TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) Rasminto menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang dinilainya belum menyentuh hal substantif dalam penguatan peran Pemerintah Daerah (Pemda) dalam memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Rasminto erujar, adanya kondisi masyarakat tertib ini bukan saja merupakan tugas Polri tetapi juga masuk dalam kewajiban Pemda sebagai wujud dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 32/2004 tentang Pemda.
“Sehingga jelas perlu ada substansi penguatan peran Pemda ini, berupa fungsi koordinasi, rekomendasi bahkan pengusulan calon kepala kepolisian daerah setempat,” katanya dalam keterangan tertulis dikutip di Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Menurutnya, dalam draf RUU masih sangat lemah antar peran ini sebagaimana pengaturan tugas Polri dalam pasal 14 huruf c tentang penyelenggaraan sistem kota cerdas bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.
“Ini kan belum menjawab penguatan peran Pemda sendiri dalam persoalan menjaga fungsi ketertiban umum guna kelancaran pembangunan daerah, padahal daerah jadi penopang utama pembangunan nasional,” ucapnya.
Menurutnya, sistem yang dianut oleh Polri saat ini merupakan sistem kepolisian nasional (national police system), dimana mendekati sistem kepolisian yang berada di bawah pemerintahan (centralized police system).
“Sistem ini masih menganggap Mabes sebagai pengambil kebijakan yang paling sahih (the top decision maker), sehingga seakan terjadi pengkerdilan peran kepolisian di daerah. Padahal saat sekarang ini otonomi daerah ditawarkan untuk dapat mengembangkan dan memajukan daerah itu sendiri,” ujarnya.
Pakar Geografi Manusia Universitas Islam 45 (Unisma) ini menyarankan agar didorong adanya penguatan peran desantralisasi kebijakan sebagai respon terhadap situasi konflik dan dinamika lokal dalam RUU Polri.
Ia menekankan, penguatan peran desantralisasi kebijakan menjadi penting diperhatikan sebagai respon terhadap situasi konflik dan dinamika lokal, dengan demikian segala keputusan yang diambil menyangkut kamtibmas di daerah harus oleh kepolisian setempat saja, bukan kepolisian pusat yang ambil bagian.
“Pusat dapat mencampuri apabila mendapat permintaan bantuan dari daerah, dikarenakan operasionalisasi logistik dan personel yang kurang,” ujarnya.
Kata dia, dalam penyelenggaran keamanan dan ketertiban, Polri tidak dapat bekerja sendirian, melainkan membutuhkan kerja sama dengan masyarakat dan Pemda yang peduli dalam fungsi kamtibmas.
“Bentuk kepedulian Pemda sangat jelas ya dalam semangat otonomi daerah ini, salah satunya dengan menganggarkan biaya untuk penyelenggaraan keamanan yang diberikan pada kepolisian di daerahnya,” katanya.
Sehingga, menurutnya, peran Pemda seharusnya dapat lebih ditingkatkan dalam fungsi ini, sebab dalam situasi krisis atau darurat seperti bencana alam, konflik sosial, atau kejadian lain yang mengganggu keamanan, Pemda memiliki peran dalam memberikan respons cepat, mengkoordinasikan upaya penanggulangan, dan memfasilitasi pemulihan situasi.
“Dalam situasi krisis, Pemda memiliki peran dalam memberikan respons cepat, mengoordinasikan upaya penanggulangan, dan memfasilitasi pemulihan situasi. Terlebih menurut pasal 1 angka 7 UU No. 32/2004, wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga peran Pemda mestinya dapat diperkuat,” katanya.