LP Untuk Media Langgar MoU dan UU, Moh Iqbal : Pelapor Tidak Gunakan Regulasi Hukum Sesuai Undang-Undang

Sorong, TN- Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Masyarakat & Pers Papua Barat (LBH KEMAS-PB) menyayangkan dan prihatin atas adanya laporan polisi (LP) seorang oknum pejabat terhadap salah satu media daring (online) di Kota Sorong yaitu honaipapua.com di Polres Sorong Kota atas dugaan pelanggaran Undang-Undang (UU) No.19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ketua LBH KEMAS-PB, Moh Iqbal Muhiddin SH mengatakan, langkah yang dilakukan pihak pelapor adalah salah alamat dan sudah mengancam kemerdekaan pers. Sebab, persoalan yang terjadi bukanlah delik pidana melainkan murni delik pers atau sengketa pers.

Sehingga dikatakan, dalam penyelesaian delik pers harus mengutamakan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers yang bersifat lex spesialis (bersifat khusus).
Pihak pelapor, sebut dia, memiliki hak jawab atas keberatannya terkait pemberitaan. Jika masih dirasa kurang maka dapat melayangkan pengaduan ke Dewan Pers (DP) bukannya membuat LP.

“Salah satu fungsi hak jawab untuk menghargai martabat serta kehormatan pihak yang merasa dirugikan akibat pem beritaan pers. Jika hak jawab tidak diindahkan media, maka ada ketentuan pidana denda Rp500 juta sebagaimana ditegaskan UU Pers,” jelasnya.

Media dan wartawan, sebutnya, merupakan pelaksana dari UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Terkait hal itu, maka dengan mengacu pada pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang maka tidak dipidana, sehingga media dan wartawan terkait tugas dan profesinya tidak dapat dijerat pidana UU ITE.

“LP terhadap media ini jelas melanggar Momerandum of Understanding (MoU) nota kesepahaman Dewan Pers dan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017, di situ semua sudah diatur mengenai penanganan sengketa pers di tingkat Kepolisian. Dugaan kami, pelapor dan oknum petugas kurang memahami subtansi dari MoU serta prosedur penyelesaian sengketa pers. Ini bisa saja dikarenakan kurang maksimalnya sosialisasi Dewan Pers ke daerah-daerah,” ujarnya.

“Petugas kurang paham sehingga tidak berikan arahan atau penjelasan tentang prosedur penyelesaian sengketa pers. Sebagaimana pasal 4 ayat 2 MoU Dewan Pers-Polri menjelaskan jika Kepolisian menerima pengaduan mengenai sengketa pers maka akan mengarahkan serta menjelaskan kepada pengadu atau yang bersengketa untuk melakukan langkah bertahap dan berjenjang mulai dari hak jawab, hak koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers, kemudian pasal 4 ayat 1 menyebutkan Dewan Pers-Polri berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam menjalankan pelaksanaan tugas pers sesuai perundang-undangan,” lanjut papar Moh Iqal.

Selain institusi Polri, sambung dia, ada juga MoU Dewan Pers dengan beberapa lembaga negara lainnya, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor : 02/DP/PKS/IV/2019 tentang Sinergi Penataan Media Siber Dalam Rangka Penegakkan Pers yang bertujuan jika timbul sengketa pers maka tidak begitu saja dijerat dengan UU ITE, hal itu demi menjaga kemerdekaan pers, terkhusus media siber atau berbasis online.

Advokat muda yang pernah berprofesi sebagai jurnalis di Sorong beberapa tahun lalu ini menambahkan, dasar hukum lainnya yang dapat jadi acuan dalam menyelesaikan persoalan pers adalah Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1608/K.Pid/2005 yang menyatakan bahwa UU Pers disamakan dengan primat privilege, artinya harus didahulukan dari aturan pidana  lainnya. Secara umum bahwa sifat lex spesialisUU Pers mengenyampingkan KUHP dan KUHPerdata.

“Sesuai amanah undang-undang maka yang berwenang menentukan suatu pemberitaan masuk adalah ranah pidana atau perdata jika terjadi sengketa pers adalah Dewan Pers. Sehingga apa yang dialami honaipapua.com kami nilai tidak prosedural, hal serupa bisa saja terjadi ke media atau wartawan lain di Sorong. Tapi kami yakin penyidik di Polres Sorong Kota akan profesional terkait persoalan ini dengan tetap mengacu pada peraturan perundangan-undangan termasuk MoU Dewan Pers dan Polri,” pungkasnya.