Komitmen Rendah Emisi Pertamina EP Zona 14 Field Papua
Di waktu pagi, Minggu pertama di bulan Agustus 2024. Panas mentari pukul 10.00 terasa terik membakar kulit di sekitar komplek perumahan Moyo Permai Kilometer 12 Kelurahan Klamana, Distrik Sorong Timur, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Seorang pria paruh baya kelahiran tahun 1980. Di depan teras rumah kakak lelakinya sedang asik mengorek – gorek mesin mobil Mitsubisi kuda warna merah sambil memperhatikan seseorang yang sedang memperbaiki instalasi listrik dari dalam rumah.
Terucaplah kalimat dari mulutnya, “mobil ini butuh bensin untuk bisa jalan. Saya butuh cuaca yang sejuk untuk bisa cek kondisi mobil ini”.
Fatra M. Soltief ini sehari – harinya, beraktivitas sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Barat Daya Kota Sorong. Dan untuk beraktivitas Fatrah Soltief terkadang pula mengunakan mobil milik kakaknya.
“Satu hari kalau aktivitas padat di luar rumah, mobil ini bisa membutuhkan 20 liter bensin. Kalau senggang sekitar 5 sampai 10 liter sehari, ” ucap Fatra Soltief.
Bensin yang dibutuhkan tentu saja disadari oleh Fatra Soltief tidak langsung ada begitu saja. Ada proses pencarian, menemukan, pengeboran, dan pengolahan hasil pengeboran hingga sampailah ke Stasion Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik swasta dengan kode ataupun Pertamina.
Kegiatan hulu migas bagi masyarakat adat di wilayah Provinsi Papua Barat Daya bukan cerita baru. Familiar, masyarakat ada biasa menyebut kegiatan industri hulu Migas dengan bahasa, “Dong ada cari atau bor minyak”.
” Karena ada bor minyak, makanya saya bisa isi bensin, supaya saya punya mobil bisa jalan,” kata Fatra Soltief.
Industri hulu Migas untuk mencari bahan bakar fosil sudah terjadi jauh hari sebelum Indonesia merdeka dan Papua berintegrasi dengan Indonesia di wilayah Sorong.
Semua masyarakat adat bila ditanyakan soal tahu atau tidak dimana sumur minyak bumi tertua di wilayah Papua Barat Daya, Fatra katakan akan menyebut nama dua lokasi satu yakni Klamono dan Salawati.
Kondisi itu yang menjadi sebab Sorong dikenal dengan sebutan Kota Minyak di Tanah Papua, sebab kegiatan pencarian emas hitam telah ada sejak tahun 1930 oleh perusahan Belanda bernama Naamlose Venoodschap Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NV NNGPM).
Kata ‘dong’ dalam kalimat dong ada cari minyak ditujukan hanya untuk satu nama yakni pemerintah yang dilakukan oleh perusahan negara bernama PT Pertamina.
“Kita masyarakat Papua cuma tahu satu nama, bila ditanya soal perusahan apa yang ada bor minyak? Pasti masyarakat akan jawab Pertamina, karena masyarakat adat di Sorong tahu dan sudah mendengar cerita perubahan peralihan aset dari perusahan NV NNGPM menjadi Perusahaan Minyak Negara (Permina) yang kemudian berubah lagi menjadi PT Pertamina, ” ucap Fatra Soltief.
Untuk bisa memenuhi kebutuhan kendaraan bermotor berupa bensin Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan kepada publik tentang pengeboran yang dilakukan PT Pertamina EP Cepu Zona 14.
Dimana Pertamina EP Cepu Zona 14 dilaporkan telah melakukan pengeboran empat sumur minyak baru di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Empat sumur tersebut, terdiri atas satu sumur eksploitasi dan tiga sumur eksplorasi.
“Pengeboran empat sumur minyak baru di Kabupaten Sorong tersebut menunjukkan bahwa pengeboran minyak dan gas bumi kembali aktif setelah delapan tahun tidak ada aktivitas pengeboran di wilayah itu, ” ungkap Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (26/6/2022).
Laporan terakhir yang diperoleh, Pertamina EP Papua Field (PEP Papua Field) yang tergabung dalam Subholding Upstream Pertamina Regional Indonesia Timur Zona 14 mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan dari pengeboran sumur pengembangan SLW A9X yang dimulai pada 8 April 2022 lalu.
Sumur SLW A9X yang berlokasi di Desa Meyaup, Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya berhasil menambah produksi minyak 200 BOPD.
Sebagai bagian dari masyarakat adat Fatra Soltief tahu pula, kegiatan hulu migas untuk memenuhi kebutuhan bensin mobilnya akan menumbalkan hutan dan laut di Papua Barat Daya.
“Kita mau bagaimana lagi, disatu sisi kita butuh bensin. Disisi lain kita ingin agar alam kita tetap lestari, ” ucap Fatra Soltief.
Hutan, dan laut buat orang Papua tak terpisahkan. Sebab alam membentuk karakter orang Asli Papua.
“Saya dari suku Maya di Raja Ampat. Hutan dan laut membentuk karakter kami suku Maya, ” kata Fatra Soltief.
Suku Maya sendiri tersebar di empat pulau besar yakni pulau Waigeo, Salawati, Batanta dan Misool.
Kegiatan industri hulu migas tentu membutuhkan ruang. Untuk mendapatkan ruang dibutuhkan pembukaan lahan, maka sudah barang tentu ada pohon yang harus ditebang.
Dikutip dari website One Tree Planted saat pohon dewasa, ia dapat mengonsumsi 22 pon karbon dioksida per tahun dan melepaskan cukup oksigen untuk dihirup selama 2 tahun sehingga membantu membatasi pemanasan global, menyediakan iklim yang lebih bersih dan lebih sehat.
