Nasional

Akademisi UNJ: Lebih Urgen Bahas UU Masyarakat Adat Dibanding RUU Polri

×

Akademisi UNJ: Lebih Urgen Bahas UU Masyarakat Adat Dibanding RUU Polri

Sebarkan artikel ini
Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdul Haris Fatgehipon. Foto: ist.

TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdul Haris Fatgehipon mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebetulnya tidak urgen untuk dibahas. Sebab, ada hal yang lebih penting untuk digodok seperti UU masyarakat adat.

Hal tersebut disampaikan Abdul saat jadi narasumber Diskusi Publik BEM UNJ bertajuk RUU POLRI: Optimalisasi Fungsi atau Ancaman Demokrasi, Rawamangun (1/7/2024).

“Teman-teman mahasiswa harus tahu, bahwa ada UU yang lebih urgensi untuk dibahas dan disahkan pada prolegnas, yakni UU masyarakat adat. Saat ini tanah-tanah mereka banyak tergusur, mereka terusir akibat dari aktivitas penambangan seperti di Kalimantan, Halmahera, Papua dengan dalih investasi,” katanya dalam rilis pers dikutip di Jakarta, Rabu (3/7/2024).

Ia menyesalkan RUU Polri justru jadi pembahasan dan usulan DPR, padahal d saat bersamaan banyak masyarakat adat yang terancam.

Terkait pembahasan RUU Polri, ia melihat pasal yang bermasalah namun terdapat plus minusnya.

“Contoh pada pasal 14 ayat 1 huruf b, pengawasan dan pembinaan ruang siber, berkaitan dengan era saat ini kejahatan melalui telekomunikasi sering terjadi, diperlukan penanganan terhadap kasus ini,” tuturnya.

Baginya, pemerintah diberikan kewenangan melakukan penyadapan melalui Kemenkominfo, namun ada prosedur yang rumit.

“Sebab, hal ini perlu bermitra dengan pihak swasta dan prosesnya melalui beberapa institusi, RUU ini mengatur kepolisian bisa melakukan penyadapan secara langsung tanpa melalui berbagai persetujuan lembaga-lembaga terlebih dahulu,” katanya.

Lantas, ia pun menyinggung dampak negatif atas penyalahgunaan kewenangan dengan melakukan penyadapan yang semena-mena.

“Kewenangan ini berdampak pada penyalahgunaan kewenangan semena-mena jika tidak diawasi baik,” tegasnya.

Ia menengarai terkait pasal penambahan usia pensiun, pada satu sisi dibuat agar negara bisa memanfaatkan produktifitas anggota kepolisian untuk mengabdi pada negara, karena banyak pensiunan polisi yang kemudian malah digunakan untuk bekerja dengan pihak swasta.

“Namun, di sisi lain, kepolisian sebagai alat negara yang berada di bawah kekuasaan presiden, penambahan usia pensiun ini bisa menjadi momentum untuk akhirnya polri mendekatkan diri kepada praktik kekuasaan,” ucapnya.

Penulis Buku Sejarah Polri dan Citra Polri pasca Reformasi ini mengungkapkan kaitannya tentang reformasi. Menurut dia, seharusnya Polri berterima kasih kepada mahasiswa yang telah memperjuangkan pemisahan TNI dan Polri dari ABRI, sehingga tidak lagi menjadi anak bawang.

“Polri harus berterima kasih pada mahasiswa, bukan malah menjadi alat penguasa yang menahan suara kritis mahasiswa yang berdemo,” tegasnya.