TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Menikisik fenomena menurunnya partisipasi masyarakat dalam kontetasi Pilkada Jakarta 2024 yang hanya mencapai 58 persen. Dibandingkan lima tahun lalu, presentasi pemilih mencapai 70 persen.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, hal ini membuktikan menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia, khususnya Kota Jakarta. Lantas diperlukan langkah konkret dan serius untuk menanggapi fenomena tersebut.
“Tingkat partisipasi politik sangat penting. Hidup matinya demokrasi sangat ditentukan oleh prasyarat partisipasi politik,” kata Pangi saat dihubungi di Jakarta dikutip, Sabtu (7/12/2024).
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research ini mengungkapkan, KPU sebagai penyelenggara pemilu harus melakukan evaluasi terkait voter turnout atau tingkat kehadiran pemilih. Evaluasi juga harus dilakukan pemerintah dan partai politik yang mempunyai hak dan kekuasaan dalam menentukan kandidat.
“Salah satu penyebab rendahnya partisipasi ini adalah ketidak dekatannya masyarakat dengan calon kepala daerah yang maju,” ungkapnya.
Pangi juga menyampaikan faktor lain yang membuat rendahnya partisipasi pemilih. Menurutnya, banyak masyarakat yang merasa tidak memiliki hubungan emosional atau keterwakilan dengan kandidat yang ada.
“Apakah karena tidak dekat dan merasa tidak merasa dekat sama calon kepala daerah sehingga mereka memilih golput?,” ucap Pangi.
“Atau calon kepala daerah yang maju tidak sesuai dengan representasi politik mereka, artinya tidak ada pilihan alternatif,” sambungnya.
Pangi menganggap, proses seleksi calon kepala daerah masih didominasi oleh elite politik. Hasilnya, muncul kandidat yang sering kali tidak aspiratif, termasuk kurang mendengarkan aspirasi dari masyarakat.
“Calon kepala daerah dipilih atau diseleksi elite sehingga tidak aspiratif,” tegasnya.
Golput sendiri memiliki berbagai bentuk, seperti golput administratif, golput teknis, dan golput ideologis.
Golput administratif terjadi ketika pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT). Menurut Pangi, masalah ini menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan validitas data pemilih.
Di sisi lain, golput teknis disebabkan oleh hambatan teknis seperti sulitnya akses ke tempat pemungutan suara (TPS) atau kendala lainnya.
Sementara itu, golput ideologis muncul karena pemilih secara sadar memilih untuk tidak mendukung kandidat mana pun sebagai bentuk protes terhadap sistem atau kandidat yang tersedia.
Penurunan partisipasi ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, termasuk pemerintah, KPU, dan partai politik.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta menegaskan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 hanya mencapai 58 persen.
“Hasil rekapitulasi dari masing-masing kota ini sudah selesai dan kami mencatat tingkat partisipasi di DKI Jakarta ini mencapai 58 persen,” kata Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah.***