TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Maluku menilai, jika penyidik Ditreskrimsus dan Ditreskrimum Polda Maluku tidak serius menjawab laporan pengaduan dari KPID, terkait dengan keputusan Pengadilan Tinggi Ambon, dan perkembangan proses penyelidikan.
“Bahwa Philipus Chandra Hadhi selaku lokal operator TV Kabel Putri dalam perkara gugatan perdata kepada KPID Maluku di Pengadilan Negeri Ambon melalui Putusan Nomor 266/Pdt.G/2021/PN.Amb tanggal 26 Maret 2022 dan dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 22/PDT/2022/PT.AMB tanggal 7 Juni 2022 telah tegas menyatakan, bahwa Gugatan Philipus Chandra Hadhi ditolak. Kemudian Philipus Chandra Hadhi dengan tidak mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan tersebut, maka putusan dimaksud telah berkekuatan hukum tetap dan sudah tentu Philipus Chandra Hadhi harus tunduk dan patuh terhadap putusan tersebut,” tegas Ketua KPID Maluku, Mutiara D. Utama saat menggelar konferensi pers, di kantor KPID setempat, Senin (22/8/2022).
Berkaitan dengan Putusan dimaksud, kata dia, dalam gugatannya, Philipus Chandra Hadhi berdalih tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPID Maluku, yang menyatakan Philipus Chandra Hadhi tidak memilikki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).
Oleh karena itu, menurut Mutiara, dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, apalagi dalam pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Ambon melalui putusan Nomor 266/Pdt.G/2021/PN.Amb tanggal 26 Maret 2022 Majelis Hakim berdasarkan fakta hukum yang terungkap pada persidangan telah jelas menegaskan, bahwa Philipus Chandra Hadhi tidak memiliki IPP. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Philipus Chandra Hadhi selaku lokal operator TV Kabel Putri adalah illegal.
Dikatakan, pada tanggal 6 Januari 2022 KPID dengan Surat Laporan Pengaduan Nomor Laporan Pengaduan KPID Maluku Nomor 95/A.1.KPID Maluku/XII/2021 tanggal 17 Desember 2021 tentang temuan KPID Maluku atas barang sitaan polisi yang digunakan oleh tersangka pemilik TV Kabel Putri, untuk menyiarkan dan masih memungut biaya dari pelanggan sampai dengan hari ini, dan dilanjutkan dengan Laporan Pengaduan KPID 02/A.1.KPID Maluku/I/2022 telah melaporkan Philipus Chandra Hadhi atas dugaan tindak pidana penggunaan barang bukti sitaan penyidik polisi, yang mana Philipus Chandra Hadhi sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Maluku, akibat tidak memiliki IPP, dan pelanggaran Hak Cipta.
Namun sayangnya, kata Mutiara, hingga saat ini laporan ini tidak diproses sesuai ketentuan yang berlaku, bahkan penyidik beralasan bahwa telah dibuat berita acara “titip rawat”, sehingga barang sitaan dimaksud tetap berada dalam penguasaan pihak penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku, tetapi secara fisik barangnya tetap ada di rumah tersangka Philipus Chandra Hadhi.
“Bahwa dari laporan penggunaan barang bukti sitaan penyidik polisi yang dilaporkan KPID tersebut, kemudian berulang-ulang kali KPID Maluku dalam koordinasi dengan Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku untuk untuk memberikan ketegasan terkait Laporan KPID tersebut, karena Philipus Chandra Hadhi masih tetap menggunakan barang bukti sitaan dimaksud, untuk menagih iuran pembayaran TV kabel dari masyarakat yang sudah tentu jelas merupakan bentuk yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, namun Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku kemudian tidak menanggapi serius dan memberikan jawaban secara lisan kepada KPID Maluku, bahwa laporan pengaduan penggunaan barang bukti oleh KPID tersebut bukanlah laporan atau pengaduan,” ungkap Mutiara
Dalam perkembangannya, kata dia, pihak Ditreskrimsus Polda Maluku kemudian menghentikan penyidikannya dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor : SPPP/02/II/2022 Ditreskrimsus tanggal 22 Februari 2022 dengan alasan, bahwa kasus Philipus Chandra Hadhi bukanlah tindak pidana, melainkan tindak administratif, sehingga akan dialihkan penanganannya ke Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Maluku guna pengenaan sanksi administratif kepada Phlipus Chndra Hadhi.
Bagi KPID Maluku, ungkap Mutiara, ini merupakan kekeliruan oleh pihak Ditreksrimsus Polda Maluku sebab persoalan kasus Philipus Chandra Hadhi mestinya hanya menggunakan parameter Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran karena Undang-undang tersebut merupakan satu-satunya pangkal hukum penyiaran di Indonesia sebagaimana yang diatur pada pasal 33 ayat (1) undang-undang 32 tahun 2002 yang menjelaskan bahwa “Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran, kemudian pemohon izin wajib mencatumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undangundang, dimana pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan masyarakat.”
“Yang kemudian telah diatur ketentuan pidananya dalam Pasal 58 huruf (b) tentang pelanggaran terhadap ketentuan pasal 33 ayat (1) tersebut dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sehingga tidak ada standar penggunaan sanksi administratif yang dapat dipakai untuk menjerat Philipus Chandra Hadhi, jika belum memiliki Izin dalam hal ini IPP, sesuai kehendak dalam ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,” pungkas dia.
Mutiara menyatakan, hal krusial yang kemudian meresahkan dalam proses dimaksud adalah, Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Maluku tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus yang dialamatkan kepada Philipus Chandra Hadhi.
Pasalnya, Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Maluku tidak memiliki Penyidik PNS yang dapat melanjutkan proses penyidkan dimaksud. Sehingga ini jelas merupakan kerancuan hukum dalam penanganan perkara tersebut.
“KPID Maluku pada tanggal 28 Juni 2022 sudah berkordinasi secara langsung dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, terkait pernyataan salah satu pegawainya dalam memberikan pernyataan saat diminta menjadi saksi ahli. Kemenkominfo menjelaskan, bahwa sebelum melaksanakan usaha penyiaran wajib memiliki IPP, terkait dengan pernyataan mereka bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) itu hanya mengatur distribusi isi siaran dan hubungannya dengan hak cipta. Jadi, tetap jika TV Kabel Putri tidak memiliki IPP, maka usaha tv kabel tersebut Ilegal atau tidak memiliki ijin,” tandas Mutiara.