Berita

Perlukah Darurat Sipil di Papua?

×

Perlukah Darurat Sipil di Papua?

Sebarkan artikel ini
Pesawat Susi Air yang memiliki model Pilatus Porter PC 6. (Ist)

TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Banyaknya warga sipil yang menjadi korban akibat kekerasan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau kelompok yang mengklaim sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) telah memicu gagasan perlunya diberlakukan Darurat Sipil di Papua.

1515
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Terkini penyanderaan pilot dan penumpang pesawat Susi Air oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Pesawat Susi Air dengan nomor registrasi PK-BVY itu sebelumnya hilang kontak sesaat setelah mendarat di Bandara Paro, Nduga, Papua Pegunungan pada Selasa (7/2/2022)

Dilansir dari Tempo.co, Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Lodewijk Paulus. Menurut dia, akibat adanya peristiwa penyanderaan di Nduga tersebut, saat ini situasi Papua sedang dalam status darurat sipil.

Oleh sebab itu, Lodewijk menyebut kepala daerah atau gubernur mesti bertanggungjawab menuntaskan kasus ini. Dia mengatakan pihak aparat penegak hukum juga mesti dikerahkan untuk mengusut tuntas kasus penyanderaan.

“Kita harapkan gini ya, harus dipahami bahwa Papua ini sekarang status darurat sipil. Maka yang di depan adalah penguasa darurat sipil, gubernur, yang di depannya otomatis penegak hukum,” kata Lodewijk di Istora Senayan, Jakarta, Jumat, 10 Februari 2023.

Sebelumnya,

Apa itu darurat sipil?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), darurat sipil merupakan keadaan darurat suatu wilayah dengan musyawarah pimpinan daerah atau gubernur sebagai pemimpin tertinggi.

Di Indonesia, darurat sipil telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959.

Di mana menurut Pasal 1 dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa, Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang bisa menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah negara dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila :

  1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
  3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Sementara dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa, kewenangan darurat sipil merupakan kewenangan Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata sebagai otoritas pusat darurat sipil. Dalam keadaan darurat sipil, presiden dibantu oleh suatu badan yang meliputi:

  1. Menteri Pertama;
  2. Menteri Keamanan/Pertahanan;
  3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
  4. Menteri Luar Negeri;
  5. Kepala Staf Angkatan Darat;
  6. Kepala Staf Angkatan Laut;
  7. Kepala Staf Angkatan Udara;
  8. Kepala Kepolisian Negara.

Namun, presiden bisa menunjuk pejabat lain jika diperlukan. Presiden juga dapat menetapkan pengaturan yang berbeda dengan pengaturan di atas jika dianggap perlu.

Di tingkat kabupaten, pengendalian keadaan darurat sipil berada di tangan bupati, minimal bupati/walikota. Camat dibantu oleh Pangdam yang bersangkutan, Kapolres yang bersangkutan, dan Pengawas/Kepala Kejaksaan yang bersangkutan


.