Berita

Masyarakat Adat Ring I Petrogas (Basin) Tuntut Bagi Hasil Pendapatan Migas

×

Masyarakat Adat Ring I Petrogas (Basin) Tuntut Bagi Hasil Pendapatan Migas

Sebarkan artikel ini
Perwakilan masyarakat adat yang ada di Ring I wilayah operasi PT Petrogas (Basin) Ltd, menuntut adanya profit sharing dari perusahaan. (Foto:Ist/TN)

TEROPONGNEWS.COM, AIMAS – Masyarakat adat pemilik hak ulayat di wilayah Ring I PT Petrogas (Basin) Ltd di Distrik Seget, Kabupaten Sorong, menuntut pembagian pendapatan perusahaan sebesar 15 persen.

1508
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Tuntutan ini adalah salah satu poin yang disampaikan 12 marga di wilayah itu, sebelum perusahaan tersebut memperbarui kontrak kerja yang akan habis pada 15 Oktober 2020.

Didampingi LSM Pelita Hati, masyarakat Suku Moi ini juga menuntut dilibatkan dalam pengelolaan dana Corporate Social Responcibility (CSR), serta penyerapan Orang Asli Papua (OAP) yang ada di sekitar operasional perusahaan, sebagai tenaga kerja.

“Sebagai masyarakat pemilik hak ulayat yang ada di area penyebaran PT Petrogas Basin Ltd, kami patut mengetahui naskah kontrak kerja tahun 2020 – 2040, mengingat ada area – area tertentu yang masih menjadi hak adat kami dan tanah-tanah tersebut berbatasan dengan tanah yang menjadi area kerja Petrogas Basin Ltd,” kata Moses Klawamon, Ketua LSM Pelita Hati, Senin (5/10/2020).

Moses meminta agar tuntutan warga itu diakomodir dalam surat perjanjian kontrak yang akan diperbarui pada 14 Oktober 2020.

Moses Klawamom, Ketua LSM Pelita Hati. (Foto:Tantowi/TN)

Seperti diketahui, pada 14 Oktober 2020PT Petrogas (Basin) Ltd akan memperbarui kontrak kerjasama dengan pemerintah, dari model Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery (CR) ke skema PSC Gross Split (GS).

Model PSC GS adalah kontrak kerjasama bisnis hulu migas yang menggunakan pola pembagian hasil produksi dengan prosentase dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan di awal, sebelum memperhitungkan biaya.

Dengan model kontrak ini, praktis menghilangkan tanggung jawab pemerintah dan SKK Migas untuk mengganti sebagian biaya operasi perminyakan yang biasanya ditanggung secara proporsional ketika kontrak berlangsung dengan model PSC Cost Recovery. Dengan pola PSC GS, otomatis juga menghapus kewajiban SKK Migas dalam melakukan pengendalian dan pengawasan cost recovery.

“Sebelum pembaruan kontrak itu dilakukan, kami minta agar tuntutan ini diakomodir dalam perjanjian kontrak yang baru itu,” kata Moses Klawamon.

Tuntutan ini, katanya, juga mengacu Pasal 42 ayat 3 UU Otsus No. 21 Tahun 2001 yang diubah dengan UU No.35/2008 menyebut; “Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi Kabupaten/kota dan penanam modal harus melibatkan Masyarakat Adat setempat.

Kemudian pada Pasal 43 UU Otsus No 21 Tahun 2001 yang diubah dengan UU No 35/2008 menyebut, penyediaan tanah Ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum Adat untuk kepentingan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat Adat.

Pasal-pasal lain dalam UU Otsus 21/2001 yang menjadi dasar tuntutan itu adalah;

– Pasal 43 Ayat 3 : Pelaksanaan hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dilakukan oleh penguasa adat masyarakat adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasa tanah bekas Hak Ulayat yang diperoleh Pihak lain secara sah menurut tata cara dan berdasarkan peraturan perundang- undangan”.

– Pasal 43 Ayat 4 : Pengadaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

– Pasal 43 Ayat 5 : Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam hal penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

“Kami akan membuat patok-patok area yang masih menjadi hak kami, sehingga batasan-batasannya menjadi jelas. Jika terdapat sumur baru atau eksplorasi di luar area yang sudah di sepakati, maka kami perlu membicarakan lebih lanjut lagi. Untuk itu perlunya kami mengetahui naskah kontrak kerjasama yang telah di tanda tangani, sehingga kami baik sebagai masyarakat maupun perusahaan mengetahui dan paham batasan-batasannya masing-masing,” tambah Selma Mugu, penasehat LSM Pelita Hati.

Aspirasi masyarakat adat ini, sempat dibahas dalam pertemuan dengan Bupati Johny Kamuru di pendopo Rumah Dinas Bupati pada Senin, 5 Oktober 2020.  Namun dalam pertemuan itu tidak membuahkan kata sepakat.

“Kami akan membuat aksi di lokasi perusahaan, jika sampai tanggal 14 nanti aspirasi ini tidak ada kejelasan,” tandasnya. **