TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh hutan di tanah Papua. Hal ini dikarenakan maraknya penebangan hutan secara liar (ilegal logging) yang bedampak langsung bagi penduduk adat di wilayah tersebut.
Tak hanya itu, sejumlah tempat penampungan kayu (TPK) yang diduga berdiri tanpa izin menjadi pendorong kegiatan ilegal logging di Papua kian mewabah.
“Pemerintah bisa lebih tegas menanggulangi aktivitas (TPK) ilegal ini. Karena jika banyak akan menyebabkan hutan adat papua yang menjadi rusak,” ucap Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, Maikel Primus Peuki, Selasa (7/3/2023).
Maikel menjelaskan pemerintah daerah (pemda) seharusnya mempunyai solusi dalam menangani polemik ilegal logging di Papua dengan melakukan penyelidikan dan meringkus setiap pelaku pembabatan hutan di bumi Cenderawasih ini.
“Disana ada penegak hukum namun belum dijalankan secara serius di Papua. Pemda disana juga belum optimal dalam menindak para pelaku dan pemilik TPK di Papua,” paparnya.
Adapun para peraturan pengolahan lahan sudah ditata dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang memberikan keberpihakan pada orang asli Papua, namun masih dilakukan secara komperhensif yang tidak menguntungkan masyarakat adat Papua.
“Ada UU Otonomi Khusus (OTSUS) Papua. Dalam dokumen tersebut ada beberala pasal tentang hak pengelolahan hutan dan bagi hasil untuk masyarakat adat, namun itu tidak diiplementasikan secara baik dan tidak diawasi secara ketat,” paparnya.
Maikel berharap tindakan ilegal logging ini bisa segera di berantas aparat penegak hukum, agar keberlangsungan hidup masyarakat adat bisa terjamin hingga anak cucunya.
“Bagi masyarakat adat papua, hutan itu sebagai mama/ibu yang memberikan kehidupan, hutan adalah pasar/supermarket gratis bisa mendapatkan makanan dari alam yang sediakan,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, aktivitas pengolahan kayu ilegal disebut-sebut menjamur di wilayah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Yang diduga dimiliki LO.
LO juga disebut-sebut membeli kayu jenis Merbau hasil olahan masyarakat (pacakan) yang kemudian diolah dalam bentuk sarkelan, dan selanjutnya dikirim ke luar Papua, tepatnya di Surabaya, melaui pelabuhan laut Sorong. Padahal, TPK milik LO diduga tidak memiliki izin industri. Modus operasinya LO diduga memakai jasa atau dokumen PT SKS.