TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Mantan Kuasa Hukum Ibrahim Parera saat melawan gugatan Arsad Polanunu/Parera, Edy Yanter Latumahina menegaskan, pembayaran ganti rugi atas lahan dan bangunan SMP Negeri 16, SD Inpres 54 dan SD Inpres 55, di Nania, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kota Ambon sudah sesuai dengan mekanisme hukum.
Demikian pernyataan sekaligus penegasan Latumahina lewat keterangan tertulisnya, yang diterima Teropongnews.com, di Ambon, Sabtu (24/8/2024).
Penegasan ini sekaligus menanggapi pernyataan mantan PJ Wali Kota Ambon, Bodewin M. Wattimena, terkait proses pembayaran ganti rugi lahan dan bangunan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 16, Sekolah Dasar (SD) Inpres 54, dan SD Inpres 55, yang berlokasi di Desa Nania oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon kepada Ibrahim Parera, sebagai ahli waris keluarga Parera.
Menurutnya, ganti rugi lahan ini dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan itu antara lain; Putusan Pengadilan Negeri Ambon No. 97/Pdt.G/2006/PN.AB tanggal 22 Maret 2007; Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 1458 K/Pdt/2007 tanggal 25 Juni 2008; Dan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI No. 362 PK/Pdt/2010 tanggal 26 Juli 2011.
“Berdasarkan putusan-putusan tersebut, tanah Dusun Dati Hahour Adeka dinyatakan sebagai milik sah keluarga Parera. Oleh karena itu, pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh Pemkot Ambon kepada Ibrahim Parera, sebagai ahli waris dilakukan sesuai dengan dasar hukum yang sah,” ungkap dia.
Lebih lanjut Latumahina mengatakan, Ibrahim Parera, yang bertindak sebagai penerima kuasa dari keluarga Parera, dan bertanggung jawab penuh atas seluruh hak dan kewajiban, terkait penerimaan ganti rugi tersebut.
Dan setiap akibat hukum yang mungkin timbul setelah pembayaran dilakukan, baik secara perdata maupun pidana, akan menjadi tanggung jawab pribadi Ibrahim Parera, tanpa melibatkan Pemkot Ambon.
“Dengan demikian, maka logika hukumnya adalah, apabila adanya permasalahan hukum lebih lanjut karena ketidakpuasan internal keluarga, seperti tuntutan dari anggota keluarga lain yang merasa haknya belum terpenuhi, hal tersebut sepatutnya diselesaikan di luar ruang lingkup tanggung jawab Pemkot Ambon, dan sudah seharusnya tidak akan melibatkan pemerintah daerah,” tegas Latumahina.
Menurutnya, pernyataan Bodewin Wattimena tepat. Proses pembayaran yang dilakukan oleh Pemkot Ambon melalui Tim Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Penjabat Wali Kota Ambon berdasarkan Keputusan Wali Kota Ambon Nomor. 745 Tahun 2022, maka proses ini dianggap telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk pendidikan.
Instrument Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, kata Latumahina, maka Pemkot Ambon memiliki kewenangan untuk melakukan pembayaran ganti rugi atas tanah, yang akan digunakan untuk kepentingan pendidikan, sesuai dengan tahapan yang ditentukan dalam undang-undang, termasuk musyawarah, penilaian harga, dan penyelesaian ganti rugi.
“Terkait perselisihan antara Arsad Polanunu/Parera, yang juga merupakan bagian dari keluarga Parera dengan Ibrahim Parera, maka mencermati kedudukan Pemkot Ambon dalam permasalahan ini adalah, permasalahan ini seyogyanya merupakan persoalan internal keluarga yang tidak melibatkan pemerintah,” pungkas Latumahina.
Berdasarkan hukum adat yang berlaku di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, lanjut Latumahina, tanah adat (dusun dati) hanya dapat dimiliki oleh keturunan laki-laki dari garis kebapakan. Dengan demikian suka tidak suka dan mau tidak mau, pihak terkait (Arsad Polanunu/Parera) harus menerima kenyataan tentang hak dati tersebut.
Lebih lanjut dia menyatakan, sikap Pemkot Ambon untuk tidak mencampuri perselisihan ini sesuai dengan pernyataan Bodewin Wattimena adalah merupakan tindakan yang bijak dan tepat, karena pembayaran ganti rugi dilakukan berdasarkan putusan pengadilan dan fakta-fakta yang ada, yang telah terverifikasi. Sehingga perselisihan internal keluarga seyogyanya diselesaikan melalui musyawarah keluarga antara ahli waris.
“Dalam pernyataan Pak Bodewin Wattimena dijelaskan, bahwa Ibrahim Parera telah menyatakan siap bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang mungkin timbul, setelah pembayaran dilakukan,” pungkas Latumahina.
Itu berarti, jika ada sengketa perdata di kemudian hari, seperti tuntutan hak oleh ahli waris lainnya, hal tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dari Ibrahim Parera.
Terkait aspek pidana sebagaimana dalilkan dalam pengaduan Arsad Polanunu/Parera melalui kuasa hukumnya, jika di kemudian hari ditemukan adanya indikasi penyimpangan hukum atau penipuan dalam pengurusan ganti rugi ini, kasus tersebut dapat diproses lebih lanjut.
“Namun pada tahap ini, hemat saya tidak ada indikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran pidana, karena pembayaran dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang sah. Sehingga yang dimaksud dengan kerugian negara adalah, apabila hanya akan timbul apabila adanya pelanggaran prosedur yang dilakukan Pemkot Ambon. Tapi kenyataannya tidak ada,” tegas Latumahina.
Latumahina berkesimpulan, jika proses pembayaran ganti rugi yang dilakukan Pemkot Ambon kepada Ibrahim Parera, sebagai ahli waris keluarga Parera, telah sesuai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan secara hukum positif, pembayaran tersebut sah.
Dia menambahkan, permasalahan internal keluarga terkait hak ahli waris, seperti yang dituntut oleh Arsad Polanunu/Parera, adalah persoalan perdata yang tidak melibatkan Pemkot Ambon.
“Tanggung jawab perdata dan pidana atas segala permasalahan setelah pembayaran ganti rugi ada di tangan Ibrahim Parera, sebagai penerima kuasa dari keluarga ahli waris,” tandas Latumahina.