Cenderawasih Merah, Penari Handal di Puncak Warkesi

Burung Cenderawasih Merah, spesies endemik pulau Waigeo Raja Ampat, saat menari di atas pohon. Foto Wim/TN

Penulis : Willem Oscar Makatita

TEROPONGNEWS.COM, RAJA AMPAT- Matahari belum sempat menunjukan “batang hidung”. Cahayanya belum nampak di ufuk Timur Raja Ampat Papua Barat, Sabtu (30/10/2021) sekitar pukul 05.10 WIT.

Pagi itu saya (Willem) tidak sendirian, bersama Mourens dan Paskal anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi dan seorang teman jurnalis antranews, Ernes, kami pun mulai bergerak dari kota Waisai Raja Ampat, menuju kawasan hutan Warkesi, habitat burung Cenderawasih merah (Red Bird of Paradise) satu dari tiga spesies endemik pulau Waigeo. Jaraknya sekitar enam kilo meter dari kota Waisai.

Tiba di meeting poin spot Cenderawasih merah di Warkesi, kami masing-masing mengecek perlengkapan, mulai dari air minum, kamera maupun senter untuk menerangi jalan disaat matahari belum nampak saat itu.

“Kaka siap ?,,, Tanya Mourens !. Ok, siap, aman..kita jalan,” ujar saya kepada Mourens dan kedua teman yang lain.

Untuk mencapai puncak atau spot burung Cenderawasih, kami harus menempuh perjalanan mendaki setinggi 800 meter dari meeting poin atau 1.700 MDPL dari permukaan laut.

Perjalanan mencapai kurang lebih 400 meter menanjak, nafas saya sudah mulai terseok-seok, kaki dan lutut hampir saja tidak mampu mengimbangi tubuh 85 kilo gram ini.

“Masih sekitar 400 meter lagi,…berhenti dulu, kita atur nafas sebentar,” kata saya kepada ketiga teman, Mourens, paskal dan Ernes, sambil duduk di atas sebuah batu gunung yang lumayan besar.

Setelah beristirahat sekitar 5 menit, kami pun melanjutkan pendakian. Baru sekitar 20 meter, kami berempat dikagetkan dengan seekor ular Green Piton lumayan besar. Panjangnya sekitar 3 meter dan diameternya kira-kira sekitar 15 centimeter atau sebesar betis tangan orang dewasa.

Ular jenis Piton ketika melintas jalan pendakian ke puncak hutan Warkesi Raja Ampat. Foto Wim/TN

“Stop..stop..stop,” kata Mourens. Seketika itu juga kami menghentikan langkah kaki kami.

Kenapa kawan ! Tanya saya kepada Mourens yang kebetulan berjalan paling depan. “Ada ular besar Kaka,” sebut Mourens.

Dan memang benar seekor ular jenis Piton sedang terdiam menghalangi jalan pendakian kami menuju spot burung Cenderawasih yang sekiranya tinggal 150 meter tiba di puncaknya.

Ular itu perlahan-lahan diusir, dan ia pun mulai menyebrang meninggalkan jalan pendakian kami.

Kurang lebih 150 meter dari spotnya, kami sudah disambut dengan tarian dan nyanyian burung Surga itu (Red Bird of Paradise), suaranya yang khas menyejukkan hati dan membayar semua kelelahan, keletihan dan nafas yang terseok-seok.

Dua ekor burung Cenderawasih jantan. Foto Wim/TN

Setelah tiba di puncak Warkesi atau tepatnya di spot pemantauan burung endemik pulau Waigeo itu, ternyata oleh para KTH sudah membangun menara tiga lantai, sebagai tempat untuk memantau dan mengabadikan gambar buru yang dikenal dengan keindahannya itu.

Mendengar suaranya yang menggelar, saya sendiri sudah tidak sabaran untuk mengabadikan burung Cenderawasih Merah itu. Saya mengambil posisi di lantai paling atas, karena jaraknya yang dekat dengan pohon tempat bermain Cenderawasih.

Satu demi satu sekitar pukul 06.20 WIT, burung surga itu mulai keluar dari balik daun-daun yang lebat, bersiul dan menari itu ciri khasnya.

“Satu,.. dua,.. tiga,..empat. Yang ada antenanya itu jantan, yang tidak ada antenanya betina,,” Saya mulai berhitung sambil bertanya kepada Mourens, seraya membenarkan.

