Prasetyo Nugraha

Pada tahun 710 pagebluk di Bashrah yang bernama Tho’un  Muslim bin Quthaibah, semacam penyakit menular mengakibatkan kematian masal dengan kalkulasi ribuan orang meninggal setiap harinya. Wabah ini merupakan jenis mutakhir mutasi Tho’un (baca : terakhir) yang terjadi pada bulan Jumadil Akhir, lanjut ke Rajab. Di bulan Sya’ban semakin naik dan pada bulan Ramadhan dan Syawal berada pada puncak-puncaknya. Setelah itu menurun dan hilang secara berangsur-angsur.

Dalam kasus pagebluk lainnya, pada tahun 1346 dalam menyelusuri jalur sutra kapal rombongan pedagang Genoa rupanya ditumpangi pandemi pes dari China melalui medium kutu yang hidup di tubuh tikus. Setelah menempuh pelayaran panjang, kapal bertepi di hulu sungai Don, tepi Laut Hitam, dan dengan sekejab pagebluk mewabah keseluruh kota Tana dan meluas hingga semenanjung Mediterania. Wabah mematikan tersebut di awal 1347 melebar sampai menerjang konstantinopel. Memasuki musim semi di tahun 1348, tanpa disadari gelombang pagebluk masuk meneror Afrika Utara, Prancis, Italia dan suluruh wilayah daratan benua Eropa.

Gelombang panyakit pes yang mematikan dengan sebarannya yang cepat dan jangkauannya yang luas tersebut dijuluki pagebluk kematian hitam alias The Black Death. Selama lima tahun pes terus mewabah dan melenyapkan sekitar satu pertiga penduduk dunia, meski jumlah dalam perdepatan, namun para ahli sepakat pagebluk memakan separuh populasi setiap daerah yang disasarnya.

Sama halnya pagebluk di atas, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) meneror manusia hingga akan memasuki Ramadhan di tahun 2020. Tren mobilitas Covid-19 yang sama cepatnya dengan jangkauan lebih luas menjadikannya virus mematikan nomor 1 di dunia, terhitung sampai saat ini lebih dua juta manusia terpapar dengan ribuan korban bertambah pertiap harinya. Selain itu, ada ratusan ribu nyawa melayang yang hingga sekarang masih terus bertambah terekam dalam monitor data sebagai potret episode baru pagebluk yang diputarkan kembali dalam sejarah manusia.

Di tengah ancaman virus Corona, pemerintahan dunia berjuang melakukan penindakan pengentasan pagebluk, tidak terkecuali Indonesia, seperti upaya preventif berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai pencegahan dan pemutusan matai rantai penyebaran Covid-19. Dan beberapa upaya kuratif dilakukan, dari langkah medik untuk penanganan korban terpapar hingga penggalian kuburan masal untuk korban yang telah terenggut nyawanya.

Dampak Sistemik Pagebluk

Pemerintahan Indonesia telah menyatakan Covid-19 sebagai bencana nasional, bahkan WHO sedari awal menyatakannya sebagai pandemi global. Karena selain ekses kesakitan dan kematian yang ditimbulkan atas penularan pagebluk Corona tersebut, kengerian dan kepanikan juga menjadi dampak sistemik yang menghantui seluruh warga dunia.

Kepanikan mempunyai logikanya sendiri, ia muncul akibat kecemasan sosial atau dipicu atas sesuatu yang tidak terduga. di Inggris gulungan tisue toilet habis diserbu massa, dan banyak di market-market negara luar lainnya, cth; hand sanitezer, masker dan makanan instan diserbu massa meski harganya sama denga berlian. Tetapi berbeda dengan negara luar, di dalam negeri kepanikan muncul disebabkan gelombang PHK karena pabrik yang dimiliki pemilik modal gagal akumulasi modal, dan di sisi para pekerja di sektor informal panik karena gagal kejar setoran. Itu memang sekelumit cerita dunia ketiga yang syarat ketimpangan, jangankan membeli masker dan hand sanitizer yang harganya membumbung tinggi, membeli beras saja mereka belum tentu bisa.

Berbeda dengan panik masyarakat, kepanikan negara jelas tampak menekan dampak kinerja ekonomi global dan nasional. Seperti perhari ini, Negara Amerika Serikat telah mengelontorkan lebih dari 60 Biliun (dalam bentuk Rupiah) dan mencetak uang milyaran Dolar AS supaya ekonomi mereka tidak runtuh. Dampak Covid-19 seperti memukul pinsan perekonomian, Indonesia sendiri mengelontorkan uang sebesar 405 Triliun Rupiah untuk menahan pelambatan lebih lanjut ekonomi nasional akibat dampak ditimbulkan dari pagebluk Corona.

Keruwetan dalam pembacaan situasi nasional dan global pada suatu negara akan menambah kepanikan di dalam negara itu sendiri. Musim Covid-19 tidak bisa nurut dengan mekanisme pasar yang bicara untung-rugi, fenomena ini harus mengedepankan logika kemanusiaan yang membicarakan keselamatan dan kedamaian. Apalagi fakta lain menunjukkan bahwa Covid-19 ialah penyakit kelas elite. Kelompok yang tertular dan menularkannya pertama kali hingga ke daerah-daerah adalah mereka dari kalangan menengah ke atas.

Virus ini menyebar melalui relasi nasional bahkan internasional. Atau, paling tidak mereka yang telah bertolak dari perjalanan internasional atau kota-kota besar di Indonesia. Sebelum terlanjur parah mewabah ke masyarakat kecil dan daerah terpencil, menutup akses keluar-masuk virus sangatlah penting.

