Opini

Dampak Penerapan PPN 12% terhadap Ukhuwah Islamiyah di Indonesia

×

Dampak Penerapan PPN 12% terhadap Ukhuwah Islamiyah di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Institue Tazkia)
Example 468x60

Pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam kebijakan fiskal suatu negara. Pajak digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Namun, kebijakan perubahan tarif PPN dari 10% menjadi 12% telah memunculkan berbagai reaksi di masyarakat.
Kebijakan ini diberlakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan yang lebih merata dan berkelanjutan. Namun, peningkatan tarif ini tidak terlepas dari dampak terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Selain itu, kebijakan ini juga menimbulkan diskusi mengenai bagaimana dampaknya terhadap aspek sosial dan budaya, khususnya ukhuwah Islamiyah.

Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim adalah konsep yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga hubungan harmonis dan solidaritas di antara umat Islam. Penerapan kebijakan ekonomi, termasuk perpajakan, yang berpotensi menimbulkan beban ekonomi tambahan, dapat memengaruhi dinamika sosial dan hubungan persaudaraan di masyarakat Muslim.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis secara mendalam dampak penerapan PPN 12% terhadap ukhuwah Islamiyah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai dampak sosial dari kebijakan tersebut dan mengusulkan langkah-langkah mitigasi yang dapat dilakukan agar ukhuwah Islamiyah tetap terjaga di tengah dinamika kebijakan ekonomi yang berkembang.

Example 300x600

Sejarah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Polemik Tarif 12%
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pertama kali diperkenalkan di Indonesia melalui Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PPN menggantikan sistem pajak penjualan yang sebelumnya berlaku. Penerapan PPN didasarkan pada konsep pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, dengan tujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien, modern, dan mudah diawasi.
Awalnya, tarif PPN ditetapkan sebesar 10%, yang dianggap cukup moderat dan tidak terlalu membebani konsumen. Selama beberapa dekade, tarif ini tidak mengalami perubahan signifikan, meskipun Indonesia menghadapi berbagai tantangan ekonomi, termasuk krisis moneter pada akhir 1990-an. Stabilitas tarif PPN ini memberikan kepastian hukum dan ekonomi bagi pelaku usaha dan masyarakat.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menghadapi tekanan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung program pembangunan, seperti infrastruktur, pendidikan, dan jaminan sosial. Salah satu langkah yang diambil adalah melakukan reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021. Dalam undang-undang ini, tarif PPN direncanakan naik secara bertahap, dimulai dari 11% pada tahun 2022 dan kemudian menjadi 12%.

Penerapan tarif 12% memicu polemik di masyarakat. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa kenaikan tarif ini diperlukan untuk memperkuat basis pajak, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam. Di sisi lain, banyak pihak mengkhawatirkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Kenaikan tarif PPN dikhawatirkan akan memicu inflasi, meningkatkan harga kebutuhan pokok, dan memperburuk kesenjangan ekonomi.
Polemik ini semakin kompleks karena PPN dianggap sebagai pajak regresif, di mana masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menanggung beban yang lebih besar secara proporsional dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang keadilan sosial dan dampak kebijakan ini terhadap hubungan sosial di masyarakat, khususnya ukhuwah Islamiyah.
Sebagai respons terhadap kritik ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengecualian dan penurunan tarif PPN untuk barang dan jasa tertentu yang dianggap esensial, seperti bahan makanan pokok, pendidikan, dan layanan kesehatan. Namun, langkah ini belum sepenuhnya meredakan kekhawatiran masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk memahami dampak kenaikan tarif PPN terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dinamika sosial dan nilai-nilai budaya di Indonesia.

Asal Muasal Penerapan PPN 12%
Penerapan PPN 12% berakar dari kebutuhan negara untuk meningkatkan penerimaan pajak guna menopang anggaran pembangunan nasional. Pada awalnya, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 10% melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Selama beberapa dekade, tarif ini relatif stabil, namun tekanan ekonomi global, kebutuhan anggaran yang semakin besar, serta rendahnya rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi alasan pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan.
Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021, pemerintah secara bertahap mulai menerapkan kenaikan tarif PPN. Kebijakan ini sejalan dengan langkah untuk memperluas basis pajak, mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam, dan memastikan keberlanjutan fiskal. Peningkatan menjadi 12% diharapkan dapat meningkatkan kontribusi sektor pajak terhadap pendapatan negara, terutama untuk mendanai program-program strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Namun, penerapan tarif baru ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, khususnya karena dampaknya terhadap harga barang dan jasa. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah paling rentan terhadap kenaikan harga akibat kenaikan PPN, yang dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan sosial. Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa reformasi ini diperlukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berdaya saing internasional.
Dengan latar belakang ini, penerapan PPN 12% tidak hanya merupakan langkah teknis dalam kebijakan fiskal, tetapi juga mencerminkan upaya pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan sosial. Tantangan utama adalah bagaimana kebijakan ini dapat diterapkan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok rentan, serta menjaga nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas di tengah masyarakat.(Maisyarah Syahar et al., 2024)

