TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum Prof. Gayus Lumbuun (LBH PGL), menilai kondisi penegakan hukum di Indonesia secara umum dapat diibaratkan sebagai benang kusut yang disebabkan “excess authority” dan “Judicial Coruption” yang telah membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum, sehingga harus dilepaskan dari kultur lama. Terkait viktimologi (Korban) sebagai bentuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak-hak melekat pada manusia, mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum.

Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga, masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri. Apalagi di era digital, dimana rezim tekhnologi begitu cepat terkonfirmasi, melalui jejaring sosial media. Bahkan fenomena terjadi, penegak hukum yang seharusnya melindungi hak asasi manusia warganya, malah berbuat sebaliknya.

Penegakan hukum seharusnya dilakukannya sesuai proses, dengan upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang. Seperti pendapat Cicero, yaitu “ubi societas ibi ius”, berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

Oleh karena itu penegakan hukum yang berkualitas tidak akan terwujud jika aparat penegak hukumnya melakukan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku. Salah satu penyebabnya adalah budaya hukum di Indonesia masih jauh dari apa yang seharusnya dicita-citakan para pendiri bangsa mengenai negara hukum (rechtsstaat), dikarenakan budaya hukum di Indonesia saat ini adalah sebagai hasil dari sistem hukum yang tidak efektif, sehingga masyarakat menganggap hukum dipatuhi karena takut oleh penegak hukum, bukan karena kesadaran diri sendiri.

Catatan Sebagian Kasus Victimologi 2022

  1. Korban Salah Tangkap Aidil Aditiawan (33) mengaku menjadi korban dugaan salah tangkap dan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota polisi dari Polsek Seberang Ulu (SU) I Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Akibat intimidasi yang diberikan, korban mengaku mengalami siksaan fisik maupun fisik. (Sumber: https://daerah.sindonews.com/read/868403/720/babak-belur-jadi-korbansalah-tangkap-polisi-aidil-lapor-ke-propam-polda-sumsel-1661605705).
  2. Penggunaan Senjata Api oleh POLRI Selama bulan Juli 2021 – Juni 2022, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat sekitar 463 peristiwa tindakan penggunaan senjata api yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia (Polri). Institusi pelaku dalam 100 peristiwa penggunaan senjata api dilakukan oleh Kepolisian Sektor (Polsek), 330 peristiwa dilakukan oleh Kepolisian Resor (Polres), dan 33 peristiwa dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda). Korban dalam tindakan ini sebanyak 680 orang, dengan rincian 640 orang luka dan 40 orang tewas. (Sumber: https://kontras.org/lembar-fakta/) .
  3. Rekayasa Kasus oleh Polri Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo, Mantan Kepala Divisi Propam Polri, kepada Brigadir J, yang masih dalam proses penyidikan hingga saat ini, mulai memunculkan berbagai fakta baru terkait adanya dugaan rekayasa kasus. Dalam upaya pengungkapan rekayasa kasus tersebut, terdapat 35 anggota polisi yang juga turut terlibat dalam rencana pembunuhan Brigadir J. Bahkan, sebelum fakta terbaru ini dibeberkan ke publik, narasi keliru terkait kasus pembunuhan berencana ini didengungkan oleh Kapolres Jakarta Selatan, Humas Polda Metro Jaya, hingga Kompolnas. Adanya usaha menutup-nutupi fakta rekayasa kasus secara sistemik dan terstruktur ini menunjukkan ruang permasalahan besar di dalam institusi Kepolisian, khususnya berkaitan dengan pengawasan. (Sumber: https://kontras.org/lembar-fakta/) .
  4. Bebasnya Nikita Mirzani oleh Pengadilan Negeri Serang Nomor 853/Pid.Sus/2022 PN.Srg tanggal 29 Desember 2022. Kasus pencemaran nama baik yang menjerat Nikita Mirzani bermula dari sebuah laporan terkait pelanggaran UU ITE yang dilayangkan Dito Mahendra ke Polresta Serang Kota pada Mei 2022. Sejumlah aparat kepolisian sempat melakukan upaya jemput paksa terhadap Nikita di kediamannya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, pada 15 Juni sekitar pukul 03.00 dini hari.
  5. Kejaksaan Negeri Serang Tidak Profesional Jaksa Penuntut Umum Serang, seharusnya dapat menghadirkan Dito Mahendra ke persidangan. Bahkan sekarang Kejaksaan Negeri Serang telah membuat laporan Polisi di Polresta Serang Kota. (Sumber: https://regional.kompas.com/read/2022/12/30/175811578/kejari-serangresmi-laporkan-dito-mahendra-ke-polisi-karena-halangi-proses) .
  6. Hakim Agung Terjerat Korupsi Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 10 orang dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, semakin mencoreng dunia peradilan. Dari sepuluh orang tersebut, satu di antaranya merupakan Hakim Agung, yakni Sudrajad Dimyati. Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan. Kasus ini juga setidaknya menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Bisa dibayangkan, berdasarkan data KPK, sejak lembaga antirasuah itu berdiri tak kurang 21 hakim terbukti melakukan praktik lancung. Ada sejumlah poin yang penting untuk diurai guna menunjukkan mengapa kondisi tersebut bisa terjadi. (Sumber: https://antikorupsi.org/id/hakim-agung-terjeratkorupsi-momentum-bersih-bersih-mafia-peradilan) .
  7. Kebocoran Data Pribadi Munculnya dugaan kebocoran data 1,3 miliar SIM Card hingga 105 juta data penduduk Indonesia belakangan ini menambah daftar kasus pencurian data pribadi di Indonesia. (Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1632043/inilah-7-kasusdugaan-kebocoran-data-pribadi-sepanjang-2022).

Keadaan tersebut, memperlihatkan tidak adanya kemauan politik dari seluruh pihak untuk mengubah negara ke arah yang lebih baik.

Berkaca pada kasus diatas, dalam upaya pembangunan hukum, maka perlu adanya reformasi dalam penegakan hukum, sehingga apa yang menjadi nilai-nilai Pancasila dapat terwujud. Oleh karena itu dalam refleksi penegakan hukum kedepan, sebagai berikut :

1) Diperlukan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hakhak lain kepada Saksi dan/atau Korban. Sehingga dapat melakukan kontrol dan evaluasi terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang “excess authority“ yang dilakukan oleh penegak hukum, serta melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum antara lain: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kementerian Kehakiman (Lembaga Pembinaan Masyarakat), dan Organisasi Advokat).

2) Diperlukan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan berlakunya Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2022, dan berlaku.

3 (tiga) tahun ke depan. 3) Diperlukan peran Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo), dalam menanggulangi cybercrime dan pemblokiran situs-situs yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, dan berperan aktif dalam perlindungan hukum data pribadi, sebagaimana amanah Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan data Pribadi.

Lebih lanjut, dalam penegakan hukum, tentunya tidak terlepas dari asas praduga tak bersalah (presumption of innosence) merupakan syarat utama dan mutlak dalam rangka menegakkan hukum. Hal ini harus diterapkan sejalan dengan persidangan yang berjalan jujur, adil dan tidak memihak yang merupakan implementasi jelas dari due process of law. Sebagai penutup, jika penegakan hukum baik, maka dengan sendirinya keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasi manusia dapat dicapai. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan harmonisasi pemerintah sebagai implementasi dari Nawa Cita.

Penulis adalah : Pakar Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Profesor Gayus Lumbuun (STIH-PGL).