Di tengah pandemi, menutup jalur udara, laut, dan darat lebih utama ketimbang mempersilahkan orang (investor) keluar-masuk wilayah-negara. Perbandingannya sama penting dengan penanganan penyebaran virus Corona dengan percepatan pengembangan vaksin sembari juga pengembangan obat untuk penderita Covid-19 agar tidak terus korban berjatuhan.

Kehancuran Ekuilibrium Dunia

Masalah ekonomi tidak perlu dibesar-besarkan, yang katanya dampak pagebluk akan membawa krisis global, itu hanyalah ekses dari konsekuensi penerapan pasar bebas yang over produksi pada suatu sisi, dan karakter akumulasi modal pada sisi lainnya, yang mana pada dua sisi tersebut syarat akan adanya ketimpangan – Panik karena komoditas yang diproduksi takut tidak laku dipasaran dan panik karena tidak cukup uang untuk membeli komoditas di pasar.

Mengingat masa berakhir virus Corona tidak keruwan kapan berakhirnya, sedangkan jumlah korban terjangkit terus bertambah, maka seberapapun jumlah nominal dengan segala macam paket – program ekonomi digelontorkan, tidakkan mencukupi kalkulasi akuntan nasional dan global menghitung kehancuran dampak sistemik dari pandemi Covid-19.

Di muka bumi ini tidak ada satu bangsa yang mau dan mampu menghadapi pagebluk, virus menghancurkan ekuilibrium disegala peradaban yang telah dilampauinya. Sebagaimana kita baca dalam sejarah, pagebluk Tho’un di Bashrah menjadi tanda akhir masa keemasan Dinasti Umayyah. Pagebluk meluluhlantakkan tatanan politik dan ekonomi yang dibangun selama ratusan tahun. Dan tidak menunggu lama, di saatBani Ummayyah berada di puncak lemahnya dihabisi oleh Bani Abbasiah. Pada tahun 711 itu berdirilah kekhalifahan yang baru, yaitu Khilafah Bani Abbasea sebagai periodeisasi akhir dari puncak kejayaan dinasti Islam.

Kemudian case pagebluk lainnya, yaitu serangan “kematian hitam” yang melantak Eropa, menjadi momentum sejarah bagi perubahan benua tersebut. Pagebluk menghancurkan sistem feodal di Eropa Barat sebagai tanda berakhirnya the dark age dan di mulainya kebangkitannya di abad ke-15.

Di sinilah titik sejarah pandemi mempengaruhi jalannya cerita perkembangan dunia. Jadi, bukan suatu kebetulan jika diterminasi ekonomi dan politik dunia selama beratus tahun dari sana dikendalikan hingga berlanjut sampai dengan sekarang.

Episode Tatanan Baru Dunia

Menangkap pesan sejarah, menghadapi pagebluk dengan jaga diri, jaga keluarga, jaga persaudaraan, jaga masyarakat, dengan memberi jarak aman dengan tetap reresik diri dan lingkungan sendiri-sendiri. Kalau merasa kurang sehat mengisolasi diri dan ketika wabah mensasar warga maka diterapkan karantina wilayah. Praktek-praktek dimaksud sudah diterapkan semenjak 14 abad lalu di saat dunia dilanda pagebluk, dan sampai sekarang semakin applicable dan compatible dengan pengistilahan nama baru.

Kita patut berbangga dengan kreatifitas pemerintahan Indonesia dalam menerapkan PSBB di tengah negara-negara di dunia menerapkan lockdown. Kekhasan Indonesia yang memiliki sekitar 5.000 pulau yang merentang sepanjang katulistiwa, memiliki 250 bahasa dan dialek, serta 1.000 lebih etnis dan subetnis, menjadi modal pemerintah dalam menerapkan pembatasan sosial. Selanjutnya dengan modal kesuburan tanah yang selalu disinari matahari dan ditambah kelimpahan hayati di darat dan di laut menjadi modal untuk masyarakat bertahan hidup dalam gelombang Corona.

Karena episode sejarah mensyaratkan bangsa yang memiliki keseimbangan ekosistem yang dapat survival menghadapi pandemi. Bahkan tidak hanya itu, sejarah juga mensyaratkan negara yang memiliki intitusi ekonomi dan politik yang ingklusif yang dapat merangsang bangsanya kreatif dan mandiri saat pandemi, dapat hidup sustainable dan establish dalam menghadapi terjangan badai pagebluk.

Pemahaman mengenai alur sejarah perkembangan dunia dengan beberapa episode kritis seperti pendemi Covid-19, di mana sebaran virus telah merontokkan ekuilibrium ekonomi dan politik segala negara yang disasarnya, tanpa kecuali Amerika Serikat dan China. Perlu ditangkap sebagai sinyalemen siklus kesejarahan menuju episode tatanan baru dunia. 

Untuk membuktikan itu dengan disertai keinginan menyaksikan langsung keseimbangan dunia baru yang menjamin keadilan distribusi politik dan ekomoni berjalan tanpa ada ketimpangan bisa berlangsung, maka tetaplah di rumah dan jagalah kesehatan dengan melakukan langkah terbaik memonitor data dan menganalisanya sambil menyiapkan koreksi sebagai counter terhadap pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan selama musim dan pasca Covid-19, nantinya.

Dalam kondisi pandemi ini kita berharap-harap cemas. Cemas karena takut terpapar virus Corona, dan berharap agar para ilmuan segera menuntaskan pengembangan vaksin dan obat Covid-19. Terakhir, seyogyanya kita terus berikhtiar, bergotong royong menghadapi pandemi dengan rakyat mendukung pemerintah dan pemerintah melindungi rakyat. Kita berharap sembari berdoa kepada Allah, Tuhan YME agar badai Covid-19 cepat berlalu. Amin