Berita

Hadiri Festival Suara Jernih Papua di Jakarta untuk Memahami Bumi Cenderawasih Lebih Dalam

×

Hadiri Festival Suara Jernih Papua di Jakarta untuk Memahami Bumi Cenderawasih Lebih Dalam

Sebarkan artikel ini
Festival suara jernih Papua di Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023). (foto: Morteza Syariati Albanna/TN).

TEROPONGNEWS.COM, Jakarta – Greenpeace berkolaborasi dengan Papua Itu Kita–forum solidaritas Papua yang berfokus pada Hak Asasi Manusia (HAM) serta pusat informasi dan kajian–menggelar Festival Ranipa – Suara Jernih Papua.

1468
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Rahka Susanto mengatakan acara ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan, mengenai kekayaan alam serta keanekaragaman hayati Tanah Papua yang bersatu padu dengan kearifan lokal budaya masyarakat adatnya.

Adapaun festival yang digelar di KALA di Kalijaga, samping M Bloc, Jakarta Selatan ini berlangsung selama dua hari, 17-18 Maret 2023.

Rahka melanjutkan, festival ini menghadirkan rangkaian acara seperti diskusi publik, instalasi seni dan foto, tari tradisional, MOP Papua, serta pertunjukan musik.

“Melalui berbagai rangkaian acara ini, pengunjung
dapat merasakan pengalaman memahami dan menjelajahi keindahan serta kekayaan alam dan
budaya di Papua,” kata Rahka dalam rilis persnya dikutip TeropongNews, Jumat (17/3/2023).

Untuk diketahui, Charles Toto, seorang chef asal Papua yang mengampanyekan perlindungan lingkungan melalui kuliner lokal juga turut hadir dalam acara ini.

Sementara, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma mengatakan kehidupan masyarakat adat Papua sangat erat dengan sumber daya alam yang dikelola dengan kearifan dan diwariskan dari generasi ke generasi untuk memenuhi kebutuhan harian, mulai dari bahan pangan hingga ragam kerajinan.

“Namun, ekspansi industri perkebunan monokultur seperti sawit serta pembangunan masif yang tidak bertanggung jawab telah mengancam masyarakat adat Papua dan budaya mereka,” kata dia.

Analisis Greenpeace menyebut lebih dari 20% daratan Tanah Papua telah dibebani perizinan
industri ekstraktif berbasis lahan, seperti pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak
pengusahaan hutan (HPH), maupun perkebunan kelapa sawit.

“Setidaknya 2,7 juta hektar dari total
35 juta hektar tutupan hutan alam di Tanah Papua (41 kali luas DKI Jakarta) terancam deforestasi
karena berada dalam konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri maupun pertambangan,” kata
Nico.

Dia melanjutkan, deforestasi juga mengancam budaya asli Papua hilang di tanah asalnya.

Dalam festival ini, Greenpeace dan Pusat Studi Melanesia, Universitas Cenderawasih akan merilis
hasil riset mengenai ancaman keberadaan industri pangan yang cenderung meminggirkan pangan
lokal.

Hal ini juga mengancam keberadaan unsur-unsur budaya masyarakat adat. Hasil riset yang
dilakukan di dua kawasan menunjukkan kondisi berbeda.

Di Kampung Dabe II, masyarakat adat
masih melakukan pengolahan pangan lokal dan melestarikan budaya pangan asli Papua. Sementara di kampung Asiki masuknya industri pangan telah menggerus pangan lokal sehingga mereka lebih banyak mengkonsumsi beras yang dibeli dari pasar.

Nico menambahkan, Festival Suara Jernih Papua ingin mengajak semua pihak mengenal lebih dekat Tanah Papua yang kaya akan sumber daya alam, kearifan lokal dan budaya serta pangan lokal yang patut dilestarikan.

“Pelestarian hutan dan pengakuan hak masyarakat adat Papua adalah solusi penting untuk keluar
dari krisis iklim,” kata Nico.