Sungguh di luar dugaan, ternyata kedatangan kami tepat disaat burung surga itu sedang dalam waktu untuk kawin.

“Kaka dong (kalian) beruntung, Kaka dong datang disaat Cenderawasih punya waktu kawin,” imbuh Mourens.

Memang benar, tampak sekitar tujuh ekor Cenderawasih jantan sedang menarik dan mencari perhatian sang betina (5 ekor betina) dengan cara menari dan bersiul dari satu ranting ke ranting pohon yang lain.

Menara pemantauan yang dibangun oleh kelompok tani hutan Warkesi. Foto Wim/TN

Dilansir wekipedia, Cenderawasih merah (Paradisaea rubra) adalah burung Cenderawasih endemik pulau Waigeo, berjenis berukuran sedang dengan panjang sekitar 33 cm, dari marga Paradisaea. Burung ini merupakan burung pengicau dengan warna kulit kuning dan coklat, serta berparuh kuning.

Burung jenis ini merupakan salah satu yang terkenal dan mempunyai daya tarik yang tinggi. Secara kasat mata, jenis cendrawasih ini dominan dengan warna merah terang (merah darah) pada bagian ekornya di mana juga terdapat perpaduan dengan bulu berwarna putih.

Beberapa jenis cendrawasih merah juga mempunya perpaduan warna bulu ekor dengan warna bulu kuning yang merupakan warna bulu dasar dari cendrawasih.

Bulu bagian tubuh terdiri dari dua warna yaitu ada cendrawasih merah yang mempunyai tubuh berwarna hitam dan ada yang mempunyai tubuh berwarna coklat seperti cendrawasih pada umumnya.

Sedangkan pada bagian leher yang merupakan salah satu bagian paling eksotis dari cendrawasih ini terdapat perpaduan antara hijau zamrud dengan warna kuning seperti pada cendrawasih umunya. Kemudian pada bagian ekor terdapat bulu panjang berwarna hitam seperti tali berjumlah dua buah.

Lokasi bermain Cendrawasih Merah biasanya berada pada dataran yang paling tinggi di antara tempat yang ada di sekitarnya dan tentunya dengan kondisi hutan yang sangat bagus.

Cendrawasih Merah hidup dalam kelompok, di mana mereka mencari makan dan bermain secara bersama-sama dalam kelompok. Jika ada satu burung yang terpisah dari kelompoknya, maka dia akan mengeluarkan suara untuk memanggil teman-temannya, dan dalam waktu tidak terlalu lama sekawanan burung Cendrawasih Merah akan datang menghampiri.

Aktivitas bermain dan menari biasanya dilakukan sekitar pukul 06.00 sampai 09.00 dan pukul 15.00 sampai 15.30 pada lokasi/tempat yang sama. Pada siang hari diluar waktu bermain mereka melakukan aktivitas mencari makan di luar lokasi bermainnya.

Keindahan bulu burung Cendrawasih jantan digunakan untuk menarik perhatian lawan jenisnya untuk merayu betina agar bersedia diajak kawin. Cendrawasih jantan akan memamerkan bulunya yang indah dengan melakukan tarian-tarian. Sambil bernyanyi di atas dahan atau cabang pohon, cendrawasih jantan bergoyang-goyang ke segala arah bahkan terkadang hingga tergantung terbalik bertumpu pada dahan. Cendrawasih merah adalah poligami spesies. Burung jantan memikat pasangan dengan ritual tarian yang memamerkan bulu-bulu hiasannya. Setelah populasi, burung jantan meninggalkan betina dan mulai mencari pasangan yang lain. Burung betina menetaskan dan mengasuh anak burung sendiri.

Setelah mengenal dan melihat lebih dekat bagaimana karakter dan prilaku habitat burung Cenderawasih merah, saat itu tanda waktu menunjukan pukul 08.50 WIT, satau per satu burung surga itu mulai kembali pulang ke sarangnya.

Saat itu pula kami pun pulang ke rumah kami, setelah melihat secara dekat bagaimana burung itu menunjukan karakternya dan bulu-bulunya yang mempesona.

Singkat cerita, tibalah kami di lokasi meeting poin, tempat start mendaki puncak Warkesi. Di situlah kami berempat, saya (Willem) bersama kawan saya Ernes dan kedua anggota Kelompok Tani Hutan Warkesi, Mourens dan Paskal pun berpisah.