“Kalau aku salah, pasti aku ini ada takut pak. Ini aku takut sedikit pun tidak pak. Satu bulu pun tidak berdiri, karena saya tidak lakukan hal itu. Terkecuali saya melakukan, mungkin saya takut. Mungkin tidak sampai hari ini saya di sini pak. Pasti bagaimana caranya, harus selesai. Tidak mungkin saya mau masuk penjara pak”.–Felix Wiliyanto, Direktur PT BCM–
TEROPONGNEWS.COM – MEMAKAI baju warna putih lengan panjang dan celana warna hitam, Felix Wiliyanto duduk di deretan kursi pengunjung ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Sorong. Masker merk Sensi menutup mulut dan hidungnya, sebagai protokol standar mencegah penyebaran Covid-19 yang harus diikuti siapapun yang datang ke pengadilan, termasuk Felix, yang hari itu menjadi pesakitan.
Felix Wiliyanto, laki-laki berusia 56 tahun ini adalah Direktur PT Cipta Bangun Mandiri (BCM) Kota Sorong. Hari Kamis, 23 Juli 2020, adalah jadwal dirinya menjalani persidangan perdana di Pengadilan Negeri Sorong, dengan agenda mendengarkan dakwaan jaksa.
Sang direktur yang lahir di Ujung Pandang pada 20 Juli 1964 silam, menjadi pesakitan dalam perkara dugaan pembalakan liar hutan di kawasan konservasi Kampung Kalwal, Distrik Salawati Barat, Kabupaten Raja Ampat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Papua Barat, Wahyudi Eko Husodo SH, MH, menerbitkan surat dakwaan terhadap Felix Wiliyanto, tepat di hari ulang tahunnya.
Felix didakwa melanggar Pasal 83 ayat (1) huruf b juncto Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dia di dakwa karena terlibat bersama Haji Nurdin dan Sudirman, mengangkut kayu jenis merbau berbagai ukuran dengan Kapal Layar Motor Sumber Harapan III, tanpa dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
Dalam persidangan Nurdin dan Sudirman yang telah berlangsung secara terpisah, keduanya divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong yang diketuai William Marco Erari SH. Petikan putusan ini bernomor 76/Pid.Sus/2020/PN.Son, tertanggal 16 Juli 2020.
H Nurdin menjadi terdakwa, karena saat ditangkap petugas Gakkum KLHK, mengaku sebagai pemilik kayu. Sedangkan Sudirman adalah nahkoda kapal yang memuat kayu itu. Tetapi dalam dakwaan jaksa Wahyudi terhadap Felix, disebutkan peran Nurdin yang sebatas penyedia jasa.
Pada 20 Januari 2020, Nurdin mendatangi Felix di PT BCM, untuk menawarkan jasa mengolah kayu stock opname yang ada di kampung Kalwal, dan mengangkutnya ke lokasi industri BCM di Kampung Dulbatan, Distrik Salawati Selatan, Kabupaten Sorong.
Nurdin dan Felix bersepakat upah sebesar Rp 3.8 juta/m3, dan telah dibayar uang muka untuk operasional Rp 50 juta dan panjar pinjaman kepada Nurdin sebesar Rp 113,6 juta. Felix juga memberikan uang panjar sewa kapal sebesar Rp 20 juta kepada Sudirman.
Tapi pekerjaan itu kandas di perairan Kampung Kalwal, setelah Tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum wilayah Maluku Papua, menangkap keduanya pada 3 Februari 2020 sekitar pukul 13.30 WIT.
Sidang pembacaan dakwaan Felix hanya berlangsung singkat. Hakim tunggal Donald F. Sopacua SH yang baru beberapa menit masuk Ruang Sidang Cakra, sudah keluar lagi. Donald adalah hakim yang memutus persidangan praperadilan yang diajukan Felix Wilianto terhadap Tim Balai Gakkum Wilayah Maluku Papua, pada tahun 2018. Sidang itu dimenangkan Felix.
“Majelis hakim belum lengkap, karena masih ada kegiatan lain, jadi sidangnya ditunda,” kata Andi Tenri Muri, salah seorang anggota tim PH Felix.
Hakim Donald, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Tim Penasehat Hukum (PH) Felix, sepakat menunda pelaksanaan sidang perdana itu.
Jejak Kayu BCM
Sesaat sebelum mengikuti persidangan, Felix sempat menjawab sejumlah pertanyaan jurnalis Teropongnews. Katanya, sangkaan para penyidik Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) Wilayah Maluku Papua ini salah alamat. Sebab, 103,434 m3 kayu merbau yang menjadi barang bukti dalam perkara ini, adalah kayu resmi yang dilengkapi berdokumen.
“Kalau aku salah, pasti aku ini ada takut pak. Ini aku takut sedikit pun tidak pak. Satu bulu pun tidak berdiri, karena saya tidak lakukan hal itu. Terkecuali saya melakukan, mungkin saya takut. Mungkin tidak sampai hari ini saya di sini pak. Pasti bagaimana caranya, harus selesai. Tidak mungkin saya mau masuk penjara pak,” kata Felix.
Ingatannya melayang jauh ke belakang, untuk menjelaskan kejadian tahun 2005 sebagai permulaan PT BCM mendapatkan kayu-kayu itu. Awalnya, dalam program seratus hari pemerintahan Presiden SBY, gabungan aparat penegak hukum melakukan Operasi Hutan Lestari (OPH) II. Hasilnya, 221.211,92 m3 kayu illegal disita, termasuk milik masyarakat adat di Kampung Kalwal, Distrik Salawati Selatan, Kabupaten Raja Ampat.