Hukum Islam tentang Pajak (PPN) di Indonesia
Dalam konteks hukum Islam, perpajakan tidak memiliki landasan yang secara langsung disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Namun, Islam mengenal konsep kewajiban finansial seperti zakat, sedekah, dan jizyah sebagai bentuk kontribusi umat untuk kesejahteraan bersama. Pajak, termasuk PPN, dapat dianalogikan sebagai bentuk ijtihad dalam sistem pemerintahan modern untuk mendukung pembangunan dan pelayanan masyarakat secara umum.(4648-Article Text-14384-2-10-20240708, n.d.)

Prinsip utama dalam Islam yang dapat diterapkan pada sistem perpajakan adalah:
1. Keadilan dan Keseimbangan (Al-Adl wa Al-Mizan) Pajak harus diterapkan secara adil tanpa memberatkan kelompok tertentu, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Keadilan ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya keadilan sosial dalam setiap aspek kehidupan.
2. Kemanfaatan (Maslahah) Pajak harus digunakan untuk kemaslahatan umum, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Dalam konteks ini, PPN dapat dibenarkan selama hasilnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
3. Larangan Membebani Secara Berlebihan (La Darar wa La Dirar) Penerapan pajak tidak boleh membebani masyarakat secara berlebihan hingga menimbulkan kesulitan hidup. Peningkatan tarif PPN harus diimbangi dengan langkah-langkah perlindungan bagi kelompok rentan.
Dalam pandangan ulama kontemporer, penerapan pajak, termasuk PPN, diperbolehkan selama memenuhi tiga syarat utama:
• Tujuan yang Jelas: Pajak harus digunakan untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak dan mendukung kesejahteraan masyarakat.
• Tidak Ada Penyalahgunaan: Dana yang dipungut tidak boleh disalahgunakan atau digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik.
• Proporsional dan Transparan: Pajak harus dikenakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing individu atau kelompok, serta dikelola secara transparan.
Namun, kritik terhadap penerapan PPN di Indonesia adalah sifatnya yang regresif, yang dapat membebani masyarakat miskin secara tidak proporsional. Oleh karena itu, untuk memenuhi prinsip keadilan dalam Islam, pemerintah harus memberikan subsidi atau pengecualian kepada kelompok rentan dan memastikan bahwa hasil pajak digunakan secara optimal untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Tinjauan Kebijakan PPN 12%

PPN merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa. Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% dilakukan dengan tujuan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan. Namun, peningkatan tarif ini berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya dapat berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Perspektif Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, kebijakan fiskal harus mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesejahteraan umat. Peningkatan PPN sebesar 12% berpotensi memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah, yang bertentangan dengan prinsip keadilan distributif dalam Islam. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar, sehingga memengaruhi semangat gotong-royong dan solidaritas antarumat Muslim.(Dampak Kenaikan Gas Lpg & Hal, 2022)
Dampak terhadap Ukhuwah Islamiyah
1. Peningkatan Beban Ekonomi dan Solidaritas Sosial Kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan harga kebutuhan pokok, sehingga masyarakat miskin semakin tertekan. Hal ini dapat mengurangi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti zakat, sedekah, dan wakaf, yang merupakan pilar penting ukhuwah Islamiyah.(Latifah et al., 2022)
2. Pergeseran Pola Konsumsi Dampak lain dari kenaikan PPN adalah pergeseran pola konsumsi masyarakat ke barang-barang yang lebih murah atau nonformal. Hal ini dapat memengaruhi interaksi sosial di pasar-pasar tradisional, yang sering kali menjadi pusat hubungan sosial dan ukhuwah di kalangan umat Islam.(Kharisma et al., n.d.)
3. Potensi Konflik Sosial Ketimpangan ekonomi akibat kenaikan PPN dapat memicu rasa ketidakadilan dan memperburuk hubungan antarindividu maupun antar kelompok dalam masyarakat Muslim. Hal ini dapat melemahkan persaudaraan dan menimbulkan potensi konflik.

Upaya Memitigasi Dampak Negatif
1. Kebijakan Pengecualian Barang dan Jasa Esensial Pemerintah perlu memberikan pengecualian atau tarif PPN yang lebih rendah untuk barang dan jasa esensial yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat.
2. Penguatan Peran Zakat dan Sedekah Institusi keagamaan dan pemerintah dapat bekerja sama untuk mengoptimalkan distribusi zakat, infak, dan sedekah sebagai penyeimbang dampak ekonomi dari kebijakan ini.(Latifah et al., 2022)
3. Edukasi dan Sosialisasi Pemerintah harus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat jangka panjang dari kebijakan perpajakan ini, sekaligus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana pajak.

