TEROPONGNEWS.COM, SORONG – Stop tebang pilih, meski untuk mencari kayu yang berkualitas memang harus perlu dipilih pohon yang terbaik.
Ungkapan itu bukan keluar begitu saja, sebab ada kesan tebang pilih dalam penegakan hukum yang dilakukan. Dimana hanya 4 kontainer kayu pacakan dan molding atau serpihan kayu hasil Industri pengolahan hasil hutan kayu milik CV Bintang Tiurma yang dikirim dari Sorong ke Surabaya saja yang diproses hukum dan ditindak secara tegas
Untuk itulah, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Papua Barat dan Papua Barat Daya diminta untuk stop bermain tebang pilih untuk menjaga sumber kekayaan alam dari hutan Papua Barat dan Papua Barat Daya.
Sesuai Permenhut No. P.9/Menhut-II/2009 Pasal 2 Ayat 1 disebutkan bahwa jenis-jenis industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) hanya ada 5 (lima) yaitu:
1.) Industri penggergajian kayu,
2.) Industri serpih kayu (wood chip),
3.) Industri vinir (veneer),
4.) Industri kayu lapis (plywood) dan/atau
5.) Laminated Veneer Lumber.
Dimana telah ditegaskan bahwa tujuan didirikannya industri primer hasil hutan mengacu pada PP No. 6/Menhut-II/2007 Pasal 104 meliputi:
1.) Meningkatkan nilai tambah hasil hutan,
2.) Menggunakan bahan baku secara efisien, 3.) Menciptakan lapangan kerja,
4.) Mewujudkan industri yang efisien, produktif dan berdaya saing tinggi,
5.) Mencegah timbulnya kerusakan sumber daya hutan dan pencemaran lingkungan hidup dan
6.) Mengamankan sumber bahan baku dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
Kemudian diperkuat lagi, Peraturan Menteri Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 Pasal 1 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Dalam arti keberadaan industri pengolahan hasil hutan kayu ada untuk peningkatan nilai tambah (value added) suatu barang.
Ketua Papua Forest Watch (PFW) di Tanah Papua, Charles Tawaru katakan sejak tahun 2008 Pemerintah Provinsi Papua telah melarang pengiriman eksport kayu gelondongan yang diperkuat dengan Perdasus Papua Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 25 Ayat 1 dan Pergub Papua Nomor 18 Tahun 2010 yang melarang pengangkutan dan perdagangan hasil hutan kayu dari Papua ke Provinsi Papua.
Untuk di Provinsi Papua Barat pada tahun 2013 sempat dilakukan revisi, dimana Pemerintah Provinsi Papua Barat mengizinkan pengiriman kayu log keluar wilayah Papua Barat hingga tahun 2016 dengan pertimbangan minimnya industri pengolahan kayu. Namun tahun 2020, Pemerintah Provinsi Papua Barat kemudian mengeluarkan larangan pengiriman kayu log keluar dari Papua Barat.
Namun Charles Tawaru sampaikan berdasarkan data temuan PFW sejak pelarangan pengiriman kayu log, semua proses pengiriman sekarang beralih menjadi pengiriman kayu olahan. Sayangnya, hampir seluruh kayu olahan yang dikirim keluar lolos dari proses Sertifikasi Verifikasi legalitas kayu (SVLK).
“Kita bisa lihat banyak kendaraan keluar pada malam hari. Nanti stop dulu di Tugu merah SP 1 Aimas. Jam 12 malam atau jam 1 dini hari baru masuk kota, ” beber Charles kepada Teropong News di Hangout Cafe Sorong, Selasa (4/6/2024) pukul 19.30 wit.
Kemudian manufaktur angkutan dan lain, sambung Charles, cenderung mengunakan manufaktur hasil fotocopy sebagai formalitas untuk menunjukkan legalitas. Dimana setiap pos diduga dapat setoran sekitar Rp. 300 ribu sampai 500 ribu Rupiah untuk kayu sampai di Industri pengolahan kayu. “Itu menurut pengamatan kita selama ini, ” kata Charles
Papua Forest Watch berharap pemerintah Provinsi Papua Barat Daya mau lebih konsen melihat aktivitas kehutanan, karena praktek – praktek ilegal masih sangat masif di lapangan.
Kasus 2 tahun lalu, Charles Tawaru katakan Gakkum KLHK menahan puluhan kontainer. Di awal mereka bilang tidak ada legalitas, namun saat dipengadilan keluar legalitas kayu, sehingga kayu yang tadinya tidak sah menjadi sah.
“Proses ilegal yang ditangkap diawal, kemudian bisa menjadi legal. Nah inilah yang sangat disayangkan, apakah memang proses legalitas kayu bisa berlaku surut, inilah yang patut kita pertanyakan, ” ujar Charles Tawaru dengan nada tanya.
Kesan yang muncul dikalangan aktivis lingkungan, Charles Tawaru sampaikan, KLHK membentuk Gakkum untuk menjadi mesin ATM. “11 konteiner tangkap lalu lepas, lalu 28 kontainer di Kaimana tangkap dan lepas lagi, ” ucap Charles Tawaru.
Dia pun sepakat, bila Gakkum KLHK mau bertindak tegas jangan tebang pilih, semua industri pengolahan kayu harus ditindak pula, sebab produksi kayu pacakan , dan molding tanpa SVLK.