Saat itu, status kayu ini disebut sebagai kayu Non Police Line (NPL), sebelum akhirnya kebijakan status ini dihapus pada tahun 2019. Dengan mempertimbangkan nilai kayu yang terus menyusut, Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat MS Ka’ban, membuat kesepakatan bersama Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi. Kesepakatan bernomor PKS.2/Menhut-VI/2009 dan nomor 522.2./277.GPB/2009 ini, ditandatangani di Jakarta pada 17 April 2009.
Pada poin 1 dari 5 poin kesepakatan, Menteri Kehutanan menyerahkan penyelesaian pemanfaatan kayu NPL itu kepada Gubernur Papua Barat. Pemanfaatan kayu ini, diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dengan diterbitkannya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) Dinas Kehutanan.
Penyelesaian pemanfaatan kayu NPL ini, paling lambat 5 bulan sejak Kesepakatan Bersama ini ditandatangani, dengan melibatkan Bupati atau Walikota serta Kepala Dinas yang diserahi tanggungjawab di bidang kehutanan.
Gubernur kemudian menyerahkan pemanfaatan kayu itu ke masyarakat sebagai pemilik, agar menjualnya melalui Koperasi Masyarakat (Kopermas). Siapa yang mau membeli kayu itu, harus memiliki fasilitas alat berat dan kemampuan financial yang cukup.
PT BCM yang saat itu mengajukan permohonan, mendapatkan rekomendasi Gubernur. Perusahaan ini bersama masyarakat pemilik kayu, kemudian menginventarisir jumlah kayu yang berserak di dalam hutan itu, dan mendapati jumlah kayu sebanyak 9.587,47m3.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kayu oleh perusahaan dan masyarakat pemilik, Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong menurunkan tim verifikasi dan uji petik pengukuran, dengan melibatkan kepolisian, kejaksaan serta petugas Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP). “Dari situ, terbitlah LPH dari Dinas Kehutanan untuk kayu sebanyak 9.587,47 m3,” kata Felix.
Tuntas verifikasi dan uji petik, Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong menerbitkan Surat Perintah Pembayaran (SPP) Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDHDR) kepada Kopermas Marthen Kalapain sebagai pemilik kayu.
SPP PSDHDR-nya, pertama diterbitkan pada tanggal 18 Maret 2013 dengan volume kayu merbau 5.563,43 m3 dan nilai PSDH yang harus dibayar sebesar Rp 834.514.500 dan DR sebesar 72.324,59 US Dolar. Kewajiban kepada Negara ini, dibayar PT BCM melalui transfer ke rekening Bank Mandiri tertanggal 18 dan 26 Maret 2013
Sedang SPP PSDHDR kedua, diterbitkan pada tanggal 23 Desember 2013, dengan volume 4.024.04 m3 senilai Rp 603.606.000 (PSDH) dan 52.312,52 US Dolar (DR), dibayar PT BCM dengan transfer ke rekening Bank Mandiri pada tanggal 03 Januari 2014.
“Itu saya bayar dua kali. Semua kewajiban saya ke Negara sudah saya bayar lunas. Semua saya ikuti prosesnya, sesuai petunjuk teknis dinas kehutanan. Sekarang barang itu tinggal saya angkut, saya uangkan semuanya. Jadi saya bukan pelaku illegal,” kata Felix.
Bukti pelunasan itu yang kemudian menjadi dasar penerbitan Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB) oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong. Secara bertahap, PT BCM memindahkan kayu yang telah di stock opname itu dari Kampung Kalwal ke industri PT BCM di Kampung Dulbatan, Distrik Salawati Selatan, Kabupaten Sorong.
Tetapi pada 11 September 2017, Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) PT BCM ini pernah dibekukan oleh PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo), karena dari hasil audit surveillance Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), perusahaan ini tidak dapat menunjukkan dokumen Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) dan Laporan Mutasi Kayu Olahan (LMKO).
Surat pembekuan yang ditandatangani Yerry Taizar, Kepal SBU Serco PT Sucofindo ini, berlaku sejak 11 September hingga 10 Desember 2017. Sertifikasi akan aktif kembali, apabila perusahaan dapat memenuhi LMKB dan LMKO, paling lambat satu bulan sebelum masa penangguhan berakhir.
“Dan dokumen itu sudah kami penuhi,” ujar Felix.
Legalitas itu, kata Felix, juga dibuktikan surat Klarifikasi Penyampaian Stok Kayu Bulat dan Kayu Olahan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IU-IPHHK) dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, nomor 522.2/231/Dishut-PB/3/2018 tertanggal 29 Maret 2018.
Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat, Ir. Runaweri F.H dijelaskan, kayu-kayu yang berada pada PT BCM adalah benar kayu NPL sisa Operasi Hutan Lestari yang telah mendapatkan Izin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) pada tahun 2013. Kayu itu secara legal menjadi stock kayu olahan milik PT BCM, serta telah di upload ke dalam SI-PUHH Online.
Meski kebijakan pemanfaatan kayu bulat NPL telah dilarang sejak 2016, untuk kayu yang sudah dimanfaatkan sebelumnya dan menjadi stok kayu olahan di PT BCM, dianggap telah memenuhi syarat untuk diperdagangkan.
Saat ini, dari total kayu yang sudah dibeli itu, di Kampung Kalwal masih tersisa sekitar 2.715,82m2 yang belum digeser ke industri BCM di Dulbatan. Jumlah ini termasuk 103.434m3 kayu yang disita Gakkum KLHK pada 3 Februari 2020 di perairan Kampung Kalwal, dan dijadikan barang bukti dalam persidangan. **