4. Inisiatif Kewirausahaan Syariah Mendorong pengembangan usaha kecil berbasis syariah yang dapat membantu masyarakat mengatasi dampak kenaikan harga akibat PPN.

Ayat Qur’an dan Ayat Kauni tentang Pemberdayaan Ekonomi Umat Ayat Qur’an tentang Pemberdayaan Ekonomi Umat:
1. Surah Al-Baqarah (2:261): “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” Ayat ini menekankan pentingnya berbagi dan kontribusi ekonomi melalui zakat, infak, dan sedekah yang dapat memperkuat solidaritas umat dan pemberdayaan ekonomi.
2. Surah At-Taubah (9:60): “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Zakat adalah instrumen utama dalam sistem ekonomi Islam untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial-ekonomi.
3. Surah Al-Isra (17:26-27): “Berikanlah haknya kepada kerabat dekat, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” Ayat ini mendorong penggunaan harta secara bijak untuk membantu sesama dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ayat Kauni terkait Pemberdayaan Ekonomi Umat:
1. Prinsip Keberlanjutan Alam (Eco-Sustainability): Islam mendorong pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana dan tidak merusak lingkungan. Dalam konteks ekonomi, ini berarti memanfaatkan hasil bumi untuk kesejahteraan bersama tanpa eksploitasi berlebihan. “Dia yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
2. Siklus Kehidupan dan Rezeki: Allah menciptakan siklus alam yang memberikan rezeki kepada manusia melalui hujan, tumbuhan, dan hewan, sehingga manusia diperintahkan untuk mengelolanya dengan baik untuk kesejahteraan semua makhluk. “Dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu dengan air itu Kami tumbuhkan segala macam tumbuh-tumbuhan. Maka, dari tumbuh-tumbuhan itu Kami keluarkan tanaman yang menghijau, Kami keluarkan butir yang banyak…” (QS. Al-An’am: 99)

Aplikasi Praktis dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat:
• Optimalisasi Zakat, Infak, dan Sedekah: Menggunakan zakat untuk mendukung program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas seperti pelatihan kerja dan pemberian modal usaha.
• Pendekatan Berbasis Lingkungan: Mengintegrasikan keberlanjutan dalam kegiatan ekonomi, seperti praktik pertanian organik dan konservasi air untuk mendukung masyarakat miskin.
• Kolaborasi dengan Institusi Keagamaan: Memperkuat peran masjid dan lembaga zakat sebagai pusat pengelolaan ekonomi berbasis komunitas.(Maisyarah Syahar et al., 2024)

Kesimpulan
Penerapan PPN sebesar 12% memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi sosial- ekonomi masyarakat, termasuk pada ukhuwah Islamiyah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengkaji kebijakan ini secara komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk ulama dan institusi keagamaan, untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak mengorbankan nilai-nilai persaudaraan dalam Islam. Dengan pendekatan yang adil dan bijak, dampak negatif dari kebijakan ini dapat diminimalkan, sehingga ukhuwah Islamiyah tetap terjaga di tengah dinamika ekonomi yang terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
4648-Article Text-14384-2-10-20240708. (n.d.).
Dampak Kenaikan Gas Lpg, M., & Hal, K. (2022). MENILIK POTENSI DAMPAK KENAIKAN PPN MENJADI
11 PERSEN DI TENGAN KETIDAKPASTIAN GLOBAL (Vol. 02). www.puskajianggaran.dpr.go.id
Kharisma, N., Furqon, I. K., Abdurrahman, U. K. H., & Pekalongan, W. (n.d.). Analisis Dampak
Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terhadap Masyarakat Dan Inflasi Di Indonesia.
Latifah, E., Suroso, S., & Prastya, D. (2022). FUNDRAISING SERTA PENDISTRIBUSIAN PAJAK DAN ZAKAT
DI INDONESIA. JISEF : Journal Of International Sharia Economics And Financial, 1(02), 92–102. https://doi.org/10.62668/jisef.v1i02.491
Maisyarah Syahar, S., Angela, D., Fortuna, K., Humaerah, S., Diwani, F., Nawir, A., Negeri, U. I., & Makassar, A. (2024). Fundamental and Applied Management Journal Indonesian Journal of Taxation and Accounting An Idea of Taxation: The Perspective Of The Islamic Tradition.
Indonesian Journal of Taxation and Accounting, 2(2).

Example 300250