Untungnya dari Areal operation Pertamina EP Papua wilayah Klamono Utara seluas sekitar 778 Km2 dan Klamono Selatan seluas 1368 Km2 sebagian besar kawasan itu peninggalan kegiatan ekplorasi minyak bumi dari perusahan Belanda tahun 1935 hingga 1971, dan pasca peralihan dari Permina menjadi Pertamina. Demikian halnya operation Pertamina EP Papua di Salawati seluas 55 Km2 dan Linda Sele seluas 36 Km2.
Untuk menjaga alam di Papua Barat Daya tetap lestari ada komitmen dari Pertamina EP mendorong Net Zero Emission 2060. Komitmen ini sebagai jawaban dukungan Pertamina EP terhadap krisis iklim.
Jawaban itu disampaikan oleh Community Relations and Community Involvement Develop KKKS Pertamina EP Zona 14 Field Papua, Njo Fransiscus Xaverius Anditya Ciptadi Putra saat Media Gathering memeringati 22 tahun mengelola Hulu Migas di Aula Studio RRI Sorong, Sabtu (3/8/2024).
Pertamina EP Papua sangat sadar bahwa dalam kegiatan eksplorasi pasti ada namanya pengadaan lahan dilanjutkan dengan Land Clearing. Tentu Pertamina EP zone 14 Field Papua harus patuh pada aturan yang ada.
“Misalnya sebelum kami melakukan Land Clearing untuk areal APL. Kami melakukan dulu Timber Cruising untuk menghitung potensi pohon yang ada. Jadi tidak langsung main ditebang,” kata Andi Njo.
Aktivitas Timber Cruising dilakukan dinas terkait. Setelah itu dilakukan pembayaran penghasilan negara bukan pajak (PNBP) sebelum ditebang.
Proses pembukaan lahan akan semakin ketat lagi, bila masuk di kawasan hutan. Disitu harus terlebih dulu diurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan disingkat IPPKH.
“Dalam IPPKH ini ada kewajiban – kewajiban yang mengikat, salah satunya melakukan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai, ” ucap Andi Njo.
Tahun 2024 ini, Pertamina EP zone 14 Field Papua diminta oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan rehabilitasi di sekitar kawasan hutan Tampa Garam Kota Sorong dengan luasan 130 hektar.
Dua tahun sebelumnya, Pertamina EP zona 14 Field Papua telah merestorasi terumbu karang sebanyak 1.348 fragmen dengan 120 Spider Webb. Disusul 2023 melakukan Employee Volunteerism dan transplantasi terumbu karang di Pulau Soop.
“Jadi ada konsekwensi – konsekwensi yang harus dilakukan oleh kami. Konsekwensi ini, bukan hanya untuk kami saja, tetapi berlaku pula kepada semua kontraktor kontrak kerja sama lain. Kalau tidak dilakukan tentu ada sangksinya baik itu pidana dan lain – lain”.
Pertamina EP Papua turut pula melakukan penghematan listrik dengan cara bekerja sama dengan PT PLN untuk pengadaan aliran listrik ke fasilitas Pertamina yang ada di Klamono.
“Selama ini kami mengunakan genset sendiri. Namun setelah kami hitung – hitung ternyata bekerja sama dengan PLN biayanya lebih murah. Dan ada nilai emisi yang ditekan disitu, karena kita bisa hemat dari pembakaran solar. Kalau tidak salah kita hemat hampir 100 ton solar,” kata dia menerangkan.
Selain itu Pertamina EP Field Papua turut pula menekan limbah tektil dengan cara mengumpulkan seragam karyawan Pertamina yang sudah rusak.
“Jadi seragam pertamina yang warna putih dan sudah bolong atau rusak dikumpulkan, kemudian kita serai atau dicacah untuk dijadikan kapas, lalu dipintal lagi untuk dibuat kembali menjadi pakaian, ” Andi Njo menambahkan.
Pertamina EP sendiri telah mulai mengoperasikan Carbon Capture and Storage (CCS) atau teknologi penyimpanan karbon.
“Jadi karbon CO2 yang ada di udara diserap kemudian dialirkan kembali ke dalam sumur minyak, ” Andi Njo menuturkan.
Namun sayangnya, pengoperasian Carbon Capture and Storage belum bisa dilakukan di semua Field, karena masih harus menghitung nilai ekonomi.
“Bicara bisnis tentu kita bicara keekonomiannya. Investasi untuk alat seperti itu mahal sekali, sehingga belum bisa kita terapkan di semua Field, ” kata Andi Njo.
Dikutip dari Portal Pengetahuan Perubahan Iklim World Bank Grop menyebutkan ketergantungan dunia terhadap energi fosil menghasilkan emisi karbon berdampak pada pemanasan serta krisis iklim global dan mengancam kehidupan manusia dan mahluk hidup lain di muka bumi.
Secara ilmiah disebutkan bahwa kegagalan untuk menahan kenaikan temperatur global sebesar 1.5ᵒC serta kemampuan beradaptasi terhadap iklim yang berubah, berdampak pada hilangnya habitat dan ekosistem penting serta peningkatan muka air laut yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan, penyediaan pangan, penyediaan air bersih, mata pencaharian masyarakat serta kualitas hidup manusia.
Fatra Soltief sebagai masyarakat adat sangat membutuhkan Bahan Bakar Minyak buat mobilnya dan ingin alam tetap lestari.
“Saya butuh bensin untuk mobil ini, Tapi saya juga ingin hutan tetap lestari. Keduanya perlukan buat anak dan cucu nanti, ” kata ayah dari 4 orang anak