Berita

GMNI Nilai RUU Cipta Kerja dan PKS Tidak Pro Rakyat

×

GMNI Nilai RUU Cipta Kerja dan PKS Tidak Pro Rakyat

Sebarkan artikel ini
Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Cabang Ambon, saat menggelar aksi unjuk rasa, di depan kantor DPRD Provinsi Maluku, Rabu (2/9). Foto-Rudy Sopaheluwakan/TN

TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Cabang Ambon menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibuslaw), dan Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak pro, dan merugikan rakyat.

1494
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

“Maka dari itu, kami DPC GMNI Cabang Ambon mengambil sikap menolak dengan tegas RUU Cipta Kerja atau Omnibuslaw,” kata Ketua DPC GMNI Cabang Ambon, Adi Tebwaiyanan dalam orasinya, saat menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Provinsi Maluku, Rabu (2/9).

Menurut dia, RUU Cipta Kerja akan menyengsarakan buruh, dan pekerja di tanah ail. Selain itu, RUU ini juga akan mengeksploilasi, dan menghilangkan hak-hak buruh dan pekerja.

Dikatakan, RUU Cipta Kerja adalah jalan mulus kaum capital, untuk meraup budget yang tinggi di atas kesengasaraan proletar. Bahkan, tegas Adi, RUU ini adalah produk hukum yang tidak pro terhadap rakyat, dan juga melanggar konstitusi.

“Maka berdasarkan UUD pasal 28F, ayat 3 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, maka kami DPC GMNI Cabang Ambon mewakili keresahan rakyat indonesia terhadap RUU Cipta Kerja ini,” tegas Adi.

GMNI juga mendesak DPRD Provinsi Maluku, untuk menolak dengan tegas pengesahaan RUU Cipta Kerja, dan meminta mendesak DPR-Rl untuk tidak mengesahkan RUU tersebut.

Mereka juga mempertanyakan alasan RUU PKS harus disahkan. Menurut GMNI, negara harus hadir dan memberikan jaminan, serta melindungi segenap warga negara, dan memberikan rasa aman.

“Salah satu bentuk dari jaminan negara tersebut, diejehwantakan ke dalam UU. Kemudian dalam konteks memberikan jaminan keamanan atas kekerasan seksual, sangat diperlukan juga sebuah UU yang berkualitas, serta memiliki keberpihakan yang jelas (kepada korban),” kata Adi.

Kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa, yang selalu terjadi, bahkan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari komnas perempuan, jumlah korban kekerasan seksual tahun 2019, dalam catatan tahun 2020 terdapat 431,471 kasus kekerasan yang terjadi.

Menurutnya, kekerasan seksual memiliki dampak serta efek domino bagi korban, baik itu dampak pada fisik maupun phsikis juga sosial.

“Kekerasan seksual merupakan persoalan kemanusiaan, dan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sebab kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan yang menciderai yang merenggut harkat, martabat, kehormatan, serta kemerdekaan seseorang,” tandas Adi.