Berita

Seribu Hektar Hutan Masyarakat Adat di Jayapuran Berpotensi Dirusak Untuk Kepentingan Sawit

×

Seribu Hektar Hutan Masyarakat Adat di Jayapuran Berpotensi Dirusak Untuk Kepentingan Sawit

Sebarkan artikel ini

TEROPONGNEWS.COM, JAYAPURA, – Seribu Hektar Hutan Masyarakat Adat Namblong Kabupaten Jayapura, berpotensi dirusak oleh perusahaan yang memanfatkan lahan untuk aktifitas penebangan dan penggusuran lahan demi kepentingan kepentingan Perkebunan Kelapa Sawit.

1550
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.


“ada penggusuran lahan baru kayanya untuk persiapan pembukaan lahan sawit “ kata Rosita Tecuari.


Rosita Tecuari salah satu penggiat lingkungan mengakui, terdapat dua Perusahaan yang melakukan aktifitas pembokaran hutan dan penebangan kayu di wilayah Beneik Distrik Unurumguay Kabupaten Jayapura.

” ada dua perusahaan yang satunya PT Permata Nusa Mandiri (PNM) untuk persiapan sawit dan yang satunya untuk Kayu karena ada bongkar-bongkar jalan di dalam area itu, ” ungkapnya saat di konfirmasi Rabu, 2 Februari 2022.


Rosita Tecuari menambahkan, kawasan hutan yang di tebang oleh kedua perusahaan tersebut masuk dalam kawasan konservasi cagara alam yang di lindungi seluas seribu hektar, meski kawasan itu menjadi habitat atau rumah bagi satwa liar yang di lindungi seperti cenderawasih sehingga sangat di sayangkan jika habitatnya di rusak.


Selain itu ruang kelola hidup masyarakat setempat juga di pastikan akan hilang dengan adanya penebangan dan penggusuran secara besar -besaran hutan masayarakat adat sebagai tempat hidup.


” sawit ini kan tidak menguntungkan bagi masyarakat adat, masyarakat adat tidak bisa bekerja seperti begitu mereka kerjanya secara tradisional tidak menetap sehingga sangat sulit untuk beradaptasi,” ujar nya.


Ada 6 Marga yang mendiami kawasan hutan tersebut yakni Bano, Kekri, Sawa, Kasmando, Tecuari, Gosto sehingga aktifitas ini akan mengancam keberlangsungan hidup mereka yang, sejak nenek moyang bergantung hidup dari bertani, berburu dan meramu.


Berdasarkan pemantauan Pusaka dan Informasi Jaringan Komunitas, Sebelumnya terdapat aktivitas penebangan hutan pada areal perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, pada Minggu, 2 Januari 2022, yang diduga untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit.

Padahal diketahui izin konsesi kehutanan PT PNM yang dikeluarkan tahun 2014, telah dicabut oleh pejabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022.

Perusahaan lain yang sudah dicabut izinnya namun masih aktif beroperasi membuka, menebang dan menggusur hutan adalah PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Buntuni, Provinsi Papua Barat, dan perusahaan kelapa sawit PT Rimbun Sawit Papua di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.

Pusaka mengaku telah menerima laporan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut diduga melakukan pengembangan usaha tanpa Hak Guna Usaha dan diduga lokasi penebangan hutan berada diluar izin usaha perkebunan, yang terjadi menjelang akhir 2021.


Berdasarkan data Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, diketahui pemilikan saham dan kepengurusan perusahaan PT Permata Nusa Mandiri, PT Subur Karunia Raya dan PT Rimbun Sawit Papua, saling berhubungan dengan Indo Gunta Group dan Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) Group, dikenal juga sebagai Salim Group/ Indofood Group.

Group perusahaan ini menguasai dan memiliki 10 perusahaan perkebunan di Tanah Papua dan berada di kawasan hutan dengan luas 266.736 hektar. Perusahaan ini memperoleh izin langsung dari pemerintah, dan atau diakuisisi dari perusahaan lain, tanpa sepengetahuan masyarakat adat setempat dan melanggar persyaratan peraturan.

Sejauh ini, tanah dan hutan tersebut belum sepenuhnya diusahakan, berkonflik dan masih ada penolakan masyarakat adat setempat.

“Pemerintah daerah dan nasional seharusnya mengambil langkah-langkah proaktif menindaklanjuti hasil evaluasi dan putusan sanksi pencabutan izin usaha perusahaan, dengan melarang aktivitas perusahaan, menegakkan hukum dan memberikan sanksi pidana, membayar denda dan kompensasi ganti rugi, untuk masyarakat terdampak dan restorasi lingkungan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”, jelas Tigor G Hutapea, Staf Divisi Advokasi Pusaka.


Pengabaian dan pembiaran atas pelaksanaan putusan tersebut dapat memicu konflik dan meningkatkan ketegangan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan.

Demikian pula, dalam konteks penghormatan HAM dan mencegah terjadinya konflik, perusahaan seharusnya menghormati keputusan pemerintah dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak sendiri.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat meminta pemerintah tidak lagi memberikan kemudahan perizinan dan memberikan izin baru kepada perusahaan negara dan swasta (dalam negeri dan luar negeri) yang terbukti melakukan aktifitas pengrusakan alam dan melanggar HAM.