Asrul Sani: Mantan Sekjen MA Ditangkap, Jadikan Pintu Masuk Pemberantasan Mafia Peradilan

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Foto Ist.

Jakarta, TN – Komisi III DPR RI mengapresiasi kinerja jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil menangkap mantan Sekjen Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Senin (01/06/2020) malam. Bahkan, Nurhadi yang buron 5 bulan ini ditangkap bersama Rezky Herbiyono, menantunya.

Arsul Sani, anggota Komisi III DPR RI menyatakan, KPK perlu diacungi jempol atas kerja kerasnya dalam penangkapan ini. Karena, kasus Nurhadi ini termasuk kasus high profile. Hal ini karena yang bersangkutan dipersepsikan sebagai ‘orang kuat’ yang sulit disentuh penegak hukum terutama sewaktu masih menjadi pejabat utama Mahkamah Agung (MA).

“Apalagi untuk memeriksa anggota Brimob yang menjadi pengawal di rumah Nurhadi saja KPK kesulitan,” kata Arsul kepada para awak media, Selasa (02/06).
Namun demikian, tukas Arsul, Komisi Hukum (Komisi III) DPR RI meminta agar KPK tidak berhenti pada kasus yang menyebabkan Nurhadi menjadi tersangka saja.

“Kasus yang saat ini disidik hendaknya menjadi pintu masuk untuk menyelidiki kasus-kasus suap di dunia peradilan yang selama ini dipersepsikan masyarakat sebagai praktek mafia peradilan. Meski bisa jadi istilah mafia ini tidak pas karena masih harus dibuktikan lebih lanjut,” tegas Sekjen PPP tersebut.

Menurut Arsul, jika KPK berhasil mengembangkan kasus Nurhadi ini maka ini akan membantu dunia peradilan kita untuk mendapatkan peningkatan kepercayaan bukan saja dari masyarakat, tetapi juga dari dunia bisnis dan investor termasuk investor asing.

Lebih lanjut Arsul mengatakan, ikhtiar-ikhtiar MA dan lembaga peradilan jajarannya di bidang pelayanan publik berupa kemudahan berproses perkara dari tingkat pertama sampai dengan di tingkat MA akan mendatangkan apresiasi yang lebih besar ketika praktik-praktik suap bisa dibersihkan dari dunia peradilan.

“Nah, karena itu tidak heran jika banyak elemen masyarakat juga berharap KPK tidak berhenti dalam kasus Nurhadi ini pada dugaan suap yang menyebabkannya menjadi tersangka,” tutur Wakil Ketua MPR RI ini.

Untuk itu, Arsul menyarankan, kepada KPK apabila Nurhadi mau bekerja sama, bersifat kooperatif, untuk membongkar kasus-kasus serupa mafia peradilan yang selama ini diyakini banyak elemen masyarakat, maka ia layak dipertimbangkan untuk mendapat keringanan tuntutan hukum.

“Kita semua berharap kepercayaan baik dari lingkungan dalam negeri maupun kalangan dunia luar terhadap peradilan kita terus meningkat, dan salah satunya dengan memastikan praktek suap tidak ada lagi dalam proses peradilan kita,” ucap legislator asal Dapil Jateng 10 tersebut mengakhiri keterangannya.

Terima Suap & Gratifikasi Rp 46 M

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi KPK, Nawawi Pomolango juga memberikan apresiasi kepada rekan-rekan penyidik serta unit terkait lainnya yang terus bekerja di tengah pandemic Covid-19. Alhasil atas etos kerja yang tak mengenal lelah dan waktu itu berhasil menangkap Nurhadi, buronan KPK tersebut di wilayah Jakarta Selatan.

Mantan Sekjen MA, Nurhadi yang ditangkap KPK. Foto Ist.

Seperti diketahui sebelumnya, tepatnya pada 16 Desember 2019, KPK sudah menetapkan tersangka terhadap mantan Sekjen Mahkamah Agung (MA), Nurhadi (NUR) dan Rezky Hebiyono (RHE) menantunya terkait penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46 milyar untuk mengkondisikan sejumlah perkara di Mahkamah Agung. KPK juga menetapkan Direktur Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hendra Soenjoto (HS) sebagai tersangka.

Penerimaan suap dan gratifikikasi tersebut terkait perkara perdata antara PT MIT melawan Kawasan Berikar Nusantara (KBN) Persero pata tahun 2010 silam.

Kemudian pada tahun 2015, RHS menerima 3 lembar cek atas nama PT MIT dari tersangka Hendra untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) di MA atas putusan Kasasi No : 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero) dan dalam proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.

Guna memuluskan pengurusan perkara perdata tersebut, tersangka Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT MIT dan 3 lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar. Namun apes, dalam perkara ini PT MIT kalah dan merasa pengurusan perkaranya gagal maka tersangka Hiendra meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikannya.

Perkara berikutnya yakni pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT pada tahun 2015 yang mana Hendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT. Alhasil, perkara dimenangkan Hendra mulai dari tingkat pertama hingga banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada Januari 2016.

Ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada periode Juli 2015 – Januari 2016, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui tersangka RH dengan total Rp 33,1 milyar. Transaksi itu dilakukan 45 kali.

Transaksi yang dipecah hingga 45 kali diduga kuat agar tidak mencurugakan karena nilai trabsaksinya cukup besar. Bahkan, terjadi beberapa transaksi yang dilakukan melalui ekenig staf HS. Sedang tujuannya sudah jelas untuk memenangkan Jiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT.

Perkara berikutnya adalah penerimaan gratifikasi terkait perkara di pengadilan. Bahwasanya, tersangka NUR melalui RHE menantunya, antara Oktober 2014 hingga Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang sekitar Rp 12,9 milyar untuk penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di Mahkamah Agung serta permohonan perwalian. Sedang penerimaan gratifikasi tersebut dalam kurun waktu 30 hari kerja seharusnya NUR, mantan Sekjen MA ini melaporkannya ke KPK. Akhirnya, niat busuk pejabat dan menantunya ini terkuak sudah.