Sebab Charles Tawaru katakan SVLK ini, harus ada tim independent yang dibentuk untuk melakukan mengecek proses dari kayu dari hulu hingga hilir. “Di Tanah Papua, sepengatahuan kami, proses SVLK ini tidak berjalan, jadi Gakkum harus tegas, semua proses ilegal harus disikat, bukan tebang pilih, karena maksud atau kepentingan tertentu saja, ” tutup Charles Tawaru.
Sumbangan Pulau Papua terhadap Pendapatan Negara dari Kayu
Sebagai referensi , Teropong News mengutip artikel yang termuat dalam website Forest Watch Indonesia pada tulisan yang dipublikasi tanggal 15 Agustus 2023.
Di artiket itu menuliskan hasil analisis FWI pada tahun 2018, daratan Papua memiliki luas tutupan hutan alam sebesar 33.4 juta hektare, atau sekitar 80.71 % dari total luas daratannya.
Sekitar 6,4 juta hektare daratan di Pulau Papua telah didistribusikan kuasa pengelolaan hutannya oleh pemerintah kepada 43 perusahaan HPH dan HTI, yang tergabung dalam 24 grup, dan ada 3 perusahaan lain yang belum teridentifikasi masuk ke grup tertentu.
Berdasarkan analisis spasial, ada sekitar 6 grup perusahaan dengan penguasaan lahan berkisar antara 6-10% dari total luas izin (6,4 juta hektare) yang diberikan yaitu : KLI Group (632 ribu hektare / 10%), RGM Group (549 ribu hektare/ 8%), Sinar Wijaya (547 ribu hektare/ 8%), Alamindo Grup (460 ribu hektare / 7%), Korindo Group (417 ribu hektare / 6%), dan Masindo Group (406 ribu hektare / 6%).
Perusahaan dengan penguasaan lahan terluas di papua diatas, mayoritas pemiliknya merupakan nama-nama yang sudah tidak asing lagi di dunia industry ekstraksi hutan dan lahan di Indonesia.
Sepanjang tahun 2019 – 2020, sekitar 2,72 juta m3 kayu bulat diproduksi dari hutan alam di Pulau Papua. Sebesar 1.252.407 m3 atau sekitar 46% di antaranya merupakan kayu berjenis merbau, sebagai jenis kayu kelas khusus. Dan dari produksi kayu merbau nasional, sekitar 98% berasal dari hutan alam papua. Kayu-kayu tersebut lebih dari 80% bersumber dari pemanfaatan hasil hutan kayu oleh izin HPH. Sedangkan sumber-sumber lainnya berasal dari IPK/IPPKH/HGU/Perorangan, dan Land Clearing HTI
PNBP dari ekstraksi kayu dari Pulau Papua pada 2019-2020 mencapai sekitar 298 miliar rupiah untuk PSDH atau berkontribusi sekitar 15% dari total PSDH Nasional, dan sekitar 500 miliar rupiah untuk pungutan DR atau sekitar 17% dari total DR nasional.
Dengan adanya skema DBH dimana ada pembagian nilai pungutan baik untuk PSDH dan DR untuk pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten serta kota/kabupaten lainnya, maka nilai PSDH dan DR yang dipungut tersebut tidak seutuhnya kembali ke daerah lokasi dimana perusahaan berada.
Sehingga pada tahun 2019 misalnya, pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat hanya mendapatkan nilai PSDH sekitar 77 miliar rupiah dan sekitar 107 miliar untuk DR.
FWI dalam artikel tersebut menyebutkan data jumlah produksi kayu ini didapat dari beberapa sumber sistem informasi yang berbeda berasal dari KLHK yaitu dari RPBBI online dan phl. Produksi kayu bulat yang tercatat dalam sistem phl.menlhk.go.id yang dihasilkan dari HPH, HTI dan juga LC HTI di Pulau Papua dan dipasok ke industry dalam 2 tahun terakhir mencapai 2,7 juta m3. Sedangkan yang dipasok ke industri berdasarkan data RPBBI dan juga peredaran kayu PHL, masing-masing sekitar 1.968.758 m3 dan 2.453.017 m3.
Meskipun deforestasi dan produksi kayu bulat secara nasional pada tahun 2020 turun, namun kontribusi kayu yang diekstraksi dari Pulau Papua terhadap produksi kayu nasional mengalami peningkatan, begitu pula dengan deforestasi yang terjadi mengalami peningkatan.
Hal ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa di tahun-tahun mendatang, deforestasi Indonesia akan bergerak ke timur, dimana masih banyak hutan alam yang sudah terbebani izin pengelolaan, baik HPH dan HTI yang saat ini masih belum banyak beroperasi.
Pulau Papua mengalami kenaikan deforestasi, yang terjadi di wilayah HPH dan HTI pada tahun 2019 dan 2020. Pada tahun 2019, total deforestasi yang terjadi di HPH dan HTI adalah 11 ribu hektare mengalami kenaikan menjadi 13 ribu hektare pada tahun 2020. Jika melihat jumlah produksi kayu dan deforestasi yang terjadi, terdapat korelasi antara kenaikan jumlah produksi kayu dengan kenaikan deforestasi.