Oleh : Farrel Chandira Maulana
Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar di tengah masyarakat. Namun, stigma terhadap gangguan mental masih menjadi masalah serius yang menghambat banyak individu untuk mencari bantuan. Stigma ini bukan hanya sekadar prasangka negatif, tetapi juga bentuk diskriminasi yang dapat memperburuk kondisi mental seseorang. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), hampir 75% penderita gangguan mental di negara berkembang tidak mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan, salah satunya karena takut akan diskriminasi. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori labelling yang dikembangkan oleh Howard Becker, di mana pelabelan negatif dari masyarakat dapat memperburuk kondisi individu yang dilabeli dan membuat mereka merasa terpinggirkan. Hal ini menunjukkan bahwa stigma masih menjadi penghalang utama bagi individu yang memerlukan dukungan psikologis.
Stigma terhadap gangguan mental muncul dari berbagai faktor, seperti ketidaktahuan, stereotip, dan budaya yang cenderung melihat gangguan mental sebagai tanda kelemahan. Di Indonesia, istilah seperti “gila” sering digunakan secara sembarangan untuk merujuk pada seseorang dengan gangguan mental, yang semakin memperkuat citra negatif ini. Media juga memainkan peran besar dalam membentuk persepsi ini. Representasi gangguan mental yang sering dikaitkan dengan kekerasan atau perilaku berbahaya membuat masyarakat merasa takut atau menghindari individu yang sebenarnya hanya membutuhkan dukungan. Ketidakpahaman ini menciptakan siklus stigma yang sulit diputus.
Dampak stigma tidak hanya dirasakan oleh individu dengan gangguan mental, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Individu yang merasa terstigma cenderung menyembunyikan kondisi mereka, menghindari perawatan, dan bahkan mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Kondisi ini memperburuk gejala mereka, meningkatkan risiko bunuh diri, dan menurunkan produktivitas. Sebuah survei oleh Kementerian Kesehatan RI pada 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 60% penderita gangguan mental di Indonesia enggan berkonsultasi karena takut dinilai negatif oleh masyarakat atau keluarga mereka. Padahal, tanpa perawatan yang tepat, gangguan mental dapat memiliki dampak jangka panjang yang signifikan, tidak hanya pada individu, tetapi juga pada keluarga dan komunitas mereka.
Untuk menghapus stigma ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan edukasi publik. Banyak orang memiliki pandangan keliru tentang gangguan mental karena kurangnya informasi yang akurat. Kampanye kesadaran yang berbasis data ilmiah dan pengalaman nyata penderita dapat membantu masyarakat memahami bahwa gangguan mental adalah kondisi medis yang dapat diobati, bukan kelemahan karakter. Pendidikan ini harus dimulai sejak dini, melalui sekolah, komunitas, dan media, sehingga generasi berikutnya tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya kesehatan mental.
Selain edukasi, penting juga untuk menciptakan lingkungan yang mendukung inklusivitas dan empati. Lingkungan yang mendukung dapat membantu individu dengan gangguan mental merasa diterima dan tidak dihakimi. Kebijakan publik juga perlu mendukung upaya ini, misalnya dengan menyediakan akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas. Organisasi, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dapat berkolaborasi untuk menciptakan program-program yang mendorong penerimaan masyarakat terhadap gangguan mental.
Menghapus stigma terhadap gangguan mental adalah tanggung jawab bersama. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan inklusif. Dengan pemahaman yang lebih baik, empati yang tulus, dan kebijakan yang mendukung, kita dapat membantu mereka yang berjuang dengan gangguan mental untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tidak ada lagi tempat bagi stigma dalam dunia yang semakin sadar akan pentingnya kesehatan mental.