TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Isu tumpang tindih kewenangan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri mencuat dan menjadi pembicaraan masyarakat. Dikhawatirkan bentuk kelembagaan super power justru menjauhkan institusi Korps Bhayangkara dari profesionalitas dan semangat reformasi.
Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto mewanti-wanti agar RUU Polri yang tengah digodok oleh DPR jangan sampai menimbulkan kesan bentuk Kelembagaan super power.
“Tumpang tindih tanggung jawab ini tidak hanya berpotensi mengganggu sinergi antar lembaga, tetapi juga dapat memicu konflik kewenangan yang tidak diinginkan dan terkesan bentuk kelembagaan super power,” kata Rasminto dalam rilis persnya dikutip di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Pasalnya, lanjut dia, prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik mengharuskan bahwa tugas dan fungsi dari setiap lembaga pemerintahan sudah diatur dengan jelas untuk menghindari duplikasi dan tumpang tindih.
“Tugas Polri sebagai lembaga kepolisian harus dibatasi pada penegakan hukum dan menjaga ketertiban umum, sementara fungsi investigasi khusus, pengaturan kebijakan, dan administrasi tertentu tetap dipegang oleh kementerian dan lembaga yang memiliki keahlian dan mandat sesuai bidangnya masing-masing,” jelas dia.
“Apabila ada area tanggung jawab yang bersinggungan, perlu ada mekanisme koordinasi yang jelas untuk mencegah konflik dan memastikan kerja sama yang harmonis antar lembaga,” ujar Rasminto lagi.
Oleh karena itu, dalam semangat Reformasi dan upaya untuk menciptakan Polri yang lebih humanis dan profesional, RUU Polri harus dirancang untuk mengakomodasi kerangka kerja yang adil dan transparan dan merujuk pada fungsi pemolisian yang modern seperti negara-negara maju.
“Ini termasuk menegaskan batas-batas kewenangan Polri sehingga tidak ada institusi yang merasa tugas dan fungsinya terabaikan atau diambil alih secara sepihak,” ujarnya.
Rasminto melanjutkan, penyusunan RUU Polri ini juga harus memperkuat aturan koordinasi antar lembaga, guna menciptakan tata kelola yang efektif dan memastikan bahwa setiap lembaga dapat berfungsi optimal sesuai dengan mandat yang telah ditetapkan.
“Dengan demikian, Polri dapat bekerja secara efektif tanpa melampaui batas kewenangan, dan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di Indonesia dapat semakin ditingkatkan,” katanya.
Rasminto telah mencatat beberapa pasal kontroversi yang mengindikasikan adanya tumpang tindih kewenangan.
Di antaranya Pasal 14 ayat 1 huruf (b) berbunyi “melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan Ruang Siber; Hal tersebut menjadi tumpang tindih atas kewenangan kelembagaan Kementerian Kominfo dan Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN).
Pasal 14 ayat 1 huruf (d) berbunyi “membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; dan huruf (e). turut serta dalam pembinaan hukum nasional; Hal tersebut menjadi tumpang tindih atas kewenangan kelembagaan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI, selain itu mestinya ditambah jadi “sistem keamanan wilayah cerdas”,
Pasal 14 ayat 1 huruf (k) berbunyi “melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; Hal tersebut menjadi tumpang tindih atas kewenangan kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP).
Pasal 14 ayat 2 huruf (c) berbunyi “penyelenggaraan sistem kota cerdas (smart city) bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah; Hal tersebut menjadi tumpang tindih atas kewenangan kelembagaan Kemendagri, Bappenas maupun Pemda.
Pasal 16 ayat 1 huruf (q) berbunyi “melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi; Hal tersebut menjadi tumpang tindih atas kewenangan Kementerian Kominfo RI
Pasal 16 ayat 1 huruf (r) berbunyi “menerbitkan atau mencabut daftar pencarian orang”; Adapun kewenangan mencabut status daftar pencarian orang (DPO) merupakan kewenangan Lembaga Peradilan dan Hakim, yang sepatutnya melalui proses eksaminasi peradilan.
Pasal 16A huruf (b) berbunyi “melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen; dan huruf (d). melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pengaturan dalam pasal tersebut menjadi berbenturan dan tumpang tindih pada fungsi intelijen pertahanan/militer dengan adanya kewenangan aktivitas penggalangan intelijen;
Serta pada huruf d disebutkan “deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan…”, pada poin g tentang frase “penangkalan” tidak perlu karena fungsi polri adalah gakkum, bukan bersifat pre emptive.
Pasal 16B ayat 2 huruf (a) berbunyi “ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Pada frase “keamanan nasional” menjadi sangat luas sekali fungsi intelijen kepolisian dan jelas menjadi tumpang tindih pada fungsi dan kewenangan BIN dan Intelijen militer.
Selain itu, frase “ancaman” yang dapat ditindak Polri mestinya diassesment terlebih dahulu oleh dewan keamanan nasional/dewan ketahanan nasional sebelum dilakukan penindakan, jadi tidak tafsir sendiri.
Pasal 16B ayat 2 huruf (b) berbunyi “terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional”. Pada frase “separatisme” dan “kedaulatan nasional” lebih tepat ditangani militer.