“Liputan Khusus ini merupakan hasil dari Fellowship In Depth Reporting Auriga”
TEROPONGNEWS.COM, MERAUKE – Setiap pohon di Kampung Senegi punya tugasnya sendiri. Salah satu pohon itu adalah kaula (dalam bahasa Senegi) atau gempol (dalam Bahasa Indonesia) atau dalam bahasa latin disebut Nauclea Orientalis L. Famili Rubiceae. Pohon ini tugasnya spesial: memanggil warga dari delapan penjuru kampung untuk berkumpul, juga menjadi pengiring pesta.
Kaula adalah pohon Tifa warga Senegi. Dari pohon ini warga membuat alat musik tetabuhan itu. Nah, selain untuk mengiringi tari-tarian, fungsi penting Tifa bagi warga adalah untuk mengumpulkan warga.
Tugas pohon kaula tak tergantikan, karena hanya pohon ini yang cocok untuk dibuat Tifa di sana. Tumbuh di atas tanah gambut di hutan mamui atau hutan lapang, “Pohon Kaula ini jenis kayu yang kuat, awet, dan mudah dibentuk,” kata Kepala Kampung Senegi, Natalis Basik Basik, Sabtu (27/6), via sambungan seluler.
Senegi ada yang menyebutnya Zanegi atau Sanegi adalah kampung lokal di Distrik Anim Ha, Kabupaten Merauke, Papua. Jaraknya dari ibu kota Merauke sekitar 60 kilometer saja, namun karena jalan rusak parah, untuk ke sana perlu 4 jam naik mobil.
Kampung ini dihuni masyarakat asli Papua dari Suku Marind. Ada tujuh marga yang mendiami kampung ini yaitu, Marga Gebze, Samkakai, Kaize, Ndiken, Mahuze, Basik Basik, dan Balagaize. Marga Gebze, Samkakai, Kaize, Ndiken, Mahuze, dan Balagaize yakin bernenek moyang manusia purba (Homo erectus), sementara Basik Basik bernenek moyang manusia modern (Homo sapiens).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Merauke tahun 2020 mencatat, jumlah penduduk Kampung Senegi sebanyak 525 jiwa, laki-laki sebanyak 269 jiwa, dan perempuan sebanyak 256 jiwa.
Suku Marind Senegi hidup dengan mengandalkan hasil berburu dan meramu di hutan, rawa, dan mamui gambut. Senegi memang kampung gambut yang oleh mereka disebut hoom, atau dalam Bahasa Indonesia, “tanah goyang”. Hampir separuh kampung seluas 552,83 km persegi itu berupa hoom.
Menurut Natalis, meskipun warganya belum tahu banyak soal gambut, warga paham betul bahwa hoom dan setiap mahluk yang hidup di atasnya harus dijaga, karena hidup mereka bergantung sepenuhnya pada kelestariannya. Hoom menjadi andalan bukan hanya dalam soal pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tapi juga dalam melestarikan tradisi.
Dalam hal Tifa, misalnya. Pohon untuk membuat alat musik perkusi berbentuk kendang ini bisa berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu suku ke suku lain.
Dan, suku Marind Senegi, memilih membuat Tifa dari pohon kaula yang hidup di bagian lapang hoom mereka. Untuk penutup Tifa, bagian yang nantinya akan dipukul-pukul, mereka juga menggunakan kulit kanguru (saham) yang diburu di hoom.
Adapun untuk mengatur nada, mereka memakai madu hutan yang dibentuk mengerucut pada kulit kanguru penutup Tifa. Untuk mewarnai Tifanya, mereka memakai biji kemiri bakar untuk warna hitam, kapur sirih dan air untuk warna putih, buah pohon kaiseps untuk warna merah, dan sebagai perekat menggunakan campuran kapur dan darah kanguru. Semua bahan itu mudah didapat karena hoom masih terpelihara.
Wajib Ada Ditiap Rumah
proses pembuatan Tifa membutuhkan waktu paling cepat satu bulan. Pohon kaula yang sudah cukup umur ditebang dengan kapak dan dipotong-potong sepanjang 150 cm atau sesuai panjang Tifa yang dikehendaki. Kulit luarnya dikupas. Bagian dalamnya yang bertekstur lebih lunak dilubangi hingga bolong dari ujung ke ujung menggunakan dadid–linggis dalam bahasa Marind.
Penutupnya memakai kulit kanguru. Kulit itu dipotong melingkar, dikeringkan, dibersihkan bulunya, dipanaskan, lalu ditempel menutup lubang. Kulit direkatkan menggunakan kapur sirih yang dikentalkan dengan darah kanguru. Bagian luar Tifa diukir menggunakan pisau ukir sesuai motif yang diinginkan dan diberi warna.
“Proses pembuatan Tifa punya persyaratan yang harus diikuti,” ujar Isaias Y. Ndiken, Ketua Dewan Kesenian Pengurus Seni Merauke dan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke.
Diantaranya, kaum perempuan terutama yang sedang datang bulan (haid) dan wanita hamil maupun pria yang telah melakukan hubungan badan tidak boleh mendekati tempat pembuatan Tifa. “Proses ini berlaku untuk umum bagi orang Marind, supaya kesakralannya dijaga,” ucapnya di ruang kerjanya, Senin (29/6).
Isaias menambahkan, Tifa merupakan warisan budaya takbenda yang telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO sebagai benda budaya warisan dunia di tahun 2018. Di Kabupaten Merauke sendiri, ada even parade lima raja Tifa yang dilakukan setiap tahun.
Selain itu, setiap kantor pemerintahan diwajibkan menempatkan Tifa sebagai identitas dan penghargaan terhadap wariasan budaya setempat, walau belum semua kantor menerapkan itu. “Sebab, identitas itu yang melambangkan keutuhan dan kekuatan suatu bangsa,” katanya.
Di suku Marind Senegi, fungsi Tifa melekat pada aneka ritual. Bahkan, setiap rumah wajib memiliki Tifa, karena alat musik ini diperlukan untuk berbagai upacara. Misalnya, untuk pesta tusuk telinga yang disebut kambet warlok. Kambet warlok adalah upacara tusuk telinga bagi setiap anak perempuan suku Marind Senegi yang sudah berusia 10-15 tahun.
Pesta ini menjadi tanda sang anak sudah boleh membantu ayah dan ibunya untuk melakukan pekerjaan rumah, memangkur sagu, hingga mengambil kayu bakar. Pada pesta ini pula semua keluarga besar dikumpulkan dan sekaligus diperkenalkan, agar anak mengenal semua keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Tifa pun ditabuh untuk mengiringi tarian Nggatzi.
Ada fungsi Tifa yang lainnya di suku Marind Senegi, yang hanya bisa dilakukan dengan Tifa kepala suku. Bunyi atau suara yang ditabuh dengan pola khusus yang dikenal seluruh warga sebagai tanda panggilan. “Ada bunyi yang disebut Moa yang artinya datanglah dan bunyi yang disebut Ndi, artinya berkumpul,” ujar Natalis.
Masih ada fungsi lainnya: menjadi mata pencaharian tambahan, dengan menjadikannya produk kerajinan tangan. Namun, berbeda dengan tifa sebagai alat tetabuhan tradisional yang tidak diperbolehkan untuk dijual ke pihak luar, tifa kerajinan tangan berfungsi sebagai hiasan atau aksesoris rumah. Harganya di Merauke sesuai kesepakatan, tergantung ukuran. Tetapi produksi Tifa ukiran masih terbatas karena belum ada pasar.