TEROPONGNEWS.COM – Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Saat ini Pemerintah memiliki sejumlah peraturan sosial untuk melindungi masyarakat rentan (lansia, perempuan, anak, masyarakat miskin dan disabilitas), seperti UU No.23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, Permen No. 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, UU No. 8 tentang Penyandang Disabilitas dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Dalam Undang – undang itu juga diatur sanksi pidana bagi yang melanggar. Sayangnya regulasi tersebut, selama ini belum masimal dipraktekkan dalam sendi kehidupan sosial.
Meskipun sudah 78 tahun sejak UUD 1945 Pasal 34 ayat(1) diundangkan, potret fakir miskin dan anak terlantar masih menghiasi dinding dan jalanan ibu kota dan disejumlah daerah di Indonesia. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan angka angka dan data yang selalu dibeberkan oleh pemerintah bahwa angka kemisikinan terus menurun .
Seharusnya tidak perlu terjebak dalam lingakaran angka dan data. Juga kurang tepat sering membeberkan data bahwa angka kemisikinan terus menurun dari sekian persen menjadi sekian persen. Cukup dijadikan konsumsi internal pemerintah sebagai bahan evaluasi.
Mengapa? karena angka bukan solusi. Dikhawatirkan justru akan menimbulkan sakit hati bagi kaum kecil dan miskin. Karena faktanya, kaum fakir miskin dan anak terlantar semakin banyak. Semua ini bisa dilihat secara kasat mata, apakah warga miskin bertambah atau berkurang.
Khusus di ibu kota dan kota – kota besar saja, wanita dan anak kecil masih banyak yang mengemis di jalanan dan lampu-lampu merah hingga tengah malam. Belum lagi di daerah, tidak sedikit anak dan warga miskin yang belum dipelihara dan lindungi dengan baik.
Di daerah, potret anak terlantar dan masyarakat miskin masih gampang dijumpai. Contoh, di Provinsi Papua Barat Daya, tepatnya dibilangan kompleks warga Kokoda Kota Sorong. Disini, kebutuhan dasar seperti sandang dan papan sangat memprihatinkan. Anak- anak usia dini juga masih banyak yang tidak terurus dan terlantar. Mereka terpaksa menghabiskan waktu di jalanan, tersebar dideretan pertokoan dan warung makan untuk menjaga parkiran, hingga larut malam. Sejauh ini belum ada penangan secara serius dari pemerintah daerah setempat, sehingga anak-anak tidak lagi seperti gelandangan sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat(1).
Padahal, UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penganan Fakir Miskin sangat jelas dan tegas mengatur bagaiaman cara penanganan dan sanksinya. Disini pemerintah daerah menjadi sangat penting karena berperan sebagai pelaksana terdepan penanganan fakir miskin. Mulai dari pendataan sampai dengan penyaluran bantuan.
Di Jakarta sendiri ada rumor bahwa para pengemis, pengamen dan gelandangan dikoordinir untuk kepentingan bisnis. Semoga rumor itu tidak dijadikan label untuk pembiaran bagi para kaum jalanan dan peminta-minta. Jika benar, tetunya sangat naif bagi pemerintah. Padahal meskipun rumor itu benar, tidak sulit bagi pemerintah untuk mengatasinya. Dengan regulasi yang sudah ada, pemerintah cukup menggerakkan aparaturnya untuk menindak. Tentunya oleh aparat yang jujur.
Fakir miskin dan anak terlantar dengan mudah bisa kita lihat dengan kasat mata.
Sudah saatnya kita untuk lebih peka dan realistis melihat kondisi sosial disekitar kita. Jika menjumpai ada masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial, kita bisa sampaikan atau laporkan kepada pemerintah setempat baik ditingkat RT/RW, kampung/desa, kelurahan, kecamatan/distrik, kab/kota, provinisi maupun pemeritah pusat.
Namun jika pemerintah lambat atau tidak merespon, mari ramai-ramai kita blow up melalui media massa maupun saluran yang lainnya sampai seviral – viralnya, karena dengan viral akan menarik perhatian pemerintah.
Kenapa harus diawasi?
Tahun ini hingga bulan Juni saja, Kementerian Sosial (Kemensos) menemukan daftar penerima bantuan sosial (Bansos) yang seharusnya tidak berhak menerima. Dalam temuan kali ini, terdeteksi adanya 10.249 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima bansos sembako/BPNT (bantuan pangan non tunai) yang tak layak menerima Bansos. Angka tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Sebanyak 10.249 rakyat miskin tidak mendapat haknya.
Data tersebut terdeteksi melalui sistem di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) setelah dilakukan menyesuaikan data penerima bansos oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Diketahui jika diantara nama-nama tersebut justru menempati jabatan direksi dan pejabat tertentu di sejumlah perusahaan.
Nama-nama tersebut terdaftar sebagai orang miskin dengan pekerjaan sebagai cleaning service atau buruh, tetapi faktanya mereka tercatat sebagai pejabat atau pengurus dalam sebuah perusahaan. Bagaimana mungkin kekeliruan fatal ini dapat terjadi.
Disinilah pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol pemerintah dalam menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1). Sehingga, siapapun bisa melakukan advokasi bagi kaum Fakir Miskin dan Anak Terlantar.