TEROPONGNEWS.COM, TERNATE – Anggota Komisi I DPR RI, Junico BP Siahaan mengatakan, usia Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran sudah 20 tahun, sementara UU ini intisarinya adalah teknologi penyiaran, dimana perkembangannya sangat luar biasa.
Sehingga Komisi I DPR RI tengah mencari dan menggali sebanyak-banyaknya masukan dari daerah terkait RUU Penyiaran tersebut.
“Kami sedang mencoba untuk menggali sebanyak-banyaknya masukan dan suara dari daerah, bagaimana masukan yang paling baik untuk kita masukkan sebagai bahan pemikiran di perubahan UU penyiaran. Di antaranya adalah bagaimana pengaturan terhadap media baru atau new media, karena dulu belum ada yang namanya media seperti Youtube. Sekarang sudah ada YouTube, ada podcast dan lain sebagainya,” jelas Nico dalam keterangan tertulisnya yang diterima Teropongnews.com, di Ternate, Selasa (14/6/2022).
“Sehingga kita harus membuat UU yang mampu menjawab tantangan perubahan perkembangan dunia digital ke depan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan gaya bersiaran zaman sekarang. Dan kemudian perubahan gaya bersiaran, kemudian perubahan gaya menonton atau mendengar atau menyaksikan. Ini harus sama-sama kita serap. Dan bagus tadi (ada masukan), jangan sampai nanti baru 2 tahun 5 tahun sudah muncul dunia baru dan kita tidak mampu menjawab tantangan-tantangan seperti itu,” jelas politisi PDI-Perjuangan itu.
Menurut Nico, ada beberapa masukan yang didapat terkait RUU Penyiaran, salah satunya mengenai pengaturan bagaimana kalau UU Penyiaran mengatur new media, juga program-program siaran yang muncul di platform yang tidak menggunakan frekuensi publik. Kemudian juga mengenai penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), baik di pusat maupun di daerah.
Termasuk, mengenai bagaimana KPI bisa melakukan pengawasan dan anggaran yang cukup. Sehingga KPI Daerah menyarankan agar anggaran mereka ditarik ke pusat, dan kemudian dibagikan ke daerah. Sehingga tidak harus mengandalkan APBD.
Terkait model penyelenggaraan platform digital penyiaran yang prospektif, diketahui dalam pertemuan tersebut, TVRI dan RRI menyarankan modelnya agar diatur dan tidak terjadi monopoli dan dapat bersaing secara sehat.
Untuk Digital Penyiaran terrestrial sudah cukup jelas ada Penyedia Konten dan Mux Operator, namun untuk Multiplatform perlu diatur dengan undang-undang, terkait kewajiban pembuat konten terhadap Pemerintah.
“Di platform digital pada umumnya model bisnisnya melibatkan empat pihak, yakni penyedia infratruktur, penyedia konten, pemasang iklan dan penonton,” ujar Nico.
Di TV digital, lanjut dia, penyedia infrastruktur adalah mux provider, penyedia konten adalah lembaga penyiaran. Di media sosial seperti Youtube, Facebook, TIktok dan lainnya, penyedia infrastruktur adalah pemilik aplikasi atau platform tersebut.
Youtube menyediakan infrastruktur, Youtuber menjadi penyedia konten, dan perusahaan komersial memasang iklan. Di Tiktok bahkan penyedia konten bisa mendapatkan penghasilan dari penonton langsung melalui fitur donasi.
“Jadi keempat pihak tersebut akan menjalankan perannya masing-masing secara terpisah. Prospek bisnis yang dihasilkan sangat besar, karena jangkauan digital ini tak terbatas,” tutup Nico.