TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Sistem zonasi ini masih dirasakan sebagai suatu hal yang tidak diharapkan oleh orang tua dari calon peserta didik dan juga calon peserta didik. Hal ini dikarenakan prinsip dasar sistem zonasi bertolak belakang dengan sistem seleksi nasional melalui Ujian Nasional (UN).
Hal itu disampaikan Ketua Orda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jakarta Selatan, Resha Yogaswara, dan Wakil Ketua ICMI Jakarta Selatan, Dimas Dwi Ananto dalam diskusi publik Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi dan Keterkaitan dengan Penerima Manfaat Kebijakan Pendidikan di kampus Iblam School of Law Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Selain Resha dan Dimas, hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik itu KH Dr Sayid Qutub Al Hafidz, selaku Ketua Dewan Kota, dan Sarwoko, Kasi Dikmen Jaksel, mewakili Wali Kota Jakarta Selatan. Selain itu juga hadir Dr Rahmad Dwi Putranto selalu Rektor IBLAM, Fauzan Fadel dari ICMI Jakarta Selatan. pada kesempatan itu juga dilakukan penandatangan MOU ICMI dengan KSPPS Amirul Ummah.
Resha dan Dimas juga menekankan tanpa merubah kebijakan yang ada, di tingkatan implementasi masih bisa disempurnakan dengan mengkolaborasikan sekolah swasta dapat terlibat secara aktif dalam penerapan kebijakan PPDB. “Bahkan, perlu adanya kebijakan yang mampu menstimulus lahirnya sekolah-sekolah swasta baru yang mampu menjawab masalah kapasitas,” paparnya.
Resha dan Dimas mengatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, pemerintah melalui Kemendikbud pun terus menggiatkan sistem zonasi yang disinyalir mampu meratakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak di seluruh Tanah Air.
“Sistem ini sendiri berlaku dua tahun lalu dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 51 tahun 2018. Sistem zonasi adalah seleksi penerimaan siswa didik atau peserta didik baru secara lebih transparan dan adil, ditetapkan sesuai tempat tinggal. Sistem zonasi diberlakukan sebagai upaya untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan,” urainya.
Dalam pelaksanaannya, sistem zonasi kerap dihujani ungkapan ketidakpuasan dari orang tua dari calon peserta didik dan juga calon peserta didik tersebut. Alasannya, asas meritokrasi yang sudah lama diterapkan melalui seleksi peserta didik berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) menjadi tidak berlaku dan secara implisit, kebijakan sistem zonasi telah menetralisir usaha dan kerja keras calon peserta didik.
Selain itu, dengan mempertimbangkan tingkat ketimpangan multidimensional yang berkontribusi terhadap ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia, sistem zonasi dinilai masih prematur dalam pelaksanaannya.
“Kelebihan sistem zonasi adalah memungkinkannya orang-orang terdekat di sekolah tersebut untuk mengenyam pendidikan lebih besar, sedangkan kekurangannya adalah terabaikannya orang orang pintar yang memiliki jarak tempuh lebih jauh dari sekolah yang diinginkannya,” tulis Resha dan Dimas.
Di samping masalah penerapan yang belum sempurna, sistem ini memiliki beberapa tantangan yang perlu kita solusikan bersama-sama, diantaranya sebagai berikut: (1) Peta Koordinat Kurang Tepat. Mengingat sistem ini mengutamakan ‘kedekatan jarak’, maka dalam prakteknya sistem tersebut memanfaatkan aplikasi peta Google. Sayangnya, titik koordinat acapkali disebut tidak akurat, sehingga menyebabkan calon murid gagal mengikuti PPDB lantaran perbedaan selisih beberapa meter saja. Padahal jarak rumah ke sekolah yang didaftarkan berada dalam radius dekat; (2) Rentan Kelebihan Kapasitas. Ditemukan fakta bahwa Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di sekolah. Sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi dengan persentase yang cukup besar; (3) Manipulasi Wali Murid. Sistem ini disinyalir justru melahirkan kecurangan baru, yaitu manipulasi Kartu Keluarga agar anak bisa memasuki sekolah unggulan.
Kekurangan sistem ini pun kabarnya telah ditangani Pemda dengan aturan yang lebih fleksibel, sehingga diharapkan praktik tersebut tidak terulang agar tidak ada lagi anak yang tidak mendapatkan sekolah.
Sesuai data Dinas Pendidikan DKI, total daya tampung PPDB 2023 untuk jenjang SD mencapai 93.629 kursi. Kemudian, daya tampung jenjang SMP mencapai 71.498 kursi, SMA sebanyak 28.937 kursi, dan SMK sebanyak 19.387. Adapun perkiraan jumlah pendaftar ke SMP mencapai 149.530 orang. Lalu, perkiraan jumlah murid baru di SMA dan SMK mencapai 139.841 orang.
Untuk memperluas daya tampung, Disdik DKI juga bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menggelar PPDB Bersama. Tahun ini, total ada 257 sekolah swasta dengan kuota 6.909 yang ikut dalam program ini. Namun program PPDB Bersama, seperti untuk SMA dan SMK, dengan sekolah swasta belum dimaksimalkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, ini bisa menjadi solusi mengatasi masalah daya tampung. Kursi yang diberikan kepada sekolah swasta dari jalur PPDB ini masih sangat kecil. Sekolah Swasta hanya mendapat kuota masing-masing 5 persen. (Khairil Huda)