas dalam rangka mengantisipasi tantangan global sebagai warga dunia.
Pada malam harinya, acara dilanjutkan dengan Kirab 1 Suro, yakni jalan serempak dalam keheningan yang melibatkan ribuan peserta dengan mengenakan pakaian adat sambil membawa pusaka dan sesajen untuk menghormati leluhur.
Kemudian, di hari ketiga pada Rabu (19/7/2023), diadakan Ruwatan Sukerto. Kegiatan ini merupakan upacara ruwatan untuk membersihkan jiwa dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Harapannya, peserta yang diruwat mendapatkan perlindungan dari segala macam bencana dan penyakit. Sekitar 100 orang peserta ruwatan dari segala usia mengenakan kain putih sepanjang dua meter yang dililitkan di badan. Mereka semua berkumpul di halaman Balai Kota Surakarta.
Upacara ruwatan dianggap sebagai wahana pembebasan para sukerta, yaitu orang yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, penuh dosa serta orang-orang yang berbuat ceroboh. Orang Sukerta dan/atau orang yang ceroboh itu dipercaya akan menjadi mangsa Batara Kala, oleh sebab itu perlu diruwat.
“Semoga para peserta yang mengikuti acara ruwatan mendapatkan kesehatan dan keselamatan,” ujar Direktur KMA seraya menyerahkan Wayang Betara Kala (raksasa besar) secara simbolis kepada dalang sebagai tanda dimulainya prosesi ruwatan yang dipimpin oleh Dalang Ki Purbo Asmoro.
Sebelumnya, para peserta ruwatan meminta maaf kepada orang tua, kemudian mereka duduk di belakang dalang untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit dengan cerita “Murwakala”. Setelah itu, para peserta secara bergiliran melakukan prosesi potong rambut yang nantinya rambut tersebut akan dibuang ke sungai atau laut. Lalu dilakukan siraman oleh dalang/orang tua. Tahap berikutnya adalah pelepasan merpati yang menandai hilangnya segala keburukan dan berganti menjadi semangat dan harapan terbaik untuk masa depan. Selanjutnya, prosesi pemecahan kendi berisi air bunga sebagai tanda selesainya seluruh rangkaian prosesi ruwatan. Acara kemudian dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang berjudul ‘Bima Rahayu’.
Acara Ruwatan Sukerto mendapat apresiasi dari masyarakat. Hal ini terlihat dari antusiasme mereka memadati halaman Balai Kota Surakarta. Salah satu peserta ruwatan yakni Kinanthi Rahayu, mahasiswa semester 3, prodi Pendidikan Seni Musik, Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini mengetahui adanya Ruwatan Sukerto dari sang ayah. “Perasaan saya senang, deg-degan, dan lega. Harapannya, di masa depan segala urusan dan cita-cita saya menjadi dosen diberi kelancaran,” kata gadis yang merupakan anak tunggal.
Peserta lain yaitu Slamet yang berprofesi sebagai abdi dalam Keraton Surakarta mengaku ikut ruwatan bersama istri dan anak tunggalnya yang bernama Niken. “Acara ini sangat kami nantikan sebab sebagai orang Jawa meyakini bahwa orang hidup ada halangan. Kami bersyukur dapat mengikuti ruwatan secara gratis yang difasilitasi Kemendikbudristek. Anak saya anak tunggal (istilahnya ontang anting), sementara saya sendiri adalah anak laki dengan dua saudara laki-laki semua. Sedangkan istri saya adalah anak dengan dua saudara perempuan semua,” jelasnya
Sementara itu, dari deretan penonton ada Zainal yang berasal dari Gentan, Kabupaten Sukoharjo. Menurutnya, ruwatan semacam ini perlu dilakukan untuk menetralisir aura negatif yang ada pada diri manusia. ”Dengan ruwatan, aura kita menjadi netral, bagi saya acara ini memberi sugesti positif bagi diri sendiri bahwa kehidupan kita setelahnya menjadi lebih semangat dan optimis dengan mengharap pertolongan Tuhan YME,” ungkap Zainal yang bercerita pernah mengikuti ruwatan beberapa tahun lalu.
Adanya pagelaran wayang kulit sebagai bagian dari prosesi ruwatan nampaknya menarik minat pengunjung dari berbagai daerah di luar Kota Surakarta. “Bagus jika acara ini bisa terus diadakan supaya generasi muda memahami budayanya sendiri,” imbuh penonton lain yakni Anita, yang juga kerap menyaksikan pagelaran Wayang Kulit di berbagai wilayah. Anita merasa senang, karena baru kali ini ia menonton wayang kulit yang memfasilitasi penonton dengan terjemahan teks bahasa Indonesia, Jepang, Jerman, dan Inggris, sehingga memudahkan bagi masyarakat untuk memahami jalan cerita.