TEROPONGNEWS, JAKARTA – Senior Forest Campaigner at Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra mendorong aparat penegak hukum baiknya memakai pendekatan luar biasa seperti menggunakan pasal pidana soal pencucian uang dalam mengusut dan menindak pelaku ilegal logging di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Delik tentang pencucian uang ini, menurut dia, dapat digunakan untuk menelusuri aliran transaksi dari pelaku ilegal logging hingga para cukongnya.
“Mestinya mengerahkan multi approach pencucian uang juga diberlakukan penelusuran mengikuti aliran transaksi keuangannya,” kata Syahrul saat diwawancarai TeropongNews di Depok, Jawa Barat, diberitakan Jumat (10/3/2023).
Syahrul melihat, dengan memakai pendekatan hukum pidana biasa, maka hasil penindakannya bakal tidak maksimal. Contohnya pada beberapa kasus ilegal logging lampau di Papua dan Papua Barat.
“Begitu pasalnya dijalankan, misalnya waktu untuk proses penyidikan hanya 40-90 hari dan sudah harus masuk ke persidangan. Ya, jadi itu sangat singkat untuk menelusuri lokasinya. Sampai ke tempat pembalakan hutan itu sudah habis waktu si penyidik di sana,” tutur dia.
“Satu kasus di Sorong dulu, satu pelaku kejahatan illegal logging ini lepas begitu saja dari jerat pidana karena kemudian tidak cukup kuat (bukti) dan pendekatan hukum pakai pidana biasa,” ujar Syahrul lagi.
Dia pun mengkritisi substansi di Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Kehutanan (P3H) yang sebagian pasalnya juga diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Syahrul menyebut pihaknya sempat melakukan judicial review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena deliknya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
“Terlalu berani ke masyarakat, tetapi tidak cukup kuat untuk menindak pelaku-pelaku yang terorganisir ini karena undang-undang P3H itu menurut gugatan masyarakat sipil waktu itu gagal mendefinisikan kejahatan terorganisir di dalam undang-undang P3H,” kata dia.
Di sisi lain, semisal Tempat Penampungan Kayu (TPK) bisa mendistribusikan merbau sampai ke Surabaya, Jawa Timur, maka disinyalir jangan-jangan TPK di Sorong, terindikasi bukanlah pelaku tunggal. Sebab, ilegal logging ini merupakan kejahatan yang terorganisir atau organized crime. Modus operandinya, diduga turut melibatkan oknum dari pemerintahan sampai keamanan.
Maka itu, Syahrul meminta aparat penegak hukum terkait harus berani menelusuri siapa-siapa saja pihak yang terlibat. Sebab, sekelas TPK saja diduga bisa mendistribusikan kayu sampai dijual ke luar dari wilayah Papua Barat Daya.
“Penegak hukum harus menelusuri siapa-siapa saja yang terlibat di sini baik itu oknum di pemerintahan di penegak hukum siapa dan kemudian siapa yang menjadi cukong mendistribusikan kayu ini,” ujar dia.
Aktivitas pengolahan kayu industri ilegal disebut-sebut menjamur di wilayah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Pebisnis bernisial LO disebut-sebut membeli kayu jenis Merbau hasil olahan masyarakat (pacakan) kemudian diolah berbentuk sarkelan, dan selanjutnya dikirim ke luar Papua, tepatnya ke Surabaya, Jatim melalui Pelabuhan Laut Sorong. Modus operandinya, LO disebut memakai jasa atau dokumen PT SKS.
Meski begitu, berdasarkan penelusuran terakhir tim TeropongNews di lapangan, menemukan perbedaan situasi. Beberapa hari terakhir, kayu-kayu yang semula menumpuk di TPK, kini sudah tak adalagi di lokasi semula PT SKS biasa melakukan penyimpanan kayu